KABUPATEN SERANG, biem.co – Padarincang, sebuah kecamatan di kabupaten Serang yang akhir-akhir ini, memang mulai terdengar keindahannya. Siapa yang tak kenal Curug Cigumawang misalnya, air terjun yang kini makin digandrungi masyarakat Banten.
Letaknya yang hanya berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat provinsi, dengan jalan naik turun khas pegunungan dan suasana sepi khas perhutanan seakan membawa ke dimensi lain. Letaknya di kaki Gunung Karang, gunung tertinggi di Banten itu seolah menyelimuti penat dan ruetnya perkotaan.
Namun keelokannya tiba-tiba disandera oleh macet, sempit dan bisingnya Pasar Padarincang, pusat masyarakat setempat memenuhi kebutuhan. Hanya terlihat beberapa orang yang mencari penghasilan dalam kemacetan itu. Keruetan itu seolah menutupkan mata untuk hanya sekedar melaluinya. Menyangsikan segala yang ada di sekelilingnya.
Tapi siapa sangka, Padarincang menyiapkan kejutan di balik itu. Sebuah jalan kecil di tengah pasar itu, tepatnya, menurut warga setempat, bernama jalan curug dahu menjadi jalan masuknya. Diawali pemukiman warga, layaknya tempat lain di sana, membuat dahi mengerut tak sangka.
Perjalanan dapat ditempuh dengan dua pilihan. Jalan kaki atau dengan kendaraan bermotor roda dua. Jalan yang menanjak membuat sedikit pegal kaki. Pengguna motor pun harus bersiap dengan jalan yang tak mengenal arti halus.

Sekitar 700 meter jalan dengan rumah warga sebagai pemandangannya telah dilalui, tepat di rumah warga terakhir, seketika jalan kecil itu menjadi jalan setapak. Terik matahari dengan goyangan pucuk padi langsung menyambut tanpa aba-aba. Langkah kaki terhenti sejenak dan membuat reflek lidah bertanya.
Jawaban yang diharapkan sekaligus mengherankan diterima dari warga setempat. “Benar. Lurus terus, nanti ada kampung lagi setelah sawah”, kata pria yang tak lagi muda namun tak tua yang tak sempat bertanya siapa namanya.
Sekira 450 meter perjalanan dilalui dengan udara yang tak asing lagi bagi para petani. Jalan yang berubah menjadi tak kenal aspal itu cukup gembur dan membuat perhatian tak lepas dari jalan yang akan dilalui.
Siapa sangka, di ujung jalan itu tiba-tiba berubah vegetasi. Pohon-pohon besar yang cukup lebat dengan jalan yang semakin menunjukkan ketangguhannya itu menyambut. Medan ini sempat membuat pewarta berhenti sejenak.
Kepalang tanggung, istilah yang memenuhi kepala kala itu. Sinyal yang tak bersahabat sejak awal itu semakin membuat nyali tertantang. Bak mendaki gunung, perjalanan semakin pasti pada satu jalan yang ada. Semakin berlalu maka semakin menjadi kesan alam hutan itu.
Sebuah gubuk yang tak terlalu besar tiba-tiba berdiri kokoh di depan mata. Tulisan selamat datang menyambut. Hati menjadi tenang namun dahi tak hentinya mengerut. Dua, tiga gubuk yang ada berhasil membuat penat belum bisa disudahi.
Tak jauh dari sana, keramaian mulai terasa. Lahan sekitar setengah hektare itu dipenuhi pengunjung yang sudah damai dengan alam dan fasilitas yang disediakan. “Lahannya setengah hektare. Di sini itu perkemahan”, kata Pak Cecep, salah satu pengelola tempat wisata itu.
Kesan hutan memang mustahil ditepis. Percikan aliran air yang cukup kencang menjadi “back sound” tempat itu. Serba bangunan berbahan bambu menjadi daya tarik tersendiri. Layaknya perkemahan, pengelola cukup lengkap menyediakan fasilitas. Dapur umum lengkap dengan tungku ala perkampungan, toilet yang bertemu langsung dengan aliran air sungai yang membelah hutan pegunungan itu, menjadikan suasana tersendiri.
“Ada kolam renang alam, flying fox, rumah makan, gazebo apung, aula dan arung jeram”, sebutnya lagi.
Tak seperti tempat wisata pada umumnya, perkemahan Bedeng sampai saat pewarta datang, tidak menetapkan biaya masuk. “Cuma bayar parkir saja, sepuluh ribu rupiah”, ungkapnya.
Yang menarik perhatian adalah adanya fasilitas gazebo apung. Konsep saung memanjang berbahan dasar bambu di atas aliran sungai itu berhasil memanjakan dan menghilangkan penat dan mengembalikan kesan sejuk yang sejauh perjalanan tersita.
Banyak pengunjung yang menghabiskan waktunya dengan menginap di perkemahan itu. Bagaikan menyatu dengan alam, hammock chair dan tenda beberapa terbentang untuk menginap atau sekedar menikmati alam yang tak tersentuh aroma kota itu.
Berdasarkan informasi warga setempat, Uga, untuk menuju ke sana sebenarnya dapat saja melalui jalur yang sama dengan jalur menuju Curug Cigumawang. Di samping itu, sayangnya keterlibatan warga sekitar dengan adanya tempat wisata itu masih belum maksimal. “Itu mah bukan orang sini, orang Ciomas yang ngelola”, ungkapnya.
Bagi siapapun yang punya rencana berlibur dengan wisata alam yang tak jauh dari kota, perkemahan Bedeng dapat menjadi salah satu alternatif. Dan pastikan membawa pakaian ganti, karena tak absah rasanya jika tidak mencoba bermain air di sana. (TMS)