“Seperti langkah sunyi Baduy dalam Seba, mereka mengingatkan kita: di dunia yang riuh mengejar kemajuan, kebijaksanaan sejati lahir dari keheningan yang menghormati alam dan leluhur.”
SERANG, biem.co – Di dunia yang dipenuhi gemerlap layar, deru mesin, dan gegap gempita peradaban yang tak kenal jeda, ada suara lirih dari pedalaman Banten yang tak pernah betul-betul padam.
Suara itu bukan teriakan, bukan slogan, apalagi tuntutan. Ia adalah bisikan yang berjalan kaki, melintasi hutan, menyusuri lembah, melewati batas-batas geografis maupun imajiner. Namanya: Seba Baduy.
Setiap tahunnya, masyarakat adat Baduy melakukan perjalanan spiritual sekaligus politis—dalam diam namun lantang—untuk menyampaikan pesan: bahwa dunia bisa maju tanpa harus tercerabut dari akar, bahwa kesetiaan pada alam dan leluhur bukanlah keterbelakangan, melainkan bentuk paling jujur dari peradaban.
Seba bukan sekadar tradisi. Ia adalah dokumen hidup tentang bagaimana sebuah komunitas menjaga nilai-nilai yang dianggap sakral, di tengah laju deras modernitas yang terus mendesak. Ketika 1.769 warga Baduy, termasuk 69 orang Baduy Dalam dan 145 pendatang baru dalam prosesi, melangkah menuju Pendopo Bupati Lebak dan Gedung Negara Serang pada awal Mei 2025, mereka tidak hanya membawa hasil bumi—padi, madu, dan umbi-umbian.
Mereka membawa ide, membawa peringatan, membawa harapan. Bahwa negara, dalam segala kuasa dan kebijaksanaannya, tidak boleh melupakan hutan tempat burung bersiul, mata air tempat kehidupan bermula, dan adat yang menyimpan filosofi tak tertulis tentang tata kelola dunia.
Dalam lensa akademis, Seba Baduy adalah anomali yang perlu direnungi, bukan direndahkan. Ia merangkum tiga disiplin sekaligus: diplomasi budaya yang tak memerlukan mikrofon; etika ekologis yang tak butuh seminar; serta ketahanan identitas yang tak terjangkau oleh algoritma. Ia menyodorkan kritik tanpa menyebutkan kritik. Ia mempertahankan hak tanpa mengangkat senjata. Ia menolak lupa tanpa perlu dokumenter. Inilah cara Baduy berkata pada dunia: “Kami tetap berjalan, meski kalian berlari.”
Seba Gède tahun ini, yang berarti Seba Besar, bukan hanya peristiwa adat. Ia adalah pernyataan ideologis dari sebuah masyarakat yang memilih setia pada prinsip ketimbang hanyut oleh arus. Di balik langkah sunyi mereka, tersimpan kekuatan narasi yang layak dikaji, layak dihormati, dan—lebih dari itu—layak menjadi cermin. Karena mungkin, dalam dunia yang kehilangan arah karena terlalu banyak pilihan, justru komunitas yang hidup dalam keterbatasanlah yang paling tahu ke mana kita seharusnya melangkah. Apakah dunia mau mendengarkan? Atau hanya menatap, terpesona, lalu melupakan?
Seba Baduy, Jejak Sunyi yang Menggema
Tak ada pengeras suara. Tak ada sorotan kamera yang diarahkan oleh sutradara. Tapi langkah kaki itu terdengar. Pelan, konsisten, dan sarat makna. Mereka yang menyebut dirinya Urang Kanekes, menolak digempur zaman dengan gegabah.
Mereka tidak melawan modernitas, tidak juga tunduk. Mereka memilih jalan sendiri—jalan leluhur—dengan kepala tegak dan hati yang tertunduk pada alam semesta. Seba Baduy bukan sekadar tradisi. Ia adalah tafsir hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi, semacam konstitusi tak tertulis yang menata relasi antara manusia, bumi, dan kekuasaan.
Seba tidak datang tiba-tiba. Ia lahir dari rahim ritual panjang: Kawalu, puasa tiga bulan yang bukan sekadar menahan lapar, melainkan menyucikan niat dan pikiran; lalu Seren Taun, atau Ngalaksa, yang menandai panen raya sebagai anugerah, bukan hasil semata.
Semua berakar dari kepercayaan tua yang kokoh dalam diam: Sunda Wiwitan. Agama yang tak meminta pengikut, tapi menanamkan nilai. Di dalamnya, alam bukan objek eksploitasi, melainkan guru dan ibu. Kesederhanaan bukan kemiskinan, melainkan pilihan sadar.
Dan dari semua ini, Seba adalah puncaknya. Ialah momen ketika warga Baduy keluar dari batas wilayah adatnya. Dengan kaki telanjang atau sandal jepit yang nyaris lapuk, mereka berjalan menyusuri jalan aspal yang dulu bukan milik mereka. Tapi mereka tahu, dunia kini bersinggungan. Mereka tahu, tradisi harus berdialog, bukan mengurung diri. Maka mereka datang membawa hasil bumi—beras titipan, pisang, gula aren, dan kue laksa—bukan untuk dipamerkan, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab. Inilah laporan tahunan versi Baduy, tanpa angka statistik, tanpa power point. Laporan yang berbicara lewat laku.
Dalam bingkai akademis, Seba Baduy adalah studi kasus ideal tentang diplomasi budaya. Ia tidak hadir dengan lobi dan protokol, melainkan dengan kesetiaan yang konsisten dan narasi yang kuat. Ia menjadi jembatan antara masyarakat adat yang nyaris tak tersentuh zaman dengan institusi negara yang terus berganti wajah. Dalam Seba, tak ada tuntutan, tapi ada harapan. Tak ada kritik frontal, tapi ada isyarat yang tak bisa diabaikan. Dan tahun ini, hadirnya pejabat negara—dari Kemenparekraf hingga anggota DPR—adalah pengakuan bahwa suara yang pelan juga bisa mengguncang.
Masuknya Seba Baduy ke dalam Kalender Event Nasional 2025 bukan sekadar pencapaian administratif. Ia adalah pengakuan simbolik bahwa warisan budaya bukan hanya milik masa lalu, tapi juga masa depan. Namun justru di sinilah ujiannya dimulai. Ketika sorotan kamera datang, ketika turis berdatangan, ketika media sibuk mencari sudut menarik, apakah Seba akan tetap sakral? Ataukah ia akan menjadi panggung yang kehilangan makna karena terlalu ingin ditonton?
Di titik inilah diplomasi budaya diuji. Ia harus dibangun dari penghormatan, bukan eksotisme. Dari keterlibatan hati, bukan jadwal promosi. Seba Baduy mengajarkan bahwa adat tidak bisa dibeli, tidak bisa dipoles sesuai keinginan pasar. Ia harus didengar, dipahami, dan dijaga. Dalam dunia yang makin cepat dan sering lupa arah, mungkin kita perlu melambat sejenak. Mendengar langkah-langkah dari Kanekes. Karena di sana, mungkin, tersimpan arah pulang yang tak lagi kita temukan dalam peta digital kita.
Pesan Baduy untuk Dunia
Di zaman ketika dunia sibuk menghitung karbon dan menyusun dokumen-dokumen berlabel hijau, ada sekelompok manusia di pedalaman Banten yang tak pernah mengenal istilah “sustainability”, tapi telah mempraktikkannya sejak sebelum dunia mengenal istilah itu. Mereka adalah Urang Kanekes, yang oleh dunia luar disebut Baduy.
Dalam langkah kaki mereka, yang menyusuri hutan, mendaki bukit, dan menyeberangi sungai, tersimpan satu pesan yang lebih jernih daripada pidato pejabat atau presentasi ahli lingkungan: manusia harus tahu diri di hadapan alam.
Adat Baduy menyimpan sebuah peringatan yang begitu sederhana, tapi tak kalah revolusioner: “Gunung teu menang dilebur, Lebak teu menang dirusak.” Gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak. Sebuah kalimat yang lebih dari sekadar larangan. Ia adalah hukum tak tertulis yang berdiri tegak di tengah dunia yang makin gemar merobohkan. Bagi masyarakat Baduy, menjaga hutan bukan pekerjaan LSM, bukan proyek CSR, melainkan tugas suci yang diwariskan langsung dari Batara Cikal—nenek moyang yang memberi amanah untuk menata dunia, bukan menaklukkannya.
Hidup di atas 5.000 hektare tanah Pegunungan Kendeng, Baduy menjaga hutan seperti menjaga nadi sendiri. Sungai mereka biarkan mengalir tanpa bendungan, pohon mereka biarkan tumbuh tanpa tebang pilih. Mereka menanam padi hanya sekali setahun. Tanpa pupuk kimia, tanpa mesin berat. Hanya dengan parang, tunggak, dan doa. Mereka menolak produksi massal demi kelestarian. Mereka menimbun hasil panen di leit, lumbung-lumbung kayu yang menyimpan bukan hanya beras, tapi juga filosofi hidup: bahwa makanan adalah anugerah, bukan hasil mesin. Di dunia yang memuja efisiensi, Baduy memilih cukup. Di tengah dunia yang lapar akan pertumbuhan, Baduy menolak rakus.
Dalam kaca mata akademik, ini bukan sekadar folklor. Ini adalah etika ekologis—etika yang hidup, bukan yang tertulis di kertas seminar. Etika yang mengakar dalam ekologi budaya, yaitu cara hidup yang menempatkan alam sebagai mitra, bukan objek eksploitasi. Studi-studi etnografi telah lama mencatat bahwa pelestarian lingkungan di Kanekes tidak pernah didorong oleh konsep-konsep global, melainkan oleh iman. Iman kepada leluhur, iman kepada tatanan kosmis yang mereka sebut sebagai “hukum alam”. Dan mungkin di situlah kekuatannya. Karena iman tidak tergantung pada insentif. Ia lahir dari keyakinan, bukan perhitungan.
Ketika dunia hari ini sibuk membangun narasi hijau yang dikomersialkan, Baduy tampil sebagai antitesis: sunyi, bersahaja, tapi tegas. Mereka tidak menuntut dunia meniru mereka. Mereka hanya mengingatkan: bahwa alam bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan anak cucu. Seba Baduy, dalam konteks ini, bukan sekadar ritual adat. Ia adalah pesan ekologis global yang disampaikan tanpa bendera, tanpa jargon, tapi dengan teladan yang hidup.
Mungkin dunia tak akan sepenuhnya menjadi seperti Baduy. Tapi barangkali dunia bisa belajar untuk berhenti sejenak—mendengar, dan bertanya pada dirinya sendiri: benarkah kita sedang maju, atau justru sedang menjauh dari akar kehidupan?
Tantangan Modernitas, Menjaga Identitas
Dalam setiap peradaban, ada satu masa ketika pilihan menjadi genting: antara mempertahankan jati diri atau menyesuaikan diri dengan arus zaman. Bagi masyarakat Baduy, terutama dalam ritual Seba, pilihan itu tidak pernah hitam-putih.
Dunia berubah, dan mereka pun tahu. Tapi mereka tidak gegabah. Mereka tidak menyambut perubahan dengan tangan kosong, tapi juga tidak menolaknya dengan marah-marah. Mereka menyaring, bukan menelan mentah. Mereka memilih dengan bijak, bukan karena takut, tapi karena sadar.
Baduy Luar mulai membuka diri. Mereka menerima rupiah, berdagang, bahkan bersentuhan dengan teknologi dalam batas tertentu. Mereka berbincang dengan orang luar, belajar beradaptasi tanpa kehilangan arah.
Sementara Baduy Dalam tetap kukuh. Mereka tidak membenci dunia, hanya menjaga jarak. Pendidikan formal ditolak bukan karena anti-ilmu, tapi karena percaya bahwa pengetahuan juga bisa diwariskan dari sawah, dari hutan, dari laku harian yang tak tercatat di buku. Dokumentasi dianggap mengusik roh adat.
Dan di sana, di tengah kesunyian itu, ada Ayah Sami. Sosok tua yang tidak memaksa dunia untuk paham, tapi lewat ucapannya memberi arah: Seba Gède tahun ini membawa peralatan dapur tradisional—bukan karena ikut tren, tapi karena ingin bicara dengan simbol. Bahwa dapur adalah jantung rumah, tempat nilai disiapkan dan diwariskan. Bahwa ritual adalah ruang hidup, bukan museum.
Perbedaan antara Seba Gède dan Seba Kecil adalah cermin dari kemampuan adat untuk menyesuaikan tanpa tunduk. Adat Baduy bukan fosil yang dibekukan waktu. Ia adalah pohon yang mengakar kuat tapi rantingnya bisa menari ditiup angin. Di situlah kekuatannya: fleksibilitas tanpa kehilangan esensi. Sebuah kearifan yang sulit dicari di tengah dunia modern yang seringkali menjual diri hanya demi menjadi “terkini”.
Tapi tantangan datang bukan hanya dari dalam. Ketika Seba Baduy masuk ke dalam Kalender Event Nasional 2025, maka ritual ini resmi menjadi bagian dari narasi pariwisata. Ribuan mata akan datang. Kamera akan menyala. UMKM akan digelar, pertunjukan seni disusun, camping ground dibuka. Dalam bahasa pemerintah, ini disebut “potensi ekonomi budaya”. Tapi bagi Baduy, ini adalah ujian kesakralan. Batas antara pelestarian dan eksploitasi menjadi kabur. Maka, mereka menolak disebut “objek wisata”. Mereka lebih memilih istilah “Saba Budaya Badui”—kunjungan budaya yang mengandung kesadaran, bukan sekadar tontonan.
Di sinilah muncul sebuah pelajaran yang sangat penting. Bahwa resistensi tidak selalu berarti menutup diri. Ia bisa hadir dalam bentuk narasi baru, dalam diksi yang dipilih sendiri. Dalam perspektif antropologi, sikap ini adalah bentuk agensi budaya: kemampuan kelompok lokal untuk menentukan cara mereka hadir di hadapan dunia. Baduy bukan masyarakat pasif yang hanya “dilestarikan”. Mereka adalah pelaku yang mengarahkan sendiri masa depan budayanya.
Dan mungkin inilah yang membuat Seba Baduy tak lekang dimakan waktu. Ia bukan hanya urusan orang Kanekes. Ia adalah pelajaran global: bahwa mempertahankan identitas tidak berarti memusuhi perubahan. Tapi mengolahnya—dengan akal, dengan hati, dan dengan penghormatan yang utuh terhadap akar.
Seba Baduy sebagai Cermin Bangsa
Seba Baduy adalah langkah sunyi yang tak pernah kehilangan gema. Di tengah kegaduhan peradaban modern yang membanggakan kecepatan, masyarakat Baduy menunjukkan arah yang sebaliknya—melangkah pelan, tapi pasti; berjalan jauh, tapi tidak pernah tersesat. Mereka adalah cermin bening yang mengembalikan wajah bangsa ke bentuk asalnya: bersahaja, tertib, penuh rasa hormat kepada alam, kepada sesama, dan kepada nilai-nilai yang tak bisa dibeli oleh waktu atau uang.
Gubernur Banten, Andra Soni, tidak keliru ketika menyebut Seba sebagai pelajaran budaya. Di sana, kita melihat bahwa kedisiplinan tidak selalu muncul dari aturan tertulis, melainkan dari keteladanan yang diwariskan. Kesederhanaan bukan kemunduran, tapi cara hidup yang jujur pada kebutuhan.
Dan tata cara bukan basa-basi, melainkan penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri. Ketika warga Baduy duduk bersama pejabat dan tak satu pun suara menyela saat mereka berbicara, itu bukan karena protokoler, tapi karena adab yang tumbuh dari akar.
Seba Baduy 2025 menjadi bukti bahwa masyarakat adat bukan kelompok yang terpinggirkan. Mereka tidak tinggal di masa lalu, tapi justru menantang masa depan dengan cara mereka sendiri. Mereka datang ke kota, bukan untuk menuntut pengakuan, melainkan untuk menyampaikan peringatan—bahwa hutan Kendeng bukan hanya deretan pohon, melainkan jantung dari ekosistem yang lebih besar. Mereka tidak menggugat, tidak meminta-minta, hanya mengingatkan dengan bahasa yang tak berteriak.
Kita bisa melihat warga Baduy sebagai tokoh yang memikul sejarah sekaligus masa depan. Mereka tidak menyebut diri mereka pahlawan, tapi tindakan mereka adalah bentuk keberanian yang paling sunyi: mempertahankan nilai di tengah gempuran perubahan. Mereka tahu bahwa tanah bisa dijual, pohon bisa ditebang, tradisi bisa dijadikan tontonan—tapi identitas? Itu tak bisa dibeli kembali bila sudah hilang.
Maka, Seba Baduy bukan hanya milik Kanekes. Ia adalah warisan bangsa. Sebuah naskah hidup yang mengajarkan bahwa menjadi Indonesia berarti berdamai dengan keberagaman, menghormati perbedaan, dan menjaga keseimbangan antara alam dan ambisi. Dalam dunia yang kelelahan oleh kemajuan yang membutakan, Baduy mengajak kita untuk menyadari kembali: bahwa hidup tidak harus cepat untuk menjadi berarti, dan bahwa kemajuan tanpa akar hanya akan melahirkan kekosongan.
Seba adalah nyala—dan selama Baduy masih berjalan, nyala itu akan terus ada. Bukan untuk membakar, tetapi untuk menerangi jalan bangsa yang ingin pulang: kembali kepada nilai-nilai yang membuat kita manusia.
Di tengah dunia yang terburu-buru, Baduy mengajarkan kita untuk melambat, mendengar, dan menghormati.
Seba Baduy 2025 bukan hanya peristiwa, tetapi panggilan untuk kembali menjadi manusia yang utuh, yang hidup bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk merangkul.
Sebuah perjalanan panjang yang harus dimulai dengan satu langkah: belajar dari mereka yang berjalan tanpa banyak bicara, namun menyentuh hati sejarah. (Red)
BUNG EKO SUPRIATNO – Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Pembina Pandeglang Creative Hub (PCH), Perkakas di Komunitas Bunga Rumput (KBR).