Eko SupriatnoKolom

Boikot Trans7, Etika Media, dan Martabat Pesantren

Oleh: Bung Eko Supriatno

BANTEN, biem.co – Ada masa ketika televisi adalah guru. Ia menuntun, menyembuhkan, dan menyalakan api pengetahuan.

Namun kini, sebagian media justru menjelma menjadi pedagang rasa—menjual air mata dengan diskon moral.

Di layar kaca, kesedihan diatur seperti drama, dan kebodohan dijadikan komedi.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Dan yang paling menyakitkan: pesantren—benteng terakhir nilai bangsa—dijadikan latar bagi tontonan yang memalukan akal sehat.

Di tengah derasnya arus informasi, sebuah tayangan di Trans7 membangkitkan kemarahan publik: “Xpose Uncensored” menyoroti kehidupan santri di pesantren yang roboh dengan framing yang merendahkan kyai, santri, dan institusi pesantren secara keseluruhan.

Narasi yang dipilih bukan hanyalah berita—melainkan pemberitaan yang mengaburkan nilai adat, akhlak, dan kesakralan pesantren.

Tayangan itu mengambil jalan sensasi: pondok pesantren digambarkan sebagai ajang kekerasan modern, tempat perbudakan, dan mitos usang—di mana “keseraman” lebih ditonjolkan daripada fungsinya sebagai pusat pendidikan moral dan spiritual.

Kesalahan ini bukan sekadar editorial lemah, tetapi penghinaan budaya yang menyeret harga diri komunitas ke ruang publik sebagai objek tontonan.

Ada masa ketika media menjadi guru bangsa. Kini, sebagian justru menjadi pedagang emosi. Tayangan yang menyinggung pesantren di Trans7 bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan tanda bahwa media kehilangan memori etisnya.

Saat pesantren diframing sebagai ruang kelam, yang dilukai bukan hanya institusi keagamaan, tetapi juga kesadaran kolektif bangsa yang tumbuh dari nilai-nilai itu sendiri.

Komoditas Kapitalisme

Televisi kini hidup bukan dari kebenaran, tapi dari keterkejutan. Musibah dijual seperti komoditas, kesedihan dijadikan tontonan.
Tayangan yang seharusnya membuka empati malah menggiring penonton pada voyeurisme—menikmati luka orang lain atas nama hiburan.

Di sinilah kapitalisme bekerja paling senyap. Ia menyusup ke ruang batin, mengubah duka menjadi drama, dan kebenaran menjadi konten.

Media kehilangan rasa malu ketika tragedi dijadikan alat promosi. Pesantren, yang selama ini menjadi benteng moral bangsa, justru dijadikan latar “kisah gelap.” Padahal, di situlah bangsa ini belajar kesabaran, kesederhanaan, dan disiplin spiritual yang tak dapat diukur oleh rating.

Framing negatif terhadap pesantren bukan terjadi secara kebetulan. Media arus besar di Indonesia kerap memilih dramatika dan sensasi sebagai bahan bakar ekonomi hiburan.

Tayangan yang menunjukkan sisi “gelap” pesantren dijual sebagai cliffhanger: penonton tergugah, rating naik, iklan mengalir. Tapi harga yang dibayar: martabat pesantren dan kepercayaan rakyat yang tercederai.

Redaksi yang Kehilangan Nurani

Etika penyiaran di negeri ini seperti cermin yang pecah. Potongan-potongannya masih memantulkan cahaya, tapi wajah yang tampak sudah terdistorsi.

Trans7 mestinya memahami bahwa setiap tayangan bukan sekadar produksi, tetapi pernyataan moral. Ketika narasi tentang pesantren dibuat miring, publik berhak bertanya: di mana tanggung jawab redaksi?

Media bukan sekadar penyampai kabar; ia adalah penjaga simbol dan kepercayaan masyarakat.

Saat pesantren diframing sedemikian rupa, korban pertama bukan hanya santri dan kyai, melainkan cara kita memandang akar budaya sendiri.

Penonton yang tak memahami konteks bisa terbawa praduga negatif—ini adalah kerusakan budaya yang sulit dipulihkan.

KPI memang bisa memberi sanksi, tetapi luka sosial yang ditimbulkan jauh lebih dalam daripada sekadar teguran administratif.

Undang-Undang Penyiaran menegaskan bahwa siaran wajib menjaga integritas budaya dan memperkuat moral publik.

Bila program seperti ini bisa tayang tanpa koreksi redaksional yang memadai, maka ada kegagalan sistemik dalam pengawasan dan nurani media.

Membaca Media dengan Nalar Kritis

Kasus Trans7 dapat dijelaskan melalui tiga bingkai teori besar dalam studi komunikasi dan budaya.

Pertama, teori framing (Erving Goffman) menunjukkan bagaimana media tidak sekadar menyampaikan fakta, tetapi membingkai realitas melalui pilihan kata, gambar, dan narasi.

Tayangan “Xpose Uncensored” tidak salah karena memberitakan pesantren, tapi karena cara ia menempatkan pesantren sebagai ruang gelap—bukan ruang nilai. Framing ini menciptakan persepsi sosial yang salah dan bertahan lama di benak publik.

Kedua, model propaganda dan kapitalisme media (Herman & Chomsky) menjelaskan bahwa industri penyiaran digerakkan oleh logika pasar, bukan kepentingan publik.

Rating adalah ideologi baru. Ketika santri menjadi objek sensasi, yang dikorbankan adalah etika profesi.

Trans7, dalam hal ini, bukan sekadar “salah tayang,” tapi bagian dari sistem ekonomi hiburan yang menjadikan moralitas sebagai collateral damage.

Ketiga, hegemoni kultural (Antonio Gramsci) memberi peringatan bahwa dominasi tidak selalu terjadi dengan kekerasan, tapi melalui persetujuan yang dibentuk media.

Tayangan seperti ini menanamkan cara berpikir bahwa pesantren kuno, tertinggal, dan harus “dibongkar.”

Dengan kata lain, televisi sedang menggeser otoritas moral ulama menjadi otoritas selebritas dan produser.

Dengan membaca melalui tiga kacamata ini, kita sadar bahwa boikot bukan sekadar emosi spontan, melainkan bentuk kesadaran politik budaya: menolak manipulasi simbol dan menuntut tanggung jawab moral dari industri penyiaran.

Nalar Terluka

Bangsa ini sedang kehilangan kemampuan membaca secara jernih. Tayangan yang menghina nilai-nilai luhur justru ditonton, dibicarakan, bahkan diperdebatkan tanpa pemahaman.

Nalar kita terluka oleh kebiasaan menelan informasi tanpa refleksi.
Padahal, media yang baik bukan yang membuat gaduh, melainkan yang memicu berpikir.

Boikot bukan bentuk kemarahan, tapi bentuk kesadaran — kesadaran bahwa remote control di tangan kita adalah instrumen politik kultural.

Ketika masyarakat berhenti menonton yang merendahkan akalnya, kapitalisme hiburan kehilangan bahan bakarnya. Di situlah boikot berubah menjadi tindakan perlawanan intelektual: sunyi, tapi mengguncang sistem.

Pesantren tidak bisa disamaratakan sebagai “tempat seram” hanya karena satu peristiwa tragis. Nilai-nilainya — disiplin, kehormatan, adab — adalah konstruksi moral bangsa.
Merendahkan institusi ini berarti merobohkan tiang peradaban yang menegakkan harmoni sosial dan spiritual negeri ini.

Kembali ke Nurani

Boikot Trans7 bukan ajakan dendam, melainkan seruan moral.
Sudah waktunya publik menuntut media yang berakal sehat, yang bekerja dengan nurani dan tanggung jawab.

Media bisa menjadi kekuatan besar bagi peradaban jika ia kembali pada esensinya: menyebarkan pengetahuan, bukan menanamkan prasangka.

Kita tak menolak hiburan, tapi menolak penghinaan.
Kita tak membenci media, tapi menuntut kematangan dan tanggung jawab etik.

Di sinilah makna boikot sejati — bukan sekadar menekan tombol “off,” tapi menyalakan kembali kesadaran bahwa kebenaran masih punya tempat di layar bangsa.

Boikot Trans7 bukan semata abstain dari sebuah tayangan televisi—ini adalah tuntutan moral bahwa media harus kembali ke akal sehat dan rasa menghormati.

Kepada publik: kita memiliki remote control, pilihan tontonan, dan hak untuk berkata tidak pada tayangan yang merendahkan.

Kepada penyelenggara media: kembalilah pada akhlak jurnalistik—hargai akar budaya, hormati institusi pesantren, dan siarkan kebenaran dengan martabat.

Bangsa membutuhkan media yang membangunkan, bukan yang memadamkan harapan.

Di sinilah kita berdiri. Di sinilah kita boikot — bukan sebagai kemarahan semata, tetapi sebagai penegasan harga diri, integritas, dan iman yang tetap hidup.

Boikot bukan akhir, tapi awal. Awal bagi bangsa untuk kembali berpikir, memilih dengan nalar, dan menonton dengan martabat.

Boikot bukan akhir—ia adalah awal. Awal bagi bangsa untuk kembali berpikir sebelum menonton, menyimak sebelum menghakimi, dan mencintai kebenaran lebih dari sekadar hiburan.

Kita tidak sedang menentang televisi, kita sedang membela akal sehat. Dan ketika akal sehat kembali hidup, maka media akan kembali berfungsi sebagai cahaya, bukan bara.

“Bangsa yang kehilangan rasa malu akan mencari hiburan di atas luka orang lain. Bangsa yang masih punya nurani akan menekan tombol off, lalu menyalakan pikirannya.” (Red)

BUNG EKO SUPRIATNO, adalah penulis Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten. Pengurus ICMI Banten

 

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button