biem.co – Belakangan ini, kawan-kawan Kubah Budaya—salah satu komunitas sastra di Serang, Banten—, memelihara seekor anak kucing liar yang tampaknya telah disapih atau ditinggalkan induknya begitu saja. Anak kucing sebatang kara itu, sebagaimana kebanyakan anak kucing lainnya, suka bermain-main dengan apa pun yang menarik perhatiannya: ujung gorden yang menjuntai, plastik bekas bungkus makanan, kertas-kertas berisi puisi atau cerpen atau esai seusai diskusi, kabel-kabel pengisi baterai laptop atau ponsel, atau apa pun yang digerak-gerakkan di depannya. Bagi para penggemar kucing, tingkah anak kucing itu mungkin tampak lucu. Dan entah karena kelucuannya atau karena hal lain, kucing belang itu dinamai si Bellee.
Jika ingatan saya tak keliru, si Bellee ini merupakan kucing kedua yang menjadi “penghuni tetap” sekretariat Kubah Budaya. Kucing pertama, seekor kucing liar yang lebih besar, pernah “dipaksa” Nugraha Umur Kayu (Nunu), penghuni pertama sekretariat Kubah Budaya—ketika Kompleks Bumi Mutiara Serang (BMS) itu masih begitu sepi—, untuk menemaninya saban malam karena ia kerap tidur sendirian. Bagi Nunu—penyair kambuhan yang kini lebih sibuk mengajar di SMP Islam Tirtayasa—, keberadaan si kucing belang yang tidak pernah dinamainya itu dapat sedikit mengurangi rasa takutnya pada kesunyian atau pada hantu-hantu yang dibayangkannya bersemayam dalam kesenyapan-kegelapan. Ya, memang, di sekitar akhir tahun 2007 atau awal tahun 2008 lalu, perumahan itu belum memiliki banyak penghuni.
Namun, sebenarnya, saya tak kurang heran pada kucing; pada perlakuan kita kepada kucing-kucing. Tak sedikit orang gemar memelihara kucing dan merawatnya sedemikian mesra: memeriksakan kesehatannya, memandikannya, memberinya makanan dan minuman—yang ternyata lebih mahal dari harga makanan yang biasa dikonsumi kawan-kawan saya di Kubah Budaya—, mengendong dan mengajaknya bermain, dan sebagainya. Tapi ada juga sementara orang yang sama sekali menghindari kucing liar berbulu hitam, karena menganggapnya sebagai pembawa sial, penyihir yang menyaru, dan lain-lain. Bahkan, ada seorang kawan yang lebih memilih jalan memutar ketika melihat seekor kucing hitam melintas di depannya. Dan pada kasus lain, seorang kawan yang lain, yang tanpa sengaja menabrak seekor kucing hingga mati, tampak cemas dan tergopoh-gopoh melepaskan pakaiannya untuk membungkus bangkai kucing itu, dan menguburkannya rapi-rapi. Kawan saya itu, tak peduli bahwa kausnya itu merupakan pemberian kekasih yang dicintainya dan baru saja dikenakannya.
Di samping itu semua, baik para pecinta kucing maupun penghindar kucing, kebanyakan kita tampaknya kerap memperlakukan kucing-kucing dengan sangat baik. Bahkan, menghubung-hubungkan kucing dengan Rasulullah, yang konon menjadikan kucing sebagai hewan kesayangannya itu. Dalam sebuah kisahan—yang bagi sebagian orang masih diragukan asal-asulnya—konon, Rasulullah rela menyobek secarik kain pakaiannya demi tidak mengganggu seekor kucing yang sedang tertidur di atasnya. Dan barangkali, karena kisahan itu juga, acapkali kita mengistimewakan kucing-kucing, dan sekaligus menistakan anjing-anjing. Sebab kita tahu belaka bahwa kucing dan anjing seteru melulu.
Sekait dengan itu, seekor anjing dalam novel Benim Adim Kirmizi (1998) Orhan Pamuk—diterjemahkan menjadi My Name is Red (Namaku Merah Kirmizi)—, mengeluhkan perlakuan khusus manusia (Muslim) terhadap kucing-kucing, yang sekaligus mendera anjing-anjing. Si anjing menuturkan: “… Dengan menunjukkan kasih sayang pada seekor kucing yang tanpa sengaja tidak dilakukan pada kami para anjing, dan berdasarkan pertikaian abadi kami dengan hewan ini, yang oleh manusia paling tolol sekalipun dilihat sebagai perbuatan tak tahu terima kasih, orang-orang menyimpulkan bahwa Nabi sendiri tidak menyukai anjing. Mereka percaya kami akan megotori mereka yang telah berwudu, dan akibat kekeliruan dan keyakinan semu ini kami dilarang masuk masjid selama berabad-abad, dan kami didera pukulan-pukulan di halaman masjid oleh gagang sapu penjaga masjid.
Nah, lihatlah, si anjing menyatakan bahwa perlakuan manusia kepada anjing-anjing selama berabad-abad adalah akibat “kekeliruan dan keyakinan semu” atas kisahan itu, sembari kemudian si anjing menyitir surah Al-Kahfi. Surah yang menceritakan tujuh pemuda mulia yang tertidur selama tiga ratus sembilan tahun dan seekor anjing yang membentangkan kakinya di mulut gua.
Beabad-abad setelah ayat-ayat dalam surah Al-Kahfi itu turun, dan bertahun-tahun setelah novel Pamuk itu terbit, belakangan ini, Pemerintah Australia memiliki rencana untuk memusnahkan dua juta kucing liar yang dianggap telah menjadi pemicu punahnya hewan-hewan asli negara kanguru itu. Konon, sejak kedatangan bangsa Eropa—yang telah membawa kucing-kucing—sekitar 200 tahun lalu ke Australia, populasi kucing di negara itu meningkat dengan cepat. Dan menurut perkiraan, sekitar 20 juta kucing telah membunuh sekitar 75 juta hewan asli Australia setiap harinya. Dan hal itu, katanya, telah mengakibatkan punahnya 29 spesies mamalia asli Australia, dan kini—menurut ketetapan Pemerintah Australia—kucing-kucing liar itu dianggap mengancam kepunahan 1.800 spesies lainnya.
“Pada 2020, saya ingin melihat dua juta kucing telah dihilangkan, lima pulau baru dan sepuluh daratan yang bebas dari kucing liar, dan tindakan pengendalian akan diterapkan di 10 juta hektare,” kata Greg Hunt, Menteri Lingkungan Australia, sebagaimana dikutip CNN Indonesia baru-baru ini.
Barangkali, jika si anjing dalam novel Pamuk itu mendengar kabar ini, ia akan sedikit merasa riang. Betapa bangsa kucing juga sama-sama terancam!
Ah, sebenarnya, saya tidak menyenangi sekaligus tidak menistakan kedua binatang itu—juga binatang-binatang lainnya. Dan saya tak hendak mendukung kebijakan Pemerintah Australia atau menentangnya seperti dilakukan Brigitte Bardot—artis gaek asal Prancis—yang melayangkan surat terbuka kepada Menteri Hunt itu. Tidak. Sebab secara pribadi, saya hampir tidak tahu binatang apa yang layak saya gandrungi, dan tidak mengerti mengapa seseorang mesti menggandrungi satu-dua jenis binatang dan menjadikan piaraan kesayangan? Apalagi, dalam dunia binatang yang saya pahami, melulu tersedia para pemangsa dan yang mesti dimangsa. Siklikal dan alamiah saja. Atau barangkali, saya hanya tak punya cukup alasan untuk memiliki kesenangan-kesenangan dalam mencintai seekor kucing belang-tiga atau anggora, atau anjing pudel atau chihuahua, misalnya, dan memesrainya sedemikian rupa.
Tampaknya, perihal menggemari satu jenis hewan tertentu itu, sama belaka dengan kegemaran seseorang dalam menyukai satu jenis warna, merah misalnya, yang kemudian akan mendominasi pakaian dan aksesoris yang dikenakan, mendominasi warna cat rumah dan segala perabot di dalamnya; segalanya menjadi serba-merah. Sementara saya tidak mengandrungi satu warna belaka, yang dengan demikian saya tidak menolak warna-warna lainnya. Dan, sepanjang saya bisa mengingat, sedari kanak-kanak tampaknya saya memang tak pernah terlalu menyukai sesuatu, baik salah satu jenis binatang maupun salah satu warna, secara khusus dan berlebih-lebihan. Mungkin karena itu juga, saya tidak bisa mengidolakan seorang superhero, selebritas, martir, petani, politikus, orang suci, dan sebagainya. Bagi saya, semuanya sama belaka: kucing tak lebih cantik daripada anjing atau kadal atau kuda atau gajah atau kokokbeluk atau lainnya; warna merah tak lebih memukau ketimbang biru, ungu, oranye, hitam, atau nila, atau lainnya; dan selebritas papan atas tak pernah lebih kece tinimbang marbot atau kiai atau penyair atau saintis atau filsuf atau tukang sepatu atau lainnya; bahkan bagi saya, Sukarno tak lebih gagah tinimbang Spiderman, Charlie Chaplin, Jalaluddin Rumi, Orez—tokoh fiktif dalam cerpen Budi Darma—, Edgar Allan Poe, Sutardji Calzoum Bachri, atau lainnya.
Ahai, “Kucing Hitam”-nya Edgar Allan Poe, yang seperti sebuah ukiran timbul di permukaan putih, berbentuk seekor kucing yang amat besar, tampak sangat akurat dan luar biasa mengagumkan, dengan seutas tali melilit di lehernya, itu menyembul begitu saja di dinding kamar saya. Menggetarkan sekujur saya. Namun, tentu saja saya bukan “Aku” yang menderita paranoia dan mencongkel sebelah mata si kucing hitam bernama Pluto, dan menggantungnya di pohon di depan rumah itu. Sementara, “Kucing”-nya Sutardji Calzoum Bachri yang terus mengiau itu, tiba-tiba saja menderas-mengalir, merambah barah darahku. Dan mungkin, saya memang lebih menyukai kucing bukan kucing tapi kucing. Kucing yang tak mati-mati: kucing fiktif dalam karya sastra, atau kucing bernama Tom yang tak pernah berhasil menangkap si tikus Jerry—serial kartun yang ditulis dan disutradari William Hanna dan Josep Barbera itu.
Betapa, bagi saya, Tom yang tidak bermuka mesum dan suka menjilat-jilat majikannya itu—sebagaimana kebanyakan kucing piaraan yang dimanja—tak pernah berputus asa dan terus-menerus berupaya menangkap-memangsa si Jerry, sekalipun melulu gagal. Kegigihan yang sempurna, bukan? Semacam absurditas Sisifus yang terus-menerus mendorong sebongkah batu ke atas bukit Tartarus, barangkali.
Sementara itu, saya jadi teringat bahwa di kampung halaman saya, orang-orang memang memelihara kerbau, kambing, bebek, angsa, ayam, tapi tidak menjadikannya sebagai binatang kesayangan yang dicinta-dimanja-dimesrai sedemikian rupa. Semua binatang itu kami pelihara sebagai ternak semata, yang jika suatu waktu dibutuhkan, bisa kami jual dengan segera. Sementara kucing? Tak pernah kami perlakukan secara khusus. Kucing-kucing itu, kucing-kucing liar itu, sama sekali tak pernah kami urusi bagaimana mereka makan, kawin, beranak, atau mati. Walaupun sesekali, kami lemparkan juga sepotong tulang atau kepala ikan asin untuk makanan si kucing. Tapi, sesekali juga, kami lemparkan si kucing itu jika kepergok mencuri ikan dari meja makan.
Si Bellee menatap saya. Ngiau! Huss puss diamlah. [*]
Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011.