JAKARTA, biem.co – Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) telah menjadi topik diskusi dan analisis yang signifikan, terutama dalam implikasinya terhadap industri kelapa sawit di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menyatakan posisinya terhadap EUDR, menekankan pentingnya sistem sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai komponen penting dari strategi yang lebih luas, termasuk Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB). Sistem sertifikasi ISPO memainkan peran penting dalam upaya Pemerintah Indonesia untuk mempromosikan produksi kelapa sawit yang berkelanjutan dan memastikan bahwa industri ini sejalan dengan standar lingkungan dan sosial.
Kesesuaian antara ISPO dengan EUDR adalah langkah penting dalam memastikan bahwa industri kelapa sawit Indonesia dapat tetap bersaing di pasar global yang semakin memperhatikan isu-isu lingkungan dan keberlanjutan. Penyesuaian ini terkait erat dengan isu deforestasi yang selalu beriringan dengan pertumbuhan industri kelapa sawit.
Posisi Pemerintah Indonesia pada EUDR
Posisi pemerintah Indonesia terhadap kebijakan deforestasi Uni Eropa adalah “Not comply”. Hal ini sesuai dengan hasil FGD bersama INDEF pada 26 Oktober 2023. Kalimat tersebut berangkat dari pernyataan yang diungkapkan oleh perwakilan divisi Amerop Kementerian Luar Negeri Indonesia, Emilia H Elisa “Terkait posisi pemerintah mengenai EUDR, sampai saat ini kita tidak dalam posisi untuk comply”. Alasan penolakan utamanya adalah karena kebijakan EUDR dianggap sebagai keputusan yang dihasilkan secara internal oleh Uni Eropa tanpa melibatkan secara formal negara-negara produsen, termasuk Indonesia. Menyambut sikap pemerintah tersebut, GAPKI sebagai asosiasi pengusaha minyak sawit mengikuti posisi yang diambil pemerintah “GAPKI mengikuti posisi pemerintah, kalau pemerintah menolak, GAPKI juga menolak” ungkap Azis Hidayat, Ketua Bidang Perkebunan GAPKI. Selain itu, pada Evening Up CNBC Indonesia 24 November, Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, menyatakan “Saya kira posisi pemerintah tentu saja harus dihormati, mengingat beragam gagasan atau proposal EU terhadap sawit kita cenderung merugikan dan ini saya kira sebagai sikap tegas pemerintah”.
Peran ISPO bagi Indonesia
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) telah dianggap sesuai dengan standar internasional dan memiliki dampak positif dalam pengelolaan sawit yang berkelanjutan. Azis Hidayat, Ketua Bidang Perkebunan GAPKI mengungkapkan “standar keberlanjutan harus memenuhi 3 aspek, sosial, ekonomi, dan lingkungan tetapi kalau untuk ISPO ditambah ketaatan terhadap peraturan perundangan”. Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk, Agus Purnomo dalam diskusi bersama CNBC Indonesia mengatakan “sertifikasi ISPO itu setara dengan sertifikasi – sertifikasi keberlanjutan lainnya yang diakui di pasar internasional” ia juga menambahkan “kalau sudah punya ISPO, sesungguhnya sudah bisa memenuhi EUDR, apa lagi kalau ISPO telah selesai direvisi”. Kondisi tersebut menggambarkan pentingnya peran ISPO dalam menjamin terciptanya standar keberlanjutan industri sawit di Indonesia. Meskipun demikian, pengimplementasian ISPO, khususnya bagi petani kecil membutuhkan usaha yang lebih. Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, menyatakan “Memang dalam proses sertifikasi tidak mudah karena kita harus tahu jelas proses, mekanisme dari budidaya sampai nanti diterima di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan memenuhi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan”.
Dampak terhadap Petani Kecil
Pemberlakuan kebijakan EUDR menyebabkan timbulnya dampak multidimensi, terutama terhadap petani kecil dan supply chain sawit yang terisolasi. Hal ini senada dengan pernyataan Emilia H Elisa, perwakilan divisi Amerop Kementerian Luar Negeri Indonesia “yang menjadi perhatian adalah bagaimana kekhawatiran kita pada petani kecil yang berpeluag terisolasi dalam supply chain”. Selain itu, Azis Hidayat, Ketua Bidang Perkebunan GAPKI menambahkan bahwa berdasarkan data yang ada hanya terdapat 30% dari petani yang memiliki sertifikat ISPO yang banyak dari petani tersebut yang gagal mendapatkan sertifikasi karena permasalahan sertifikat lahan. Hal serupa diungkapkan oleh Setiyono, Ketua Umum Aspekpir “Sertifikat balik nama menjadi permasalahan utama dari Aspekpir, khususnya ketika yang menjual sudah tidak ada”. Kondisi tersebut juga tentunya berpengaruh pada implementasi EUDR karena juga membutuhkan legalitas lahan. “Kalau dari perkebunan rakyat akan sulit karena tidak terpenuhinya aspek legalitas dan aspek persyaratan lainnya yang diminta oleh EU” imbuh Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk, Agus Purnomo. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, berbagai Kementerian/Lembaga terkait telah mengeluarkan berbagai kebijakan, termasuk kementerian BPN/ATR yang berusaha memfasilitasi legalitas lahan petani, seperti yang dikatakan Handayani, S.Si., Penata Pertanahan Muda ATR/ BPN “Akses petani kecil mungkin nanti bisa kita dorong untuk melakukan legalisasi aset terhadap lokasi lokasi kebun sawit tersebut yang luasnya 5 – 25 ha, sesuai dengan peraturan kementerian”.
Kompabilitas Sistem Sertifikasi ISPO dan EUDR
Permasalahan utama pada kesesuaian penilaian ISPO dengan EUDR adalah terkait definisi hutan, cutoff date, dan treacebility. Hendi Hidayat, perwakilan Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) mengungkapkan bahwa definisi hutan masing masing sertifikasi berbeda, “Pada ISPO definisi hutannya adalah hutan primer, berbeda dengan EUDR”. Selain itu ia juga menambahkan persoalan terkait cutoff date “Cutoff date dari EUDR 2025, sedangkan ISPO saya kira ga ada”. Cutoff date sangat penting, sehingga dapat dipastikan apakah pembukaan perkebunan setelah cutt off date atau sebelum. Pada kesempatan yang sama, Rully Amrullah, EU Delegation for Indonesia mengatakan “masih memungkinkan pencampuran produk yang bersertifikat ISPO dan non ISPO pada setiap tahapannya”, padahal mayoritas produk kelapa sawit yang diproduksi oleh Indonesia merupakan hasil campuran antara yang memiliki sertifikat ISPO dan tidak “mayoritas produk kelapa sawit kita, mungkin lebih dari 90% mencampur buah yang sudah jelas asal usulnya dengan buah yang masih harus ditelusuri lagi, sehingga memang mayoritas pabrik kelapa sawit tidak bisa mengirimkan produk ke Eropa” ujar Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk, Agus Purnomo.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk Pemerintah Indonesia: Emilia H Elisa, perwakilan divisi Amerop Kementerian Luar Negeri Indonesia merekomendasikan bahwa “harus ada dukungan dari atas untuk mengatasi dan memperkuat kedudukan RAN KSB”. Penguatan kebijakan tersebut mampu mengatasi berbagai permasalahan yang muncul terkait implementasi ISPO. Selain dukungan kebijakan, metodologi yang digunakan juga harus cepat ditetapkan, seperti yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad “kita harus putuskan metodologi tracebility yang sesuai dengan kondisi di Indonesia”. Tauhid juga menambahkan bahwa meski posisi Indonesia menolak EUDR, kita harus tetap menyiapkan dan melakukan percepatan perbaikan ISPO. Dr. Sc. Agr. Sunny W.H. Reetz – Executive Director of YEIBHI menyampaikan alternatif lain bagi Indonesia terkait hal ini. Beliau menyatakan bahwa “hilirisasi mampu menyelamatkan kita”. hilirisasi industri sawit mampu dijadikan sebagai alternatif dalam mengurangi dampak negatif EUDR. Terlebih rencana tersebut sudah mulai dilakukan oleh Bappenas, seperti yang dikatakan oleh Aldo Manullang, sebagai perwakilan Bappenas, bahwa “Bappenas berperan dalam menyusun RPJMN dan memasukan hilirisasi sawit sebagai prioritas”.
Untuk Joint Task Force: JTF memiliki peran penting dalam menyelesaikan ketidaksesuaian kebijakan EUDR bagi para negara produsen. Emilia H Elisa, perwakilan divisi Amerop Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan “Joint Task Force menjadi platform krusial bagi karena menjadi platform bagi Pemerintah Indonesia untuk meminta mutual recognition”. Beliau menambahkan “kami berharap poin poin penting yang ada pada ISPO untuk dibawa ke JTF, khususnya pada komoditas kelapa sawit”.
Untuk Komisi Eropa: Kementerian Luar Negeri Indonesia yang diwakilkan oleh Emilia H Elisa berharap Komisi Eropa bisa mempertimbangkan dan menyelaraskan sertifikasi yang telah ada, seperti ISPO “Kemenlu berharap poin poin penting yang ada pada ISPO untuk dibawa ke JTF, kemudian EU bisa menyelaraskan dengan EUDR” Beliau menambahkan pernyataan bahwa “Komisi Eropa harus melibatkan para negara produsen sawit dalam kebijakan”. Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad menyoroti terkait implementasi kebijakan EUDR yang tergolong cepat “EU harus mengerti mengenai problem yang dihadapi oleh negara produsen sehingga cutoff date bisa dibicarakan ulang karena ini terlalu mepet, agar kita juga bisa melakukan proses sertifikasi yang lebih masif”. Solusi lain yang bisa dilakukan oleh EU adalah dengan menerapkan inception phase “memberlakukan inception phase, yaitu fase untuk belajar” ujar Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk, Agus Purnomo. (Red)