biem.co — Memasuki bulan Mei di Indonesia, tentunya tidak asing dengan beberapa tanggal yang menyangkut tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Kini, dalam kurun waktu 20 tahun reformasi sudah ada beberapa capaian rezim Jokowi-JK dalam penegakkan HAM selama 3,5 tahun pemerintahannya. Walau masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang belum tuntas, Mantan Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, memberikan apresiasi selama masa pemerintah Jokowi-JK tersebut.
Dilansir dari kumparan.com, menurutnya terdapat 11 permasalahan HAM di era Jokowi yang masih menjadi pekerjaan rumah selama pemerintahannya. Berikut 11 permasalahan yang masih menjadi tanggung jawab Jokowi-JK, menurut Maneger.
Pertama, soal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Seperti diketahui, ada 10 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung sebagai Penyidik Negara, di antaranya: Tanjung Priok (1984); Timor Timur (1999); Abepura, Papua (2000); Wasior dan Wamena, Papua (2000); Talangsari, Lampung (1989); Kasus 1965-1966; Petrus (1982-1985); Trisakti dan Semanggi 1 dan 2 (1998); Kerusuhan Mei 1998; dan Penghilangan orang secara paksa (1997-1998).
“Dari 10 kasus itu, ada 3 kasus (30%) yang sudah diselesaikan oleh rezim sebelum rezim Jokowi-JK, yaitu kasus Tanjung Priok, Abepura, dan Timtim. Sedangkan 7 kasus (70%) kasus lagi belum diselesaikan,” kata Maneger dalam keterangan yang diterima, Kamis (3/4).
Bahkan, lanjutnya, sampai 3,5 tahun pemerintahan Jokowi-JK belum ada tanda-tanda penyelesaian komprehensif terhadap 7 kasus itu. Dalam konteks ini, pemerintahan Jokowi-JK dinilai mendapat ‘rapor merah’ karena belum memenuhi janji politiknya, Nawacita.
Kedua, soal penanganan tindak pidana terorisme. Maneger menyoroti penanganan kasus terorisme harus mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM, “untuk itu pemerintahan Jokowi-JK harus melakukan perbaikan penanganan terorisme sesuai perspektif HAM,” ujarnya.
Ketiga, soal kebebasan beragama. Pemerintahan Jokowi-JK harus memastikan kehadiran negara dalam memenuhi hak-hak konstitusional warga negara khususnya hak atas kebebasan beragama.
Ia mencontohkan kasus kriminalisasi terhadap beberapa ulama/tokoh agama yang sempat terjadi di era pemerintahan Jokowi-JK. Kasus tersebut seperti, munculnya OGGB (Orang Gila Gaya Baru) pemburu ulama/tokoh agama; pelarangan pemakaian atribut yang diyakini sebagai yang burnuansa agama oleh pemakainya di beberapa kampus.
“Itu menunjukkan patut diduga keras ada problem hak atas kebebasan beragama di rezim ini,” tegasnya.
Keempat, soal hak memperoleh informasi yang benar. Rezim Jokowi-JK, menurutnya belum maksimal memastikan kehadiran negara menindak tegas pelaku dan penebar berita hoaks dan ujaran kebencian demi terpenuhinya hak publik untuk memperoleh informasi yang benar (rights to know) secara berkeadilan.
“Ada laporan publik yang dinilai ditangani secara cepat. Pada kasus lain ada pengaduan masyarakat yang dinilai belum direspon secara sama. Bahkan ada yang lenyap bak ditelan bumi,” katanya.
Kelima, soal isu lingkungan. Pemerintahan Jokowi-JK perlu menghentikan, setidaknya menunda proyek reklamasi (37 proyek reklamasi, 20 proyek direncanakan, 17 proyek berjalan) sampai terpenuhi AMDAL dan disetujui masyarakat terdampak demi terpenuhinya hak publik atas ekologi dan lingkungan serta hak-hak masyarakat terdampak.
Keenam, soal demokrasi. Presiden Jokowi dinilai sedang mengancam masa depan demokrasi dengan menerbitkan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas misalnya. Dan, celakanya DPR mengesahkan RUU Perppu Ormas tersebut. Kini Perppu Ormas yang digagas rezim Jokowi itu resmi menggantikan UU Nomor 17 tahun 2013.
“Pengesahan Perppu Ormas itu menjadi UU Ormas, justru memantik pro-kontra. Bagi yang pro, meyakini UU Ormas itu adalah bentuk kehadiran negara mengatur hak-hak sipil warga negara. Sedang bagi yang kontra, menilai UU Ormas teranyar itu di samping cacat proses kelahiran, substansinya juga mengancam masa depan demokrasi dan HAM serta mengingkari Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat). Untuk itu patut didukung upaya masyarakat sipil yang melakukan uji materi (judicial review) UU Ormas tersebut demi masa depan demokrasi” jelas Maneger.
Ketujuh, soal sekolah ramah HAM. Pemerintahan Jokowi harus memastikan kehadiran negara untuk mencegah dan memastikan tidak terulang lagi peristiwa-peristiwa kekerasan di sekolah dan merealisasikan sekolah ramah HAM.
“Dalam pengamatan Pusdikham Uhamka, dan yang dilaporkan ke KPAI, sepanjang awal 2018 saja, kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan nasional didominasi oleh kekerasan fisik, finansial atau pemalakan atau pemerasan 72 kasus, kekerasan psikis 9 kasus, dan kekerasan seksual 2 kasus,” ujar Maneger yang juga pengajar di Uhamka ini.
Selain itu, Pusdikham juga melakukan pengamatan langsung terhadap kasus kekerasan seksual oknum guru terhadap peserta didik yang viral di media dengan angka mencapai 13 kasus yang tidak dilaporkan ke KPAI. Artinya sepanjang awal 2018 saja ada 15 kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan nasional.
“Dengan demikian tren kekerasan fisik, psikis, dan seksual di dunia pendidikan nasional tersebut terbilang cukup tinggi. Artinya kasus kekerasan fisik dan pemalakan/pemerasan sebanyak 75 persen, kekerasan psikis 9,37 persen, dan kekerasan seksual 15,63 persen,” jelas Maneger.
Kedelapan, soal demokrasi kampus. Mendesak Presiden Jokowi memerintahkan Kementerian Agama untuk mengkaji ulang Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
“Sebab jika pemilihan rektor dilakukan oleh Menteri Agama maka akan mematikan budaya demokrasi di kampus. Coba bandingkan, masyarakat awam saja dipercaya untuk berdemokrasi lewat Pileg, Pilpres dan Pilkada. Sementera para Guru Besar yang mengajarkan demokrasi justru dianggap tidak mampu berdemokrasi,” ujarnya.
Kesembilan, soal masa depan pemberantasan korupsi. Pemerintahan Jokowi harus hadir secara konsisten menjamin penguatan kelembagaan KPK dan perlindungan pembela HAM atau HRD (Human Rights Defenders) khususnya aktivis antikorupsi.
Kasus Novel Baswedan, misalnya. Sekarang, sudah 1,2 tahun lebih kasus teror penyiraman air keras tehadap NB belum juga ada titik terang yang menggembirakan. Untuk itu mendesak Komnas HAM menunaikan mandatnya membentuk semacam TGPF kasus NB dengan melibatkan unsur masyarakat.
Kesepuluh, soal persekusi. Maneger mengatakan dalam catatan Pusdikham Uhamka selama 2017 ada 48 kasus persekusi. Terbaru, kasus dugaan persekusi terhadap tokoh agama, Ustadz Abdul Somad (UAS) oleh sekelompok orang intoleran di Bali pada akhir tahun lalu.
Kesebelas, soal perlindungan warga negara. Selama 2017 ada beberapa peristiwa di mana negara tidak hadir menunaikan mandatnya melindungi warga negara di dalam maupun di luar negeri. Kasus terdekat adalah dideportasinya Ustadz Abdul Somad (UAS) oleh otoritas bandara Hongkong.
“Akhirnya, rezim Jokowi-JK hanya punya waktu sekitar 1,5 tahun lagi. Tidak ada pilihan lain kecuali bersegera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dan, memastikan tidak ada lagi pelanggaran HAM yang sama di masa mendatang (guarantees of nonrecurrence),” tutupnya. [uti]