CerpenInspirasi

Cerpen Daru Pamungkas: Viola Mariska

Oleh Daru Pamungkas

biem.co – Baiklah, hari itu aku memang membuat kesalahan fatal sehingga kau tak mau lagi berbicara barang satu kata pun kepadaku. Tapi cobalah, kau jangan hanya mengandalkan egomu saja. Ini semua demi kebaikan kita semua. “Mana ada lelaki di dunia ini yang sudi menerima wanita yang sudah tak memiliki kehormatan lagi,” pikirku.

“Bajingan,” katamu.

Aku memang bajingan, tapi setidaknya aku lebih sedikit mempunyai hati yang secara lahiriah masih tebersit rasa iba padamu. Aku tidak seperti dia yang memperlakukanmu layaknya budak di zaman jahiliyah, saat perempuan tak memiliki harga diri barang sebiji kurma pun.

“Aku masih mau menerima air matamu ketika kau menangis, aku masih bersedia menerima keluh kesahmu dikala kau bersedih, bahkan aku pun masih berlapang dada menerima teriakanmu di saat kau murka. Vi, percayalah. Kita akan hidup bahagia!”

Langit biru menjadi saksi kebisuanmu siang itu. Tak ada lagi kata yang kau ucapkan, mungkin hanya angin yang berinteraksi dengan hijaunya daun mangga di depan rumahmu yang saling memiliki kekuatan untuk menciptakan sebuah kehidupan. Krekek suara gerbang besi yang kau buka menjadi tanda atas berakhirnya perjumpaan kita yang lebih tepat disebut sebagai perjumpaan kucing-kucingan itu.

Kau pun melangkah masuk ke dalam, kulihat punggungmu kini sudah tak lagi bergetar seperti saat detik pertama kau menatapku dengan tatapan tajam. Ada yang berbeda denganmu hari ini, kau terlihat begitu pucat. Kerudung abu-abu yang menghiasi rambutmu tampaknya mampu mewakili perasaanmu saat ini.

Aku masih tak bisa melupakan kejadian malam itu, dua bulan yang lalu. Ketika kau datang dengan tangismu yang membanjiri hampir seluruh permukaan wajahmu. Di tengah keheningan malam, kau hancurkan sunyi dengan ketukan di pintu rumahku. Saat kubuka, kau sudah berdiri dengan linangan airmata. Bahkan ketika kau melangkah, kakimu seolah tak mampu berpijak tegas pada bumi.

“Si bangsat itu, Di. Aku sudah tak kuat lagi,” katamu sambil menangis dalam pelukku.

“Sebaiknya kita laporkan saja ke polisi!”

“Jangan, Di. Aku takut ibuku yang akan kena getahnya!”

“Tapi ini sudah keterlaluan!Dia menikahi ibumu hanya untuk menguras harta ayahmu. Apa kau tidak sadar akan hal itu?”

“Di…” ucapmu getir.

Udara malam itu terasa lembab, angin berhembus seperti hendak memberi peringatan bahwa langit pun ingin menangis untuk bumi. Rintikan air turun, gerimis mengundang kesunyian bagi kami yang tengah memadu kisah pilu.

“Dia, Ayah tiriku itu merenggut kesucianku, Di!” Sambil memegangi perutmu, kau meraung bagai serigala di malam bulan purnama.

Hujan semakin deras, tak terelakan petir juga menyambar dengan gertakan suara langit yang menakutkan. Aku tak mampu mengucapkan sesuatu. Tanpa kusadari, terlepaslah genggaman tanganku pada pundak dan punggung tanganmu. Tubuhku lemas. Duduk di kursi dekat jendela adalah hal yang kulakukan saat itu. Dan kau pun mengikuti. Di bahu kiriku, kau letakkan kepalamu dengan dua aliran sungai dari matamu.

Kini jarum jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Kau terlelap. Menghabiskan malam dalam keperihan hidup yang membuatku tak ingin melepaskanmu.

Di hari kedua pelarianmu itu, kuajak kau berkeliling kebun belakang rumah.

“Mang Ujang yang menanam semua tanaman ini, petiklah!” kataku.

Kau pun memetik tomat yang sudah memerah itu, dan saat itulah baru kulihat segaris senyum di bibirmu. Rambutmu yang menjulang lurus sampai ke pundak seolah memaksaku untuk merasa berdosa jika tidak mengagumimu, Vi. Samar-samar terdengar suara bel rumah, kuminta Mang Ujang untuk membukakannya. Lelaki lima puluh tahunan itu pandai merawat tanaman, dari tangannya yang mulai keriput dan hitam terpanggang terik matahari, tanaman apa pun tumbuh seperti mendapat vitamin kehidupan darinya.

Kau masih asik memetik tomat, sepertinya kau mulai jatuh cinta pada tanaman yang buahnya selalu menjadi menu wajib dalam setiap masakan di rumahku ini. Kini terik matahari mulai menyinari wajahmu, beberapa bulir keringat pun nampak jelas di sekitar dahimu. Ah, memang keindahan dan kebahagiaan selalu bersifat sementara.

Saat-saat indah bersamamu di pagi menjelang petang itu, seakan menjadi moment terindah dalam hidup ini. Namun sayang, Semua itu lenyap tatkala tiga orang lelaki berbadan besar dengan jaket hitam muncul dari balik pintu. Mendekapmu dengan sapu tangan yang membuatmu terlelap. Tubuh sintalmu kini sudah berada di pundak salah seorang dari mereka, dibopongnya ke ruang tengah dan membawamu pergi. Sejurus tendangan lutut membuatku terjerembap, kulihat mang Ujang pun sudah tergeletak dengan hidung berdarah. Jeep hitam itu pergi dengan menyisakan debu yang mengepul di atas tanah berpasir. Aku duduk di sofa, mengatur nafas untuk menenangkan keadaan atas kejadian yang baru saja menimpamu.

Kini ku teringat saat dimana pertama kali kita dipertemukan oleh satu tugas yang saling berkaitan. Saat kau membuka pintu Fortunerku yang sedang terparkir di bawah tiang listrik dekat warung minuman. Di kawasan prostitusi pinggiran kota yang memabukkan itu, dari napasmu yang terengah-engah, aku tahu kau baru saja berlari entah dikejar oleh siapa.

Dalam kebingunganku melihatmu dengan penuh kegelisahan bak pencuri yang tengah dikejar oleh warga. Sekilas ku amati putih lenganmu bagaikan singkong yang baru terkupas dari kulitnya. Dengan rambut lurus panjang sedikit menutupi jas almamatermu. Matamu kini melihat keluar kaca, ada lima orang dengan jaket hitam yang berlari mendekat, kau semakin tak karuan, lembaran berkas yang sejak awal kau pegang erat-erat di dadamu kini berhamburan ke bawah kursi. Sambil menarik lengan kiriku yang sudah memegang stir, kau berteriak dengan air menetes di pipimu.

“Pak, tolong saya, Pak. Tolong bawa saya pergi dari dini!” pintamu.

Kelima lelaki itu menggedor-gedor mobilku, ah, kuinjak gas dan mulai melaju. Dari kaca spion kulihatdua orang diantaranya tersungkur ke tanah.

“Kamu ini siapa? Sedang apa berada di tempat ini?” tanyaku.

Kau menangis sesenggukan, hitam rambutmu saat ini menutupi hampir seluruh wajah manis itu. Mobil melaju melewati gang pasar, kini sudah berada di jalan utama. Tepat di depan pertigaan lampu merah, kau rogoh tas ranselmu dan mengeluarkan sesuatu dari dalam dompet merah. Sebuah kartu berwarna biru lengkap dengan foto dan statusmu. Saat itulah aku tahu, namamu Viola Mariska, mahasiswi kriminologi forensik Universitas Jaya Raya.

“Aku sedang observasi penelitian skripsi, tiba-tiba orang-orang tadi menyekapku di sebuah ruangan. Saat lengah, kulompati jendela yang terbuka.” Katamu sambil terus membendung air mata dengan tisu. “Maafkan saya ya, Pak! Saya sudah merepotkan. Terimakasih!”

“Panggil saja saya Adi… Adi Permana!”

Kau mengangguk. Kini kami memasuki tol Jakarta-Merak. Setelah perbincangan singkat tentang latar belakang pribadi masing-masing, akhirnya kita sepakati bahwa hari ini aku akan mengantarmu pulang ke Kota Serang. Tempat dimana kau menikmati masa kecilmu. Di tengah perjalanan, matamu terus menatap foto sepasang suami istri dengan jas dan batik memancarkan kewibawaan di bawah bendera merah-putih yang terpasang di dasbor depan.

“Wah… Ayah dan Ibu Mas Adi, gagah. Anggota dewan, ya?” tanyamu penasaran.

Ah, kau menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak kau tanyakan. Saat itu aku menarik nafas, mencari kata yang tepat untuk membuatmu tak curiga. Dan akhirnya hanya satu kata yang terucap dari mulutku, “Ya!”

Ponselku berdering, menyelamatkanku dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja akan terus kau katakan sampai aku tak mampu untuk menjawabnya. Namun aku belum bisa bernapas lega, ketika kedua mataku dibuat sedikit agak melotot karena nama Tante Lia tampil di layar ponselku. Detik itu, aku seakan berada pada satu pijakan yang di Kedua sisinya adalah jurang berbatu. Kulayangkan senyum padamu, kau pun mengerti dan memalingkan wajahmu ke jendela yang mulai basah oleh rintik hujan menjelang senja.

***

“Vi, kini hidupmu akan tenang. Tak ada lagi yang akan menyiksamu!” kataku di suatu malam.

“Diam kau!” bentakmu.

“Tak akan ada lagi penderitaan, bahkan uang pun akan datang dengan sendirinya ke Rumahmu. Ayah tirimu itu, sudah bahagia di neraka, kini tugasmu hanya membahagiakan ibumu tercinta!”

“Kamu yang seharusnya ada di neraka, bajingan!”

“Kau salah, Vi. Orang seperti dia memang layak dibunuh. Sudah tak pantas lagi ada di dunia ini!” kau masih menangis dengan sapu tangan di lenganmu. “Sudahlah, kini kau bersiap saja, sebentar lagi Om Beni datang, layani dia dengan baik. Posisinya sebagai direktur sebuah perusahaan retail ternama di negeri ini tentu akan mudah memberimu jutaan bahkan milyaran uang, asalkan kau mampu memuaskannya. Sekarang hapus airmatamu, ciptakanlah kebahagiaan bersamanya!”

Kau pun bangkit, menyemprotkan wewangian pada sintal tubuhmu yang akan memabukkan gairah lelaki hidung belang. (*)


Daru Pamungkas, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, aktif di Rumah Dunia.


Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button