biem.co — New Zealand, keindahan alamnya memang begitu nyata seperti di film-film Hollywood garapan Peter Jackson yang sering kita lihat, The Lord of The Ring dan The Hobbit, kedua film itu seakan membuka mata kita tentang cantiknya alam di New Zealand. Kecantikan New Zealand sudah saya amati dari berbagai media cetak maupun online sejak saya mendapatkan informasi bahwa saya terpilih untuk short-course filmmaker selama satu bulan di Auckland University of Technology dalam program “Cultural Activist” yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada November-Desember 2016.
Saya merupakan salah satu anak muda di Indonesia yang membangun komunitas film, memproduksi film, kemudian membuat penanyangan film untuk masyarakat, khususnya d Banten. Usia saya 24 Tahun, baru saja lulus setahun lalu dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, S1 Sarjana ekonomi manajemen, walau pun pendidikan saya tidak ada kaitan dengan film, tapi passion dan hidup saya ada di Film. Saya benar-benar bersyukur saat mendapatkan penghargaan Kemendikbud RI untuk bisa belajar dan mencari pengalaman di New Zealand yang diseleksi dari 1.100 pendaftar kemudian terpilih 49 seniman yang menerima Beasiswa, terdiri dari 7 kategori (Seni Tari, Musik, Film, Teater, Seni Visual, Galeri dan Museum dan Sejarawan), sedangkan untuk film hanya 5 sineas Indonesia berkesempatan untuk mewakili kategori film ke New Zealand, diantaranya saya sendiri (Banten) Fiole Aditya (Malang), Fauzan Abdillah (Surabaya), Vani Dias (Jakarta), dan Andi Parulian (Sumatera).
Sesungguhnya saya mencintai kesenian dan kebudayaan, saya menemukan bahwa film adalah kesenian yang paling sempurna karena di dalamnya terdapat unsur-unsur seni yang lain, seperti seni acting, music, artistic, semua tergabung menjadi satu kesatuan utuh di dalamnya, karena itulah saya memilih Film untuk menjadi bagian dari hidup saya. Pada tahun 2007 saat saya duduk di kelas 1 SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), saya bersama teman-teman membangun sebuah komunitas film di Serang. Saya membangun komunitas dengan alasan karena saya ingin memiliki wadah untuk menyalurkan hobi, bakat dan minat dibidang film. Karena di Banten saat itu tak ada wadah. Saya dan teman-teman membentuk komunitas yang kami beri nama Kremov pictures.
Saya memiliki cita-cita untuk sekolah film, namun karena beberapa hal yang memutuskan saya meneruskan kuliah S1 di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Ekonomi Manajemen, selama ini saya belajar film secara otodidak dari mulai mengikuti seminar film, workshop, sampai belajar dari pengalaman langsung di lapangan, walaupun begitu saya tetap memiliki mimpi untuk sekolah film. Oleh karena itulah kesempatan saya untuk short course ke New Zealand ini menjadi peluang saya untuk belajar dan mencari pengalaman di bidang film. Saya akan memanfaatkan sebaik-baiknya program ini, program beasiswa seniman yang sangat jarang ada di Indonesia.
Keberangkatan dengan pesawat ternama Qantas membawa kami 12 jam di udara, dengan transit beberapa jam di Sydney, Australia. Kemudian terbang lagi menuju kota tujuan, Auckland. Perjalanan panjang menuju Negara Kiwi tentunya telah dipersiapkan matang berbulan-bulan lamanya, dari mulai rencana program, visa, pakaian, tempat tinggal sampai pendalaman bahasa, saya lakukan dengan sepenuh hati. Tibalah kami di Auckland, udara dan angin berhembus sangat dingin senantiasa menemani Kota bisnis dengan penduduk terbesar di New Zealand, dipenuhi gedung-gedung tinggi dan menara tertinggi di sisi selatan muka bumi yaitu Sky Tower, yang tingginya sekitar 2,5 kalinya Monas. Auckland merupakan kota metropolitannya New Zealand, bangunan-bangunan dengan arsitektur modern menyatu dengan baik dengan bangunan bergaya lama peninggalan masa Inggris. Di Bandara Auckland, kami disambut oleh tim dari Auckland University of Technology (AUT) serta Kedutaan Besar RI, saya dan teman-teman lainnya menuju Waldorf ST Martin Apartemen Hotel yang telah disiapkan untuk stay selama sebulan di Auckland.
Saya merasakan udara yang sangat sejuk, sehingga berjalan kaki yang berjarak 2 km dari apartemen ke kampus AUT pun saya merasa senang, tidak berkeringat, dan justru sangat semangat. Berhari-hari saya belajar tentang film, kebudayaan bahkan seni yang lainnya, namun disela-sela waktu kosong saya dan teman-teman sineas film berupaya mengelilingi kota bahkan pulau untuk lebih mengeksplore Auckland. Gempita kota besar Auckland seketika berubah saat saya mengunjungi salah satu pulau terbesar di gugus kepulauan milik Auckland yaitu Pulau Waiheke. Di pulau ini kehidupannya sangat damai dan tenang.
Seminggu di Auckland, kami terbang ke Wellington dan tinggal selama 3 hari menginap di salah satu hotel ternama di pusat kota Wellington. Kenapa Wellington? Karena sebenarnya Welington Ibu kota dari New Zealand. Wajar sih karena sejak adanya WETA Workshop, sebuah studio special effect berkelas dunia, New Zealand jadi kebanjiran proyek film dari berbagai Negara terutama Hollywood. Di sini saya study tour kebeberapa tempat yang menjadi daya tarik Wellington, seperti Weta Workshop, Hobbiton movie set, Ngataonga Sound and Vision, yang merupakan mimpi-mimpi saya sejak lama, ketika saya menginjak tempat-tempat tersebut saya merasakan dejavu, dalam pikiran saya mengingat ini adalah mimpi saya yang sebelumnya saya hanya lihat dari youtube. Saya semakin yakin bahwa jika kita berani untuk bermimpi, alam akan membawa kita ke mimpi itu. Dan ini salah satu buktinya. Setelah 3 hari tinggal di Wellington, saya terbang kembali ke Waldorf Apartemen Auckland.
New Zealand menyimpan berbagai destinasi yang sangat keren, sampai-sampai film The Lord of The Ring yang mendunia berproses di Negara ini memanfaatkan kontur tanah dan bentang alam yang dimiliki New Zealand, film Lord of The Ring menggunakan beberapa spots yang ada untuk proses syuting, Kalau kamu nonton film triloginya, pasti bakal kebayang betapa eloknya alam New Zealand. Selain punya alam yang indah dan super menantang bagipecinta olahraga ekstrim, ternyata New Zealand jadi salah satu daya tarik para musisi dunia untuk menggelar konsernya. Pada saat saya berkunjung di minggu ke-3, musisi dunia Cold Play menggelar konser di Auckland, sayangnya saat itu saya sedang sibuk menyelesaikan shooting film pendekkarenamengejar target finishing sebelum jadwal pulang ke Indonesia. Sedangkan teman-teman dari bidang lain menyempatkan diri untuk nonton konser Cold Play walaupun harganya cukup mahal sekitar 100 Dollar NZD.
Selain keindahan alam, pemerintah New Zealand sangat support dengan perfilman, bahkan sampai memberikan funding, mungkin itulah yang menjadi sebab Hollywood betah bikin film di Negara ini, hingga perfilman industry dan indie menjadi sangat berkembang. Selain belajar di Auckland University of Technology, saya mengunjungi berbagai tempat study seperti Maori Televisi yang merupakan TV populer di Auckland, WHOA Studio Auckland, NZ Film Commission, dan tempat. Di beberapa kesempatan saat mentoring dengan film makers New Zealand saya memutar film Jawara Kidul dan Edelweiss, mereka mengapresiasi.
New Zealand, memiliki kenangan dan kesenangan tersendiri bagi saya. Banyak kenangan bersama teman-teman yang sangat panjang jika saya ceritakan disini. Namun bukan itu yang lebih utama melainkan Program ini telah menjadi inspirasi dan motivasi besar saya untuk terus berkarya di daerah untuk bersiap diri berkarya di kancah nasional dan Internasional. Karena Mengangkat film Indonesia agar berkelas seperti Hollywood adalah salah satu mimpi besar saya.
Hallo anak muda Banten, yakinlah ketika kita konsisten maka seluruh harapan dan impian kita dapat terwujud! Saya pernah memimpikan, “lewat film, saya dan teman-teman akan keliling dunia, maka ini adalah langkah awal.” Saya bisa, kamupun pasti bisa. The more you can dream the more you can do!
KREMOVE PICTURES
Tumbuh suburnya komunitas film yang melahirkan semangat gerilya dalam produksi film, dari Aceh sampai Papua memperlihatkan indikas ikuat, bahwa cepat atau lambat film Indonesia bukan saja menjadi “tuan rumah di negerinya sendiri”. Tetapi, juga “tamu terhormat di negeri orang”.
Tumbuhnya banyak festival film di berbagai kota di Indonesia, yang banyak digerakkan oleh para sineas muda, menumbuhkan semangat bahwa karya film mereka mulai banyak diapresiasi. Kini, saatnya menata ulang system dan pola kerja bersama yang menggabungkan kerja budaya dan kerja industri. Di atas semangat profesionalisme, yang pada gilirannya berdampak signifikan bagi meningkatnya apresiasi kepada para pekerjanya.
Film saat ini bukanlah menjadi hal baru dalam kehidupan masyarakat, dan juga tidak hanya sebagai media hiburan saja melainkan sebagai media komunikasi antara pembuat film dengan penontonnya. Di Indonesia, berbagai jenis film sudah mulai merebak. Film yang di produksi oleh komunitas film merupakan salah satu karya film yang sedang tersorot dalam beberapa tahun ini. Tidak kalah hebatnya dengan film maker professional pada umumnya, banyak generasi muda Indonesia, khususnya kota-kota besar sudah mulai antusias dalam mencari, menyaksikan, bahkan membuat film.
Seperti Kremov Pictures yang telah tercatat dalam daftar komunitas film Indonesia, merupakan komunitas dan Production House lokal yang ada di Provinsi Banten yang konsisten dalam produksi film sejak tahun 2007 sampai sekarang, Kremov Pictures sudah banyak diapresiasi oleh masyarakat Banten bahkan luar Banten karena cukup produktif dalam berkarya, sampai saat ini sudah 20 karya film yang di produksi oleh Kremov Pictures.
Tahun 2014 Kremov Pictures bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cilegon dalam pembuatan Film bertemakan “SANTRI” film ini cukup mendapatkan apresiasi dikalangan masyarakat Kota Cilegon, di tahun sebelumnya, Kremov Pictures juga pernah memproduksi Film lokal berlatar sejarah dan perjuangan pahlawan Geger Cilegon, film yang berjudul “KI WASYID” yang ditayangkan di Bioskop 21 Cilegon mendapat sambutan hangat dari penonton, saat itu hampir 2000 penonton dari berbagai kalangan menyaksikan tayangan perdana film Ki Wasyid.
Selain dengan pemerintah Kota Cilegon, Kremov Pictures juga pernah bekerjasama dengan LA Indie Movie dalam program pembuatan film. Tidak tanggung-tanggung, dua judul film dipersembahkan untuk program LA Indie Movie. Berdasarkan pengalaman bekerjasama dengan beberapa instansi dalam hal produksi dan distribusi film, kami berkeyakinan bahwa cepat atau lambat Kremov pictures akan memproduksi layar lebar skala nasional
Selain Kremov Pictures, banyak komunitas film yang mulai membuat film di Provinsi Banten dengan semangat yang cukup baik. Jika melihat film secara universal, secara umum kualitas film luar memang lebih baik secara cerita maupun visual, itulah yang membuat film luar lebih disukai penonton Indonesia. Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi sineas Indonesia untuk dapat lebih meningkatkan kualitas tanpa terjebak kebutuhan pasar.
Banyak sineas kita mampu bersaing dengan film luar. Buktinya banyak sekali penghargaan diraih di festival film internasional oleh film-film tanah air, seperti yang paling populer saat ini adalah film berjudul Siti dan Prenjak yang meraih berbagai penghargaan film dari festival film internasional. Ini seharusnya menjadi inspirasi untuk kita semua agar terus berkarya, contoh kecil di Banten, siapa sangka Kremov pictures mulai menjadi production house yang pada awalnya hanyalah sebatas komunitas kecil yang didirikan tidak lebih dari 5 orang. Siapa sangka film yang diproduksi oleh Kremov Pictures berjudul “JawaraKidul” dan “Edelweiss” diputar di Auckland University of Technology, New Zealand. Dan saya yang menyutradarainya dapat merasakan pendidikan disana untuk saya bagikan ilmu dan pengalaman ke teman-teman komunitas. Semua adalah hasil dari kerjakeras, konsisten, dan komitmen. Tentu semua orang bisa mendapatkan kesempatan tersebut, asal ada kemauan berkarya dari hati yang tulus, untuk Banten dan Indonesia.(*)
Darwin Mahesa (lahir di Cilegon, 21 Agustus 1992) adalah seorang sutradara muda Indonesia yang mengawali kariernya sebagai pembuat film Indie sejak masa SMA tahun 2007 ia membentuk komunitas film Banten Kremov Pictures yang diikuti oleh beragam anak muda dari berbagai kota dan kabupaten di provinsi Banten sampai meraih Beasiswa ke New Zealand dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Hingga saat ini Darwin Mahesa telah menciptakan puluhan karya dengan durasi beragam dari mulai film pendek hingga film panjang, hampir keseluruhan film produksinya bertemakan kebudayaan, pariwisata dan kearifan lokal. Darwin Mahesa sineas yang multitalenta, dia menjadi Sutradara , Editor , Penulis Naskah dan mampu menciptakan beragam genre lagu untuk kebutuhan soundtrack film.