biem.co – Berkenaan sikap ulama Pandeglang atas kegiatan Banten Indie Clothing yang digelar di alun-alun Pandeglang, saya ingin turut memberi pandangan sebagai aktivis 98 (awak tipis di tahun 98). Setidaknya dapat menghadirkan perspektif yang lain di tengah pernyataan-pernyataan yang menyudutkan para alim ulama Pandeglang lantaran tidak memahami betul apa yang sesungguhnya menjadi pokok pikiran dan apa yang dipersoalkan.
Berdasarkan pernyataan yang saya dengar langsung dari juru bicara para alim ulama, yang dipermasalahkan bukan kegiatan jual beli dalam kegiatan tersebut, melainkan agenda konser musik yang notabene diisi oleh musisi band baik lokal maupun Nasional. Para ulama khawatir konser akan dihiasi aksi para penonton yang kurang mencerminkan semangat Pandeglang yang telah lama merawat budaya kota santri, seperti mabuk, berzina, dan sebagainya. Itu dikhawatirkan menuai bencana alam sebagai teguran dari tindakan-tindakan yang melampaui batas. Begitu yang saya dengar dari juru bicara. Saya dapat memahami kekhawatiran itu sekaligus memahami keperluan hajat Banten Indie Clothing (BIC). Maka dengan sekilas senyum, saya melihat ada yang perlu dipahami oleh penggagas dan penggarap Banten Indie Clothing ketika hendak menggelarnya di Pandeglang.
BIC adalah kegiatan yang lahir dari ide dan kreativitas anak muda. Melalui kegiatan itu jiwa kewirausahaan anak muda terasah. Dapat saling bertukar gagasan, membangun relasi dengan sesama, dan tentu pula dapat menjadi pemantik kemandirian ekonomi anak muda Banten. Wajar jika BIC selalu dinantikan baik oleh pelaku UMKM maupun masyarakat yang suka mengkoleksi pakaian bertema lokal maupun branded. Semua yang dilakukan melalui BIC tidak lain tidak bukan semata-mata turut menghidupkan gairah perekonomian melalui UMKM dan semangat anak muda. Hanya saja ketika hendak mengundang keramaian di kalangan anak muda, tampaknya menggelar konser musik seakan menjadi satu-satunya cara yang dimiliki.
Konser musik memang selalu digandrungi muda-mudi di mana pun. Dengan menggelar konser musik, para pihak terkait termasuk Event Organizer, tentu saja berharap dapat menjadi daya tarik muda-mudi untuk datang secara berbondong-bondong. Bukan hanya untuk dijadikan penonton konser, melainkan juga menjadi pembeli dari produk-produk yang ditawarkan oleh IBC. Tidak sulit memahami hal ini karena sudah lazim demikian adanya. Namun perlu kiranya bersama-sama mengingat bahwa kesenian tidak dapat dilepas dari kebudayaannya, perdagangan tidak boleh mangkir dari nilai-nilai yang dijaga masyarakat. Tidak elok jika melaksanakan hajat besar tanpa terlebih dahulu memahami kontur sosial dan budaya tempat hajatan digelar.
Sebagaimana kota-kota yang ada di muka bumi ini, Pandeglang memiliki karakteristiknya sendiri. Karakter santri dan ulama tidak dapat lepas dari Kota Badak ini, mengingat keberadaan Ponpes dan madrasah bukan lagi hitungan ratusan namun ribuan. Bahkan dengan itu, Pandeglang kerap diberi julukan “Kota Sejuta Santri, Seribu Kiyai”. Tim kreatif IBC perlu memperhitungkan itu untuk dapat diterima oleh masyarakat dan dapat memastikan apa yang dilakukan tidak mendapatkan penolakan. Bukan berarti sesuatu ditolak tanpa ada hal lain yang dapat diterima. Sesuatu yang lazim di suatu tempat tidak lantas dapat dihukumi “harus” diterima di tempat yang lain. Bukankah amatlah akrab masyarakat Indonesia dengan peribahasa “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”?
Adakah hiburan di Kota Santri ini? Sangat banyak. Bahkan setahu saya beberapa kegiatan peringatan hari jadi Pandeglang sebelum Pandemi Covid-19 merupakan kegiatan termegah dibanding peringatan hari jadi daerah lainnya di Banten. Suguhan ragam karya seni budaya menghiasi sepanjang gelaran Hari Jadi Pandeglang. Konser Band papan atas pun disuguhkan dan mampu menghadirkan ribuan penonton. Namun ada pula Tabligh Akbar dan Istighotsah yang diisi Mubaligh Kondang, bahkan jamaah yang hadir melebihi jumlah penonton konser band. Ini tentang bagaimana mengundang massa, kan? Bukan tentang harus menggelar konser musik, bukan? Inilah Pandeglang, Lur.
Lantas, bagaimana dengan kelanjutan BIC? Rasanya dari BIC sebelumnya yang pernah saya hadiri di Serang, memang tidak lepas dari Euforia pengunjung. Selain untuk belanja juga antusias nonton konser musiknya. Kalau ditimbang-timbang, rasanya memang akan jadi sepi suasana pameran atau festival tanpa ada dentuman musik dari sound system. Tetapi apakah ihwal dentuman musik hanya soal konser musik? Bayangkan hal-hal lain yang dapat turut menstimulus antusiasme masyarakat Pandeglang. Jangan bicara kuno atau semacamnya. Tidak ada kesenian yang kuno. Ingatlah bagaimana tari Saman menjadi warisan dunia padahal tarian itu datang dari konsep yang berbatas pada apa yang dibolehkan oleh ulama. Seni itu, soal kreativitas, bukan?
Nah, Lur. Karena BIC kali ini digelar di Kota Santri, bagaimana kalau penyelenggara mengemas sajian konser musiknya juga dengan kesenian religi, lebih tepatnya kesenian para santri. Ada marawis, nasyid, hadroh, qasidah, darbuca, rampak bedug, dan lain-lain. Bukan tidak mungkin para santri yang jumlahnya jutaan di Pandeglang membludak hadir ke BIC dan bisa memborong habis produk-produk yang dijual di BIC. Bukan sesuatu yang mustahil juga jika penyelenggara mengemas BIC dengan produk-produk bertema santri ketika menggelar acara di Pandeglang. Ingat, tentang jual beli adalah tentang pasar dan mengenali pasar adalah pintu pertama keberhasilannya. (Red)
Kang Ayip, penulis adalah Direktur Zona Pro.