Oleh H. Uus M. Husaini, Lc., M.Pd.I
biem.co – Sudah menjadi naluri manusia bahwa ia adalah makhluk yang senang hitung-hitungan ketika melakukan sesuatu. Dalam bekerja, melaksanakan kegiatan atau kepanitiaan tertentu misalnya, maka ia akan menghitung-hitung berapa pendapatan yang akan diterimanya dalam satu bulan atau setelah pekerjaan itu selesai.
Demikian halnya dalam ibadah. Sering kali kita juga menghitung-hitung “apa yang bakal kita terima dengan melakukan ibadah ini dan itu.” Bahkan hal tersebut dicontohkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam al-Qur’an Allah Swt berfirman;
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui [1]
Dalam sebuah keterangan hadits juga Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata: bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an maka baginya pahala kebaikan, dan pahala kebaikan itu digandakan menjadi sepuluh. Aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf. (HR. Al-Tirmidzy) [2]
Walaupun sebenarnya tujuan kita dalam melakukan ibadah adalah karena dan untuk Allah Swt.[3] Coba saja perhatikan lafadz niat yang kita baca ketika akan melakukan shalat misalnya, atau puasa dan lain sebagainya, kita akan mendapati bahwa semua itu dilakukan hanya karena Allah Swt.
Namun tidak demikian halnya dengan ibadah puasa. Kita tidak bisa hitung-hitungan seperti ibadah yang lainnya, karena puasa adalah ibadah rahasia yang menjadi hak prerogatif Allah untuk membalasnya. Dalam sebuah riwayat hadits Rasulullah bersabda:
Dari Abi Hurairoh radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Puasa adalah benteng, maka janganlah ia berucap dengam kalimat buruk, mencaci, dan menghina, jika ada yang mengganggunya atau mengumpatnya katakanlah aku puasa, aku puasa. Demi Allah yang diriku dalam genggaman-Nya, sungguh aroma tidak sedap di mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi misik, karena ia meninggalkan makanannya, minumannya, dan syahwatnya karena Aku (Allah SWT). Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku yang membalasnya, dan setiap pahala dibalas sepuluh kali lipat darinya”.[4]
Dalam hadits yang lain Rasulullah juga bersabda:
Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku” Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi daripada bau Misk”.[5]
Menurut para ulama, ada beberapa catatan penting terkait redaksi hadits yang berbunyi “puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya”, meskipun semua amal ibadah memang untuk Allah dan Allah pula lah yang membalasnya:
Pertama; bahwa puasa itu tidak bisa pamer (red. Riya) sebagaimana ibadah lainnya. Kalau ibadah yang lainnya dilakukan dengan gerakan-gerakan dan bisa pamer, tidak demikian halnya dengan puasa, puasa itu dengan niat. Jadi tidak dapat dilihat oleh manusia. Hanya Allah saja yang tahu.
Kedua; bahwa hanya Allah saja yang mengetahui kadar pahala dan pelipatgandaan pahala kebaikannya. Berbeda dengan amal ibadah lainnya yang terkadang bisa dihitung pelipatgandaannya, mulai dari sepuluh sampai tujuh ratus pahala kebaikan.
Ketiga; redaksi puasa itu untuk-Ku menunjukkan kemuliaan dan keagungan, bahwa ibadah puasa termasuk amalan yang paling dicintai, yang dipersembahkan hamba hanya untuk Allah. Di samping itu, puasa yang dilakukan juga harus betul-betul ikhlas karena Allah Swt. Artinya penekanan keikhlasan dalam puasa lebih dominan dan kuat dibandingkan ibadah yang lainnya.
Oleh karena itu, meskipun ibadah yang dilakukan sama, waktu sahur dan bukanya sama, namun hasilnya belum tentu sama, karena itu hak prerogatif Allah untuk menilai ibadah kita. Semuanya tergantung upaya kita dalam memaknai dan mengisi Ramadhan dengan amalan-amalan yang baik.
Semoga Allah Swt memberikan kekuatan kepada kita untuk berlomba-lomba melakukan yang terbaik dalam melaksanakan ibadah puasa, sehingga ibadah puasa yang kita lakukan di tahun ini menjadi ibadah puasa yang terbaik. Semoga… semoga….
[1] Q.S. al-Baqoroh [2]: 261
[2] Muhammad bin Muflih bin Muhammad al-Maqdisy, al-Adab al-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, (‘Alam al-Kutub, t.t.), h. 328
[3] Lihat al-Qur’an surah al-An’am [6]: 162
[4] Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqolany, Fath al-Bary Syarh Shohih al-Bukhory, (Daar el-Royyan li al-Turots, 1986 M/1407 H), h. 1795
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
[5] Shohih Muslim, Hadits no1952
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : ” إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ “
Uus Muhammad Husaini, adalah Pengurus Forum Dosen Agama Islam Universitas Serang Raya dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi