“Sekolah lalai, data salah, yang hancur itu bukan cuma angka, tapi masa depan anak bangsa!”
BANTEN, biem.co – Ketika sistem pendidikan kita terperosok dalam kelalaian yang sudah tak terhitung, kita tidak bisa lagi sekadar menyalahkan siswa yang gagal. Apakah mereka yang terlambat atau kurang pandai dalam memanfaatkan kesempatan? Tidak.
Mereka adalah korban dari sebuah sistem yang tidak mampu menjaga integritasnya. Sekolah yang lalai menginput data ke dalam Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) bisa merusak seluruh harapan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri (PTN).
Di saat mereka seharusnya berbangga dengan rapor yang gemilang, mereka malah harus menghadapi kenyataan pahit: gagal melanjutkan pendidikan karena kesalahan administratif yang seharusnya tak pernah terjadi.
Anehnya, pihak sekolah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan data yang benar justru berpikir sebaliknya: “Apakah kita perlu repot-repot memeriksa data jika kelulusan sudah dapat dimanipulasi?”
Sekolah yang seharusnya mencetak generasi cerdas kini justru menghasilkan generasi yang terbiasa mengabaikan tanggung jawab dan integritas. Bahkan, di beberapa sekolah, seperti SMAN 4 Pandeglang—tempat putri saya bersekolah, yang selalu meraih ranking 1, juara umum, dan juara karya ilmiah tingkat provinsi—kelalaian dalam pengisian data mengancam masa depan putri saya dan 216 siswa lainnya.
Apa yang mereka lakukan? Seorang operator terjebak dalam rutinitas penginputan manual yang keliru, tanpa rasa urgensi, hingga begitu lambatnya sampai-sampai tenggat waktu nyaris terlewat. Akibatnya, hilanglah kesempatan bagi siswa-siswa yang sejatinya berhak. Itu baru satu sekolah. Bagaimana dengan sekolah-sekolah lainnya? Apakah kita akan terus memaafkan kelalaian semacam ini?
Penyebab kelalaian ini sangat beragam, mulai dari kesalahan teknis hingga ketidakseriusan pihak sekolah dalam menjalankan tugasnya. Bukan hanya satu sekolah, tetapi semakin banyak sekolah yang terjebak dalam kebingungan ini.
Berdasarkan data PDSS 2025, di wilayah Banten saja tercatat 161 SMA yang belum mengisi PDSS, 41 SMA yang tidak selesai mengisi PDSS, dan 412 SMA yang telah mengisi namun mengirimkan data yang salah—salah satunya melalui WhatsApp yang dikirim oleh seorang kepala sekolah. Kini, ratusan siswa terancam kehilangan kesempatan mereka untuk meraih masa depan.
Ini bukan soal kebodohan atau kurang usaha dari siswa-siswa tersebut, tetapi akibat dari kesalahan yang seharusnya bisa dihindari. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat yang melindungi mereka dan menjaga integritas sistem, justru mengabaikan tanggung jawab besar mereka.
Lantas, di mana peran pemerintah dan kementerian pendidikan dalam mengatasi masalah ini? Kita sudah lelah dengan janji-janji yang tak kunjung terwujud. Jika memang pemerintah serius menginginkan pendidikan yang berkualitas, mereka seharusnya melakukan evaluasi mendalam terhadap proses administrasi ini.
Bagaimana bisa sistem PDSS yang begitu vital tidak bisa dioptimalkan dengan baik? Jangan sampai kita terus-terusan mendengar alasan klasik: “Masih dalam proses perbaikan.” Sementara itu, siswa yang sudah berjuang keras harus menerima kenyataan bahwa kesalahan administratif menghancurkan masa depan mereka.
Dan yang lebih memalukan, saat sekolah lalai, mereka yang paling pertama menderita adalah para siswa yang tidak bersalah. Permintaan maaf dari pihak sekolah tidak akan cukup menggantikan hilangnya kesempatan emas yang seharusnya mereka dapatkan.
Bukan hanya waktu yang terbuang, tetapi harapan yang hancur. Kepercayaan yang sudah dibangun pun runtuh begitu saja. Harapan mereka untuk berkuliah di perguruan tinggi negeri lenyap hanya karena kelalaian yang tidak ditanggapi serius. Apakah ini pantas disebut sebagai sistem pendidikan yang adil? Tentu saja tidak.
Lebih ironis lagi, kita sering melihat sistem yang memberi sanksi kepada siswa jika mereka melakukan kesalahan kecil dalam proses ini, tetapi ketika sekolah melakukan kesalahan fatal, seolah-olah tidak ada konsekuensi yang jelas. Kenapa hanya siswa yang dihukum?
Mengapa pihak sekolah yang seharusnya bertanggung jawab tidak mendapatkan sanksi yang tegas? Apakah karena mereka sudah terbiasa dengan sistem yang tidak adil? Sistem yang hanya menguntungkan pihak yang mengabaikan aturan, sementara siswa yang terkena dampaknya, harus menerima kegagalan yang tak terelakkan.
Pemerintah, Kementerian Pendidikan, dan seluruh pihak yang terlibat, sudah saatnya untuk berhenti berbicara kosong! Jangan terus-terusan menyalahkan siswa atau sekolah, tetapi beranilah untuk menegakkan keadilan dan integritas dalam setiap proses yang ada. Evaluasi sistem pendidikan secara menyeluruh, dan pastikan tidak ada lagi kesalahan administratif yang menghancurkan masa depan anak bangsa. Jangan biarkan sistem pendidikan kita menjadi tambang harapan yang mudah terkubur karena kelalaian yang bisa dicegah.
Untuk orang tua dan siswa yang terdampak, jangan hanya menerima permintaan maaf kosong! Suarakan hak kalian! Jangan ragu untuk membawa masalah ini ke ranah hukum, karena jika kita tidak bertindak sekarang, maka kegagalan ini akan terus berulang dan merusak seluruh sistem pendidikan kita. Jika tidak ada sanksi yang jelas dan solusi konkret, kita akan terus menyaksikan lebih banyak siswa yang terpaksa gagal hanya karena kesalahan yang bukan tanggung jawab mereka.
Saatnya untuk memperbaiki sistem pendidikan yang rusak ini. Pendidikan adalah investasi terbesar untuk masa depan bangsa. Jangan biarkan kelalaian dalam pengelolaan data menghancurkan harapan mereka yang ingin menuntut ilmu. Ini bukan hanya masalah teknis; ini adalah masalah moral, masalah keadilan. Jika kita gagal hari ini, maka tidak hanya SNBP yang hancur, tetapi juga masa depan bangsa yang seharusnya dibangun dengan semangat kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab.* (Red)
Eko Suproatno, penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.