Membaca catatan-catatannya di “Kolom Irvan Hq” pada kanal biem.co selalu membawa semacam rasa damai, dan jika saya harus mendeskripsikannya dalam sebuah kalimat, jawab saya, “Ke Irvan HQ Saya “Mengaji”; Menemukan Orientasi Kebahagiaan”. – Jalaludin Ega
CSI#23, biem.co – Arahkan sorot lampu pada sebuah berlian, cahaya yang datang akan dipantulkan dan biasnya dapat diteruskan ke segala penjuru dengan pancaran warna dan tampak yang berbeda. Prinsip ini disebut “bias berlian”, mirip seperti prinsip prisma dalam ilmu alam, saya kira prinsip inilah yang mungkin mampu menggambarkan pengalaman Anda dan saya menjalani beberapa kesempatan bersama Irvan Hq.
Bias itu, akan berbeda pastinya. Meski sama-sama menceritakan citra Irvan Hq, yang juga mungkin asymptotic;–proyeksi nilai sesuatu pastinya tidak akan tepat sama dengan kondisi sebenarnya— bisa kurang, bisa juga lebih. Akan tetapi, saya hanya ingin meyakinkan Anda bahwa meskipun bias yang Anda terima berbeda dengan yang saya terima, dan meski secara asymptotic theory berlainan, bahkan meski perkenalan saya dan Anda dengan Irvan Hq baru seumur jagung, saya rasa kita semua akan sepakat kalau lelaki berkacamata dengan senyum tulus yang selalu menghiasi wajahnya itu adalah orang baik dan penuh kasih sayang.
Irvan Hq adalah bias berlian yang memancarkan inspirasi ke segala penjuru persahabatan dan persaudaraan. Cahayanya memberikan jalan kepada kita untuk menerobos segala keraguan dalam mewujudkan hal terbesar yang ingin kita capai. Dibalik kesederhanaan dan sikapnya yang membumi, Irvan Hq adalah pemantik api semangat bagi orang-orang yang ada disekelilingnya, bahkan tidak sedikit yang belum pernah bertemu dengannya terkena imbas dari inspirasi yang ditebarkannya. Dia berani berkorban untuk siapa saja yang ingin membangun mimpi besarnya hingga selesai.
***
Saya ingin mengawali cerita tentang saya terlebih dahulu sebelum kemudian memulai cerita bagaimana Irvan Hq begitu mempengaruhi hidup saya.
Sekitar 11 tahun yang lalu, saat status fresh graduate saya sandang karena lulus dari salah satu perguruan tinggi negeri di Banten. Dibesarkan dalam keluarga sederhana dan tinggal di pelosok perkampungan, mencari kerja setelah lulus tentu menjadi prioritas. Puluhan lamaran kerja saya kirimkan ke pelbagai perusahaan baik di sekitar Banten dan beberapa ke luar Banten. Puluhan legalisir asli ijazah saya habiskan untuk melamar pekerjaan yang infonya saya dapat, lihat atau ketahui dari koran, majalah atau internet.
Dari sekian banyak lamaran yang saya kirim via pos atau email, perusahaan yang pertama mewawancarai saya adalah sebuah perusahaan pembiayaan sepeda motor, atau biasa kita sebut Leasing (istilah tenar dari finance). Wawancaranya sangat mudah, pertanyaannya hanya sekitar apakah saya pernah sakit parah, kuat berapa ‘jam’ naik motor setiap hari, sampai pada pertanyaan, bisa main sepak bola atau tidak. Lucu! Meski belum pernah diwawancarai kerja sebelumnya, saya merasa pertanyaan-pertanyaan itu bermasalah. Apakah memang begini wawancara kerja itu? Ahh! Saya tak peduli bagaimana teknis wawancara di perusahaan ini, yang penting saya mendapat pekerjaan dan memiliki penghasilan sendiri.
Singkat cerita, dengan sangat mudah, masuklah saya menjadi bagian dari perusahaan itu. Posisi kerja yang saya dapatkan adalah Marketing Officer, atau biasa disebut Surveyor, yang tugasnya hanya menilai kelayakan permohonan kredit berdasarkan standar-standar perusahaan (biasa lah, 5C; Colateral, Capital, Capacity, Capability, dan Character).
Karena saya anak pertama, tentu saja, pekerjaan dan gaji pertama nanti rencananya saya dedikasikan untuk ibu (biasanya semua anak pertama selalu begitu). Saya berharap (bangga) Ibu dapat menikmati buah dari hasil kerja anak pertamanya ini.
Sebulan berlalu, waktu gajian tiba. Tak ada masalah, Ibu menerima uang gaji pertama saya, meskipun sebenarnya, untuk operasional kerja juga saya pasti akan memintanya lagi. Tetapi maksud saya, biar Ibu yang atur prioritasnya.
Tak diduga, beberapa jam setelah saya berikan gaji itu, Ibu mengembalikan semuanya. Bahasa tubuh lemas dan sedikit senyum penghibur tampak di muka Ibu. Katanya, Ayah tidak merestui pekerjaan saya di tempat itu. Ayah pikir gaji dari bank, apapun bentuknya tetap saja riba.
“Peganglah uang ini untuk kamu sendiri, tidak perlu kasih ke Ibu atau Ayah,”ucapnya getir.
Ayah bukan ustadz apalagi kyai, beliau hanya orang biasa yang kebetulan menjadi guru agama di sebuah sekolah swasta di kecamatan sebelah. Beliau memang orang yang sangat hati-hati dalam beragama. Saya paham, beliau khawatir karena pekerjaan saya, gaji yang saya dapatkan masuk dalam kategori riba. Ibu bilang, sampai saya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, jangan berikan apapun ke Ibu atau Ayah dari hasil pekerjaan ini.
Anda tentu dapat membayangkan bagaimana saya harus bersikap. Marah? atau menyerah? Akhirnya saya lebih memilih marah dengan diam. Saya hanya bingung, bagaimana Ayah sedemikian kolot dan kaku. Bahkan secara sporadis menilai semua yang berbau “kredit” adalah riba.
Sebagai anak, saya tidak ingin mendebatnya, terlalu “su’ul ‘adab” jika saya harus mendebat prinsip Ayah. Tetapi, bagaimanapun, saya butuh kerja dan penghasilan untuk membiayai hidup saya sendiri. Akhirnya, yang saya lakukan hanya mengabaikannya.
Napsu dan keterpaksaan akhirnya memaksa saya meninggalkan rumah dan tinggal di kos-kosan dekat dengan tempat kerja. Tentu saja sepengetahuan dan izin Ibu. Berharap, waktu mengembalikan keadaan kepada keadaan yang biasa.
Sejak saat itu, saya tidak tinggal di rumah. Tapi, Ayah (yang saya kira membenci saya) ternyata selalu menyempatkan waktu mengirimkan SMS-nya setiap waktu salat tiba: “Jangan lupa salat”. Tanpa awalan salam apalagi menanyakan kabar. Saya selalu menjawab dengan datar: “Iya, Insya Allah”.
Empat tahun berlalu, meski setiap hari terima SMS darinya, setiap dua pekan saya pulang dan sudah empat Hari Raya kami berkumpul, sikap Ayah masih sama, tidak pernah mengajak saya bicara lebih dulu, apalagi menanyakan bagaimana kabar saya dan pekerjaan yang saya jalani. Saya pikir, Ayah sudah terlalu benci dengan pekerjaan anaknya yang dinilanya “riba” ini.
Akhirnya kontrak kerja saya selesai. Empat tahun, Ayah tak pernah mengajak saya bicara. Anda mungkin dapat membayangkannya bagaimana perasaan seorang anak yang sama sekali tidak diajak berbicara oleh ayahnya sendiri. Dunia terasa lebih dari sekadar asing dan menjengkelkan.
***
Perjalanan hidup dan usia yang semakin matang menyentuh sisi-sisi nurani saya. Bagaimanapun, saya—yang dulu sangat egois—tidak bisa membiarkan hal ini terus-menerus terjadi. Ayah adalah Ayah saya. Apakah saya harus mengalah pada Ayah lalu menyerah pada prinsip saya sendiri, atau Ayah yang seharusnya bisa mendengarkan pendapat tentang bagaimana riba dalam perspektif saya.
Tapi, perspektif Ayah tentang riba tetap seperti dulu, masih berbeda dengan persfektif saya. Ayah belajar dari Ali As-Shabuni, Yusuf Al Qardhawi, dan Sayyid Sabiq, sementara saya belajar dari Rasyid Ridha, Quraish Shihab dan Cak Nur. Bacaan kami berbeda. Meski dasar agama yang saya dapat sebagian besar dari Ayah, tapi ia pulalah yang menyodorkan saya buku-buku Rasyid Ridha dan Quraish Shihab itu untuk saya lahap. Bahkan Ayahlah yang menyuruh saya masuk HMI semasa di kampus dulu, dimana akhirnya saya melahap doktrin Nurcholis Madjid (Cak Nur). Pertentangan prinsip ini benar-benar membuat saya tertekan. Saya benar-benar tidak bahagia, sangat tidak bahagia.
Keluar dari tempat kerja yang lama, membuat saya kesulitan mencari kerja di tempat lain. Meski pengalaman saya pada bidang itu—mengingat ingin memperbaiki hubungan dengan Ayah—saya banyak menolak tawaran pekerjaan yang sama di kantor yang berbeda. Saya sudah berjanji pada diri sendiri akan memperbaiki hubungan dengan Ayah. Sangat melelahkan. Apalagi orang seperti saya yang tidak punya “koneksi” atau “relasi”. Kadang ada benarnya lagu yang dibawakan Iwan Fals, “Sarjana Muda”: tak berguna ijazahmu.
Beberapa bulan berlalu, seorang teman menawari saya pekerjaan, lucunya, tawaran untuk menjadi guru di sebuah sekolah menengah atas swasta di Serang. Saya diminta mengajar mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Katanya, basic pendidikan saya di fakultas hukum linear dengan mata pelajaran itu. Lucu! Saya alumni fakultas hukum, bukan fakultas pendidikan, pikir saya, bagaimana bisa saya jadi guru? Di kurikulum kuliahpun, saya tidak belajar bagaimana menjadi guru.
Kebutuhan akan pekerjaan dan status (tidak menganggur) membuat saya menerima tawaran tersebut. Ayah seorang guru agama juga, saya pikir Ayah pasti merestui pekerjaan ini dan mau menerima gaji pertama saya sebagai bentuk kesyukuran saya.
Setelah saya sampaikan bahwa saya sekarang menjadi guru di salah satu sekolah swasta di Kota Serang, benar saja, dengan mata berbinar dan hampir menangis, Ayah bilang bahwa dia lebih senang saya menjadi guru atau kalau bisa jadi dosen. Ia peluk saya seolah bangga dengan apa yang saya utarakan. Apa Ayah sudah mau menerima saya? Saya membatin. Lama sekali rasanya tidak menerima pelukan Ayah seperti ini, saya hampir tidak bisa mengingat kapan terakhir kali Ayah memeluk saya.
Gaji saya hanya Rp400rb/bulan. Uang itu bahkan tidak cukup untuk biaya operasional saya yang harus bolak-balik setiap hari sejauh 25 KM dari rumah ke sekolah. Menjadi guru, akhirnya terpaksa saya jalani dengan susah payah. Saya masih ingat bagaimana saya selalu minta tambahan ongkos ke Ayah selama menjadi guru. Bagaimana tidak, dengan gaji hanya Rp400rb/bulan (tanpa bermaksud tidak bersyukur) memang tak cukup bahkan untuk ongkos bensin motor dan makan untuk satu minggu.
Hari, minggu, bulan dan tahun saya lalui. Saya tetap tidak bisa menikmati menjadi guru. Meski pada beberapa sisi saya akui, batin saya memang terpuaskan karena dapat mengajari anak-anak dan memberi mereka hal-hal baru di kelas, tapi, melihat teman-teman sudah memiliki kendaraan dan rumah sendiri membuat saya iri. Sementara saya, yang seorang guru bahkan memenuhi kebutuhan sendiri saja tidak mampu. Pertentangan batin ini benar-benar membuat saya, lagi-lagi tidak bahagia. Sangat tidak bahagia.
Tak Kenal, Tak Sayang
Pada titik nadir ketidakbahagiaan saya, secara tidak sengaja saya dikenalkan pada sosok Irvan Hq yang pertama kali nampang di Majalah Mingguan Banten Muda, yang dicetak-maksudkan untuk mengakomodir karya-karya anak muda di Banten. Ini perkenalan yang tidak lazim, saya hanya membaca tentangnya lewat majalah Banten Muda yang beredar sampai ke sekolah-sekolah menengah atas di Kota Serang. Pada majalah itu juga saya tahu nama-nama, yang akhirnya kemudian saya kenal, seperti Ali Faisal, Fikri Habibi dan Mahdiduri, suksesor Banten Muda Community, sebuah komunitas anak muda yang konsen memberikan ruang dan dukungan bagi anak anak muda untuk menyalurkan energinya ke hal hal positif
Siapakah Irvan Hq? Saat itu saya sama sekali tidak tertarik untuk mencari tahu. Benar-benar sebuah peristiwa tak kenal maka tak sayang. Akhirnya, supaya dibilang gaul, intelek, enggak ketinggalan informasi dan tetap eksis, akhir 2012, saya memberanikan diri ikut ambil bagian dalam pertemuan-pertemuan yang digelar oleh organisasi-organisasi lintas generasi di Banten khususnya Banten Muda Community. Saya mulai tertarik dengan pergerakan anak-anak muda di Banten yang saya lihat—dengan melihat-amati lewat majalah Banten Muda. Akhirnya sampailah pada momen saya bertemu dengannya, di sebuah kegiatan “Hari Sumpah Pemuda” yang diselenggarakan di sebuah perguruan tinggi swasta di Banten.
Sebagai seorang newbi di dunia OKP di Banten, saya mengambil sikap mendukung jargon organisasi yang konsen pada hal-hal positif kekaryaan, seperti Banten Muda ini. Tidak pada organisasi-organisasi dengan jargon-jargon opportunis yang memanfaatkan dirinya untuk sekedar mencari perhatian “penguasa” agar kemudian proposalnya “cair” dan kegiatannya dibiayai. Dan dengan bekal keorganisasian dari HMI di kampus dulu, percayalah, organisasi-organisasi seperti itu mudah sekali saya endus.
Banten Muda Community berbeda, saya perhatikan mereka berdiri diatas kakinya sendiri, tanpa harus mengemis ke pemerintah daerah, sponsor tokoh daerah atau bergantung pada organisasi induknya. Banten Muda benar-benar berdiri sendiri, jauh dari intervensi politik apalagi lebay-lebay-an jilat sana-sini. Irvan Hq mampu memosisikan dirinya sebagai kolaborator orang-orang yang memiliki idealisme yang sama tetapi tak mau tampil di depan. Banyak kasepuhan yang diam-diam turut memberikan dukungan Saya tidak tahu tepatnya, bagaimana ia bisa melakukan itu semua. Meski saya tahu Irvan Hq sering menyebut dirinya buruh pabrik, tapi dengan segala keterbatasannya ia mengerahkan segala tenaga dan pikirannya untuk “menyediakan panggung” bagi anak-anak muda Banten, khususnya yang tergabung pada Komunitas Banten Muda.
Dalam sebuah obrolan ringan sambil ngopi diteras basecamp Banten Muda, saya pernah mendengar kesaksian salah seorang anggota komunitas Banten Muda yang dipercaya menjadi panitia Buka Bersama Anak Yatim di sebuah Rumah Makan, waktu itu anggaran yang dibutuhkan hampir sepuluh juta rupiah dan dana yang tersedia hanya tiga juta. “Bismillah saja,” sahut Irvan Hq menjawab kegalauan teman-teman panitia, padahal waktu pelaksanaan tinggal satu minggu lagi. Irvan Hq terlihat membuat konsep surat dan beberapa kwitansi. Suratnya ditanda tangani dan discan. Sampai malam ia terlihat sibuk didepan komputer dan mencoba menghubungi beberapa orang. Ajaib. Besoknya setiap hari ada saja uang yang masuk ke nomor rekening, dengan berbagai jumlah sampai dengan H-1 malam uang yang dibutuhkan sudah terpenuhi.
Pada cerita yang lain, beberapa tahun yang lalu di tanggal 16 Agustus malam, team marketing yang berkumpul di basecamp sedang tertunduk lesu, dari sekian banyak Surat Penawaran Iklan ucapan Hari Kemerdekaan yang ditawarkan ke berbagai pejabat dan stakeholder lainnya sejak sebulan lalu belum ada yang merespon. Irvan Hq hanya tersenyum dan bertanya dengan nada bercanda, “nyerah nih??.” Irvan Hq kemudian duduk di meja meeting dan menyimpan secangkir kopi yang sejak tadi dibawa-bawanya. “Ada berapa slot iklan yang kosong?” tanyanya. Kami menjawabnya lima slot lagi. Kemudian Irvan Hq mulai menelpon seseorang, dengan nada sopan dan ramah. Lagi-lagi ajaib, dari tujuh orang yang dia telpon, lima diantaranya menyanggupi untuk memasang iklan ucapan kemerdekaan RI yang jatuh pada keesokan harinya.
Pertanyaannya, kalau memang bisa mencarikan dana buka puasa bersama dengan anak yatim atau bisa mendatangkan iklan, kenapa tidak dilakukannya jauh-jauh hari? Disinilah rupanya Irvan Hq ingin teman-temannya di Banten Muda Community untuk berproses, Irvan Hq tidak ingin memberikan Ikan tetapi justru memberikan pancingnya supaya lebih mandiri, kalau sudah tahu cara menggunakan pancing, kapan pun kita butuh ikan akan dengan mudah mendapatkannya. Dibandingkan diberi Ikannya, setelah dimakan, Ikan pun habis begitu saja. “Saya lebih menghargai proses dibandingkan hasil,” ujarnya dengan nada datar.
Irvan Hq bisa saja sombong, tetapi itu tidak dilakukannya. Dia lakukan hal-hal istimewa dengan cara-cara yang biasa saja. Siapa pun yang datang ke basecamp akan dia sambut dengan penuh kehangatan. Meski beberapa kali raut wajahnya sering terlihat diam, namun tetap memancarkan aura yang ramah, terbuka dan mengundang aura positif. Saya suka kacamatanya dan cara dia menyampaikan sesuatu di forum. Irvan Hq pandai memantik api semangat orang-orang disekitarnya, dengan cara yang biasa saja tanpa harus berapi-api.
Saat berbicara, bahasa tubuhnya selalu equal berhadapan dengan siapapun; pejabat, atau masyarakat biasa. Yang lebih saya sukai lagi—coba lihat tulisannya—caranya menyitir kitab suci pada catatan-catatannya di kanal biem.co, sangat elegan dan tidak terkesan sok tahu dan mudah diterima.
Apalagi quote-quote hebat yang sering saya ikuti di beranda Facebook dan Intagram-nya membuat siapapun yang membaca akan merasa hidupnya telah terdefinisikan. Saya lupa kapan tepatnya saya membacanya, tapi quote yang paling saya sukai adalah, “biarlah dunia melihat kita bahagia, cukup Tuhan saja tempat kita berkeluh kesah.”
Akhirnya, saya mulai intens mengikuti program Banten Muda Community. Bahkan memberanikan diri meminta untuk terlibat di dalamnya. Program Banten Muda menarik. Menyelenggarakan diskusi mingguan dengan berbagai tema menarik, menghadirkan para pembicara handal di bidangnya serta menggagas pelatihan kreatif untuk anak-anak muda dengan gratis. Intensitas itu membuat saya semakin mengenal sosok Irvan Hq.
Irvan Hq punya pekerjaan. Seperti yang telah saya singgung, ia karyawan salah satu perusahaan asing di bilangan Cikande-Serang. Setiap hari Ia harus bekerja selayaknya kita bekerja. Pergi pagi, pulang petang. Tapi kehadirannya di acara diskusi Banten Muda tidak pernah alpha. Ia selalu hadir tepat waktu. Memberikan sambutan dan mendukung semua aktivitas kekaryaan-produktif yang dilakukan anak-anak muda di Banten.
Take a look biem.co, siapa yang tak tahu media online ini, yang digagasnya bersama rekan-rekannya sekitar 4 tahun yang lalu, sekarang sudah menjadi bacaan wajib anak-anak muda di Banten, dari mulai pelajar, mahasiswa sampai pada orang dewasa. Ratusan karya anak muda difasilitasi untuk diberitakan, mulai dari Sosok, Opini, sampai pada karya Sastra. Dalam sebuah kesempatan, ia pernah bilang, bahwa ia menyediakan kanal biem.co sebagai panggung karya anak-anak muda di Banten. Dan yang lebih mengejutkan lagi dia berani mengambil keputusan mengangkat saya sebagai Pemimpin Redaksi di biem.co, padahal saat itu pengalaman saya belum cukup dan di biem banyak sahabat-sahabat saya yang mempunyai kapasitas tinggi dan jauh lebih pantas dari saya.
“Menjadi pemimpin itu harus memiliki kemampuan leadership yang memadai, bagaimana mengatur, mempengaruhi, dan membuat tim menjadi loyal dan biem berlari sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan perusahaan. Itu potensi yang ada dalam diri Kang Ega, potensi yang hanya bisa dibuktikan lewat keseriusan, yang lain-lainnya bisa sambil belajar. Tolong bantu saya untuk membuktikan pada semua orang, kalau saya tidak salah pilih,” ujar Irvan Hq pada pertanyaan saya. Hening. Kemudian dada begitu sesak, terbakar oleh kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut seorang Irvan Hq.
Apakah kalimat yang keluar dari mulut Irvan Hq itu sekadar kalimat saja? tidak. Dia mendukung penuh apa saja kebijakan yang saya ambil didalam team Redaksinya. Bahkan saya diberi kesempatan untuk ikut uji kompetensi wartawan dan memperoleh sertifikat kompetensi wartawan tingkat utama. Dan di Banten wartawan yang memiliki sertifikat ini adalah wartawan senior yang masih terhitung dengan jari. Irvan Hq memaksa saya untuk terus berinovasi membuat rubrik Skriptoria dalam format talk show yang terbit setiap minggu baik itu di media online biem.co maupun biem.tv. Sebuah content yang pada akhirnya membuat nama saya banyak dikenal di masyarakat, sebuah content yang akhirnya dapat membuka berbagai kesempatan untuk saya diundang baik itu sebagai host, pemateri bahkan sebagai dosen di berbagai universitas swasta yang berada di Banten dan sekitarnya.
Lihat juga bagaimana Ia men-support Yayasan Istana Belajar Anak Banten (ISBANBAN Foundation) yang akhirnya menjadi yayasan sosial pendidikan anak terbesar di Banten, hingga bisa survive sampai hari ini dan sudah memiliki ratusan relawan dan Chapter di pelosok-pelosok, pernah diliput oleh hampir semua televisi swasta yang ada di Jakarta, bahkan pernah diundang pada acara Kick Andy, acara talkshow sebuah stasiun televisi swasta. Semua berkat Irvan Hq. Dan ia menjalani semuanya dengan tanpa lelah dan mengeluh. Lalu apa yang ia dapat dari itu semua? Irvan Hq hanya bilang, “Menjadi Bahagia itu sederhana, segerakan saja kalau kita punya niat baik. Mendo’akan orang lain, berinvestasi pada proses suksesnya orang lain dan tentu saja membuat orang lain bahagia juga akan membuat kita bahagia. Saya sangat bahagia jika bisa membuat orang lain bahagia.”
Mengaji; Orientasi Kebahagiaan
Dalam tulisan ini, Anda akan menemukan kata “bahagia” terulang sebanyak 22 kali, yang jika saya korelasikan dengan kisah saya di awal, betapa, seandainya saya, dulu, memiliki orientasi kebahagiaan seperti Irvan Hq, sepertinya saya tidak akan pernah melewatkan masa empat tahun terbuang sia-sia tanpa restu Ayah, mengeluh-kesah tentang hidup saya, dan pastinya saya berani meyakinkan diri, jika saya mampu meniru cara Irvan Hq bahagia, kala itu, maka saya akan sangat bahagia di usia saya yang ke-22.
Pada akhirnya, saya sampai pada sebuah kesimpulan; dulu, sebelas tahun yang lalu, saya merasa tidak bahagia bukan karena saya tidak bahagia. Saya merasa tidak bahagia, karena saya tidak memiliki orientasi tentang kebahagiaan.
Jika saya harus mendeskripsikan sosok Irvan Hq dalam satu kata, maka kata itu adalah “bahagia”. Karena menatap wajah atau mendengar suaranya, selalu membawa ketenangan dan kebahagiaan. Membaca catatan-catatannya di “Kolom Irvan Hq” pada kanal biem.co selalu membawa semacam rasa damai, dan jika saya harus mendeskripsikannya dalam sebuah kalimat, jawab saya, “Ke Irvan HQ Saya “Mengaji”; Menemukan Orientasi Kebahagiaan”.
Saya yakin, setiap orang yang mengenalnya akan merasakan sentuhannya begitu kuat dalam dirinya. Barangkali bukan tindakan menjilat jika kemudian saya katakan bahwa Irvan HQ adalah “guru kebahagiaan” saya, dan saya semoga menjadi santri “kebahagiaannya” yang baik yang mampu belajar darinya.
Untuk mendapatkan buku Tentang Orang yang Memasangkan Sayap Kecil di Pundak Para Pemimpi silahkan klik disini.
Terakhir, coba tengok Ilmu Numerologi Eropa modern yang diperkenalkan Pythagoras, angka 22 artinya “gigih dalam mencapai tujuan, terencana, dan penuh ide.” Yap! Begitulah sosok Irvan Hq; gigih, terencana, dan penuh dengan ide. (Red)
Ega Jalaludin, S.H., M.M., C.P.M., C.P.A., C.P.C adalah Wakil Ketua I STISIP Trimasda Cilegon yang juga aktif sebagai Mediator di Pengadilan Negeri Pandeglang, Pengadilan Agama Pandeglang dan Pengadilan Negeri Rangkasbitung. Lahir di Serang, 09 Juni 1984. Ia mengawali karirnya pada 2006 sebagai marketing di salah satu perusahaan perbankan di Kota Serang, pernah menjadi guru, kemudian menjadi Pengajar beberapa Universitas di Banten seperti Universitas Bina Bangsa dan Universitas Primagraha. Menjadi Pemimpin Redaksi di portal berita inspiratif biem.co menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi lulusan sarjana hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan Magister Manajemen Universitas Budi Luhur ini. Aktif sebagai pembicara publik baik lokal maupun nasional. Tulisan-tulisannya mengangkat tema filsafat-sosial. Profil dan cuplikan karyanya dapat dilihat di www.biem.co dan dapat mengenalnya via instagram @jalaludinega dan mengontak lewat surel [email protected]