Opini

Nur Iswan: 2 Triliun dan Kefakiran Kita?

biem.co — Tulisan ini tidak sedang menghakimi siapapun. Tidak sedang mencemooh siapapun. Tidak untuk menyalahkan siapapun. Apalagi memfitnah siapapun. Tetapi, kita semua wajib memetik pelajaran dari “Rp2 Triliun”.

Hingga tulisan ini dibuat, nasib uang itu masih belum jelas. Apakah memang benar ada. Entah di bank negeri tetangga atau di Bank domestik. Informasi disesaki dengan ketidakmenentuan dan ketidakakuratan. Jangan-jangan uang itu memang benar adanya.

Yang pasti, “korban” akibat 2T ini mulai berjatuhan. Untungnya, korban yang muncul adalah perasaan malu. Terutama para pihak yang secara bersama-sama memuji, mengagumi dan menyebarluaskan kabar ini. Masyarakat pembaca kanal online ini pasti cerdas siapa saja para pihak ini.

Namun, semua peristiwa ini wajib kita sulap menjadi hikmah. itupun Jika kita mau memaknai lebih dalam.

Bayangkan saja. Betapa mudahnya sebagian dari kita menelan mentah-mentah kabar 2T ini. Mempercayainya. Memuji-mujinya. Berdecak kagum. Lantas ikut serta menyebarluaskannya. Eh, sejauh ini kecele.

Kenapa gejala ini terjadi. Kita patut merenungkannya. Menurut pengamatan dan perenungan, hal ini terjadi karena sebagian kita “lapar” dan “haus”. Terutama menyangkut perbuatan-perbuatan baik. Kita merindukan sosok-sosok donatur charity. Kita merindukan tokoh-tokoh yang bisa membantu keadaan bangsa yang sedang “faqir wal masaakin”. Diterjang pandemik dan pelemahan ekonomi.

Jika ada orang terbelit hutang dalam hidupnya, menurut anda orang tersebut miskin atau kaya? Jika ada Kabupaten tidak bisa mandiri oleh PADnya dan harus mendapat subsidi, daerah ini disebut faqir-miskin atau kaya? Anda teruskan sendiri ke level di atasnya.

Termasuk juga mungkin sebagian atau segelintir dari tiap diri kita. Pembaca harus waspada, kita ini sesungguhnya tergolong “faqir-miskin” atau kaya.

Kita harus meluaskan makna terma “kefakiran-kemiskinan”, tidak hanya fakir-miskin ekonomi. Tapi juga fakir-miskin Jabatan dan eksistensi. Faqir-miskin popularitas. Faqir-miskin martabat dan atau kehormatan. Faqir-miskin sosial dan pergaulan. Dan sebagainya, you name it.

Dari peristiwa inilah, seharusnya kita meng-insyafi. Betapa kagumnya kita kepada para guru kita yang selalu menasehati agar hendaknya kita menghindari dan berjuang agar tidak terjebak pada “kondisi fakir-miskin” dalam dimensi dan level apapun.

Jangankan fakir-miskin yang riil dalam hal ekonomi, sosial, jabatan, popularitas, eksistensi dan kekuasaan. Lebih dari itu, yang paling berbahaya adalah jika kita terperdaya dan disiksa oleh “perasaan” fakiir wal masaakin. Kita kaya, tapi merasa miskin terus. Senang, tapi kok merasa susah. Bahagia, tapi kok seperti ada rongga kesedihan. Bahaya bukan? (red)

Tentang Penulis

Host Youtube Nur Iswan Channel.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button