Dalam gelap sejarah, kejujuran adalah lentera; hanya dengan mengakui kesalahan kita dapat merajut kembali keadilan dan rekonsiliasi.” – Bung Eko Supriatno
PANDEGLANG, biem.co – Setiap tahun, peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober menyelimuti kita dalam suasana haru dan khidmat.
Namun, seiring berjalannya waktu, kesakralan itu mulai memudar. Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, keraguan dan ketidakpercayaan mulai merasuk ke dalam pemahaman kita tentang peristiwa bersejarah ini.
Sejarah, dengan segala kompleksitasnya, tidak hanya memberi pelajaran, tetapi juga berfungsi manipulatif.
Sejarawan Rusia, Peter Ustinov, pernah mengungkapkan sebuah kebenaran yang mendalam: “Siapa pun yang menguasai ingatan seseorang, ia akan menguasai kehidupan mereka.” Pernyataan ini bukan hanya sekadar refleksi tentang kekuatan ingatan, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan betapa pentingnya narasi dalam membentuk identitas dan pandangan kita terhadap dunia.
Dalam konteks sejarah Indonesia, khususnya masa Orde Baru, kita tidak dapat mengabaikan bagaimana narasi yang dibangun oleh penguasa berpengaruh besar pada ingatan kolektif masyarakat. Selama era ini, narasi yang dominan sering kali ditentukan oleh kepentingan politik dan kekuasaan, membentuk cara pandang masyarakat terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, termasuk tragedi kemanusiaan yang melibatkan pembantaian ratusan ribu orang yang diduga terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Narasi yang dibangun oleh penguasa Orde Baru berfungsi sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan.
Dengan mengkonstruksi cerita yang menempatkan PKI sebagai musuh utama negara, penguasa menciptakan persepsi bahwa tindakan represif yang diambil adalah langkah yang diperlukan untuk menyelamatkan Pancasila dan keutuhan bangsa.
Dalam proses ini, fakta-fakta sejarah sering kali diputarbalikkan atau disembunyikan, menciptakan gambaran yang sepihak dan mendiskreditkan para korban.
Narasi ini, yang sarat dengan kepentingan politik, dengan cepat mendarah daging dalam ingatan kolektif masyarakat. Melalui propaganda yang terus-menerus, masyarakat dibombardir dengan informasi yang membenarkan tindakan-tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan demikian, banyak orang yang tidak menyadari kompleksitas peristiwa sejarah tersebut, dan malah terjebak dalam pandangan yang simplistik dan stereotip.
Pengaruh Terhadap Ingatan Kolektif
Ketika narasi resmi ini mengakar kuat, ia membentuk cara masyarakat mengenang dan memahami masa lalu. Ingatan kolektif yang dihasilkan tidak hanya memengaruhi pandangan masyarakat terhadap sejarah, tetapi juga membentuk identitas nasional. Dalam banyak kasus, ingatan ini lebih mendasarkan diri pada ketakutan dan stigma daripada pada keadilan dan kebenaran.
Penguasa Orde Baru berhasil menanamkan narasi bahwa siapa pun yang mempertanyakan versi resmi dianggap sebagai pengkhianat, dan ini menciptakan suasana yang menakutkan bagi masyarakat untuk berbicara tentang sejarah dengan cara yang berbeda. Akibatnya, mereka yang memiliki pengalaman atau sudut pandang alternatif sering kali terpinggirkan, dan kisah mereka tidak mendapatkan ruang dalam diskusi publik.
Kita harus bertanya: apa dampak dari narasi ini pada generasi sekarang? Dalam era informasi yang semakin terbuka, kita memiliki akses yang lebih besar untuk menggali kebenaran yang tersembunyi. Penting bagi kita untuk menyadari bahwa ingatan bukanlah sesuatu yang statis; ia dapat dibentuk ulang dan diinterpretasikan kembali. Menggali narasi yang beragam dan mendengarkan suara-suara yang terpinggirkan menjadi langkah penting dalam upaya rekonsiliasi.
Di sinilah pentingnya pendidikan sejarah yang kritis dan inklusif. Kita perlu mengajak generasi muda untuk tidak hanya menerima narasi resmi, tetapi juga mempertanyakan dan mencari tahu fakta-fakta di baliknya.
Dengan cara ini, kita dapat membangun pemahaman yang lebih komprehensif dan adil tentang sejarah, yang mencakup berbagai perspektif, termasuk suara-suara korban.
Dalam akhir refleksi ini, kita dihadapkan pada tantangan untuk membuka tabir kelam sejarah dan mengakui kompleksitasnya. Seperti yang dinyatakan Ustinov, penguasaan ingatan memiliki kekuatan besar dalam membentuk kehidupan. Oleh karena itu, saatnya bagi kita untuk mengambil alih ingatan kolektif ini dan mengisinya dengan kebenaran, keadilan, dan rekonsiliasi. Dengan melakukan ini, kita tidak hanya menghormati mereka yang telah menjadi korban, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh bangsa.
Peristiwa gugurnya tujuh perwira militer pada tahun 1965 adalah fakta yang tidak dapat diingkari. Namun, mengutuk tindakan keji tersebut dengan memperingati Hari Kesaktian Pancasila memerlukan kehati-hatian. Memperingati berarti mengakui pelaku dan motif di balik tragedi itu, yang sering kali disalahartikan sebagai upaya mendongkel dasar negara Pancasila.
Aktor intelektual yang memicu tragedi ini masih belum teridentifikasi dengan jelas. Pernyataan resmi yang disiarkan RRI pada saat itu tidak menunjukkan niatan untuk menggulingkan Pancasila. Peringatan ini seharusnya mencerminkan fakta bahwa Orde Baru tidak hanya berupaya menyelamatkan Pancasila, tetapi juga mempertahankan kekuasaan dengan justifikasi penyelamatan tersebut.
Pembantaian yang Tak Terlihat
Robert Cribb, seorang sejarawan, mengungkapkan bahwa selama Orde Baru, terjadi penutupan sistematis terhadap realitas pembantaian dan penyiksaan ratusan ribu, bahkan jutaan orang yang diduga terlibat dengan PKI, tanpa proses hukum yang layak.
Hermawan Sulistiyo, penulis buku Palu Arit di Ladang Tebu, menyoroti bahwa tindakan pembantaian ini terjadi bersamaan dengan pergerakan tentara dan Komite Aksi Pengganyangan yang direstui oleh penguasa.
Ya, pada masa Orde Baru, Indonesia mengalami periode yang penuh kontroversi dan pelanggaran hak asasi manusia, yang terwujud dalam bentuk penutupan sistematis terhadap realitas pembantaian dan penyiksaan. Robert Cribb, seorang sejarawan terkemuka, menekankan bahwa selama periode ini, banyak individu yang dituduh terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi korban dari tindakan represif yang tidak berkeadilan. Tanpa adanya proses hukum yang layak, ratusan ribu hingga jutaan orang mengalami penahanan, penyiksaan, bahkan pembantaian.
Hermawan Sulistiyo, penulis buku “Palu Arit di Ladang Tebu”, memberikan perspektif tambahan mengenai konteks historis dari tindakan keji ini. Ia menunjukkan bahwa pembantaian tersebut tidak terjadi dalam kehampaan; sebaliknya, tindakan tersebut beriringan dengan gerakan militer dan dukungan dari Komite Aksi Pengganyangan, yang didukung oleh kekuasaan saat itu. Dalam suasana ketegangan politik yang melanda Indonesia, legitimasi tindakan tersebut dibangun atas dasar narasi yang menuduh PKI sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional.
Kondisi ini menciptakan situasi di mana kebenaran sejarah mulai diputarbalikkan. Banyak dari mereka yang dituduh tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk membela diri, sementara negara mengedepankan narasi penyelamatan Pancasila sebagai alasan utama untuk tindakan represif tersebut. Pembantaian yang terjadi, meski dilihat dari satu sisi sebagai tindakan yang membela negara, sesungguhnya menyisakan luka mendalam dalam tatanan sosial dan kemanusiaan.
Melalui pemahaman ini, kita dihadapkan pada kebutuhan untuk merefleksikan kembali sejarah, tidak hanya untuk menghormati mereka yang menjadi korban, tetapi juga untuk mencegah pengulangan kesalahan yang sama di masa depan. Panggilan untuk keadilan dan pengakuan terhadap pelanggaran hak asasi manusia adalah langkah penting dalam upaya mencapai rekonsiliasi dan memperkuat demokrasi di Indonesia.
Ini menimbulkan ironi: peringatan akan gugurnya tujuh jenderal berseberangan dengan pengabaian terhadap ratusan ribu nyawa yang mungkin tidak bersalah. Menghormati satu sisi sejarah tanpa mengakui kesalahan lain adalah sebuah ketidakadilan yang harus kita hadapi.
Slogan nasionalisme “right or wrong is my country” perlu kita kritisi. Kita harus berani membedakan antara benar dan salah. Mengikuti jejak pemerintah Belanda, yang meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada korban kekejaman di masa lalu, seharusnya menjadi pelajaran bagi kita. Kenapa kita tidak bisa mengakui kesalahan terhadap sesama anak bangsa?
Membuka Tabir Kegelapan
Pernyataan resmi untuk membuka tabir kegelapan yang telah puluhan tahun menutupi kebenaran adalah langkah yang sangat diperlukan dalam perjalanan bangsa ini. Tindakan ini tidak hanya bertujuan untuk menebus kesalahan masa lalu, tetapi juga menawarkan berbagai hikmah yang dapat membawa kita ke arah yang lebih baik. Mari kita jabarkan beberapa poin penting yang menjadi dasar dari urgensi langkah ini.
Pertama, Mengakui Kemanusiaan
Pertama-tama, langkah ini menegaskan sisi kemanusiaan dari pemerintah. Sebuah pemerintah terdiri dari individu-individu yang, seperti kita semua, tidak luput dari kesalahan. Mengakui kesalahan masa lalu merupakan bagian dari proses pembelajaran yang penting. Ketika pemerintah menyatakan bahwa mereka dapat melakukan kesalahan, ini menciptakan ruang untuk refleksi dan pertumbuhan. Ini adalah pengingat bahwa kekuasaan yang diemban tidak menjadikan seseorang kebal terhadap kekeliruan. Sebaliknya, kesadaran ini harus diubah menjadi komitmen untuk memperbaiki diri demi kepentingan rakyat.
Kedua, Pentingnya Proses yang Adil dan Transparan
Kedua, pernyataan resmi ini juga mencerminkan pentingnya ketaatan hukum. Proses hukum yang adil dan transparan adalah pondasi dari setiap negara yang ingin menjunjung tinggi keadilan. Dengan mengakui kesalahan dan membuka kembali tabir sejarah, kita mengajarkan pentingnya menghormati hukum dan hak asasi manusia.
Tindakan ini memberikan sinyal bahwa tidak ada satu pun yang di atas hukum, termasuk pemerintah. Ini akan mendorong terciptanya sistem hukum yang lebih kuat dan akuntabel, serta memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Ketiga, Menghilangkan Stigma dan Diskriminasi
Selanjutnya, langkah ini berfungsi untuk memberikan legitimasi bagi mereka yang selama ini dicap sebagai pelaku atau pendukung Gerakan 30 September (G30S). Stigma yang menempel pada individu-individu ini sering kali menyebabkan diskriminasi dan marginalisasi, yang tidak berdasar pada kebenaran. Dengan membuka dialog mengenai sejarah, kita dapat mulai menghilangkan stigma tersebut, sehingga individu-individu yang mungkin tidak bersalah dapat menjalani kehidupan mereka tanpa bayang-bayang masa lalu yang kelam. Ini adalah langkah penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan adil.
Keempat, Meringankan Beban Sejarah
Mengakui kesalahan masa lalu juga memiliki dampak yang signifikan pada psikologi korban dan keturunannya. Banyak individu dan keluarga yang hidup dengan beban emosional akibat tragedi sejarah yang menimpa mereka. Dengan menyatakan secara resmi bahwa ada kesalahan yang terjadi, pemerintah memberikan ruang bagi korban dan keturunan mereka untuk memproses rasa sakit tersebut. Ini dapat menjadi langkah awal menuju penyembuhan dan penerimaan, membantu mereka untuk tidak lagi terjebak dalam luka lama.
Kelima, Rekonsiliasi Masa Depan Bersama
Akhirnya, langkah untuk membuka tabir kegelapan ini sangat penting dalam menciptakan semangat rekonsiliasi. Dalam menghadapi sejarah yang rumit, kita perlu menjalin kembali ikatan yang mungkin telah retak. Mengedepankan semangat kesatria untuk maju bersama sebagai bangsa adalah kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih harmonis. Ini bukan hanya tentang memperbaiki kesalahan masa lalu, tetapi juga tentang membangun jembatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat, dengan saling memahami dan menghargai perbedaan.
Dengan mengakui kesalahan dan membuka tabir kegelapan, kita tidak hanya mengambil langkah menuju keadilan, tetapi juga membangun pondasi yang lebih kuat untuk masa depan.
Melalui proses ini, kita berharap dapat menciptakan Indonesia yang lebih adil, harmonis, dan sejahtera. Kita perlu memiliki keberanian untuk menghadapi kebenaran, karena hanya dengan cara ini kita dapat melangkah maju dan menjadi bangsa yang lebih baik.
Melalui langkah-langkah ini, diharapkan kita dapat menciptakan masa depan yang lebih adil dan harmonis bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kini, kita perlu mempertanyakan apakah pemimpin kita, dalam waktu setahun ke depan, akan mampu dan mau mengambil langkah-langkah ini. Keberanian untuk merefleksikan dan mengakui kesalahan masa lalu adalah kunci bagi kemajuan bangsa di masa mendatang. Apakah kita siap menyongsong kebenaran? (Red)
Bung Eko Supriatno, penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.