SERANG, biem.co – Pagi yang sejuk di TBM Titik Literasi menjadi latar pertemuan yang dirancang untuk menyambut Hari Krida Pertanian Nasional pada 21 Juni, momen yang dipilih berdasarkan sistem Pranata Mangsa sebagai simbol evaluasi hasil panen dan persiapan musim tanam berikutnya .
Puluhan peserta hadir sejak pukul 06.00 WIB untuk mendengarkan wawasan praktis dari pemateri yang membawa pengalaman lapangan terkait agrowisata, regenerasi petani, kedaulatan pangan, serta narasi nilai produk lokal.
Rangkaian paparan dimulai dengan penjelasan dari Kang Nong Banten 2025 (diwakili Ratu Inayah dan Nabil Aqilah Baang) yang menguraikan bahwa desa-desa di Banten memiliki kekayaan alam dan warisan budaya yang dapat diolah menjadi agrowisata berkelanjutan: misalnya tur kebun, pengalaman panen bersama, dan produksi olahan hasil tani sebagai cenderamata.
Model kemitraan langsung dengan petani dijabarkan sebagai kunci agar pendapatan tambahan mengalir tanpa perantara berlebih, sehingga ekonomi lokal tumbuh sambil melestarikan kearifan tradisional sebagai daya tarik wisatawan.
Selanjutnya, Dian Nupus, Pemuda Pelopor Kota Serang, memfokuskan pada urgensi regenerasi petani dengan strategi konkret: pendampingan teknologi tepat guna seperti aplikasi sederhana untuk memantau hasil tanam, program magang lapangan yang menjembatani pelajar dengan petani senior, mengintegrasikan literasi digital untuk pemasaran online tanpa mengabaikan nilai-nilai lokal agar pertanian dilihat sebagai profesi modern dan menjanjikan.
Pada sesi berikutnya, H. Asep Mulya Hidayat, Ketua PISPI Wilayah Banten, menyampaikan bahwa meski Banten tergolong “aman” dalam kecukupan pangan, kedaulatan belum tercapai; oleh karenanya, gerakan “bela beli” produk pertanian lokal langsung dari petani sekitar menjadi langkah nyata—membeli hasil panen tanpa perantara berlebihan untuk menjaga kesejahteraan petani, memperkuat rantai pasokan lokal, dan membuat wilayah lebih tangguh menghadapi fluktuasi harga atau gangguan eksternal Penjelasan meliputi praktik konkret: membeli sayur, buah, atau produk olahan petani sekitarnya, tanpa praktik konkret ini kedaulatan pangan di Banten susah untuk tercapai
Perwakilan Babasan, Rahmat Rohmanudin memaparkan filosofi bisnis yang menekankan bahwa setiap produk pertanian memiliki cerita—mulai dari asal benih, teknik budidaya ramah lingkungan, hingga perjalanan panen ke konsumen. Dengan narrasi ini, konsumen diharapkan memahami nilai usaha dan tantangan petani, mempererat ikatan emosional, serta memotivasi gerakan “bela beli” yang sadar nilai.
Selain itu, Babasan menjelaskan transparansi rantai pasok melalui komunikasi awal dengan petani, penjadwalan panen, dan distribusi yang adil, serta peluang kolaborasi agrowisata—seperti kunjungan ke kebun mitra, demo budidaya, atau workshop pengolahan hasil—agar wisatawan merasakan langsung kisah di balik makanan yang disantap.
Sebagai penutup, suasana hangat tercipta lewat sesi bernyanyi bersama Ari, solois lokal, dan Bibil, penyanyi cilik, yang membawakan lagu-lagu tema syukur atas berkah alam dan kebersamaan komunitas, mengingatkan bahwa dukungan terhadap sektor pertanian juga dapat diwujudkan dalam ekspresi budaya. Dengan rangkaian paparan dan penjelasan dalam acara ini, setiap peserta diajak menjadi pelaku utama perubahan—membeli langsung hasil panen, memotivasi generasi muda menanam, merancang agrowisata desa, dan menyebarkan narasi produk lokal—menjadikan momen menyambut Hari Krida Pertanian ini menjadi awal gerakan kolektif: bukan sekadar seremoni, tetapi titik tolak aksi nyata guna memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan di Banten. ***