Boyke PribadiKolom

Kolom Boyke Pribadi: Potensi dan Peluang Bencana

Catatan Awal Tahun 2019

Oleh: Boyke Pribadi (Pembelajar Kehidupan)

biem.co – Membuka awal tahun 2019 masyarakat di sekitar kita baik yang berada di Provinsi Banten maupun di seluruh pelosok Indonesia dilanda berbagai bencana alam yang menelan korban jiwa dalam jumlah yang signifikan dalam berbagai variasi usia, sejak balita hingga usia lanjut.

Sebenarnya, jika kita membuka lebar-lebar akal, pikiran serta hati kita, maka sesungguhnya tanah, air, dan alam Indonesia memang menyimpan potensi bencana alam yang cukup besar. Hal ini dikarenakan sebagian besar daerah di Indonesia berada dalam jajaran deretan gunung berapi aktif yang dikenal dengan wilayah ‘ring of fire’.

Dan ternyata, hal inilah yang memberi anugerah tanah subur yang menjadi ciri khas di daerah jajaran gunung berapi, karena pernah tertimbun abu vulkanik yang kaya akan mineral primer yang memiliki banyak unsur hara. Dimana seiring dengan berjalannya waktu akan mengalami pelapukan kimia dan biologi, abu akan mengeluarkan unsur hara dan area permukaan butiran abu akan membesar, dan mampu menampung lebih banyak nutrien dan air. Selain itu, abu vulkanik memiliki kemampuan untuk menyerap karbon dari atmosfer dalam jumlah besar dan menyimpannya di tanah.

Besarnya peluang atau kemungkinan terjadinya bencana di negara ini, seharusnya membangkitkan kesadaran bagi masyarakat, terutama bagi para pemegang kebijakan untuk melakukan proses pembangunan yang memperhatikan/mempertimbangkan faktor bencana alam dalam tahap perencanaannya.

Andai, para pemegang kebijakan yakni pemerintah sebagai eksekutor dan para wakil rakyat yang menjadi legislatif sejak lama memiliki pemahaman dan kesadaran yang cukup untuk mengetahui potensi bencana ini, maka tentu tidak akan ada pihak yang mengizinkan berdirinya bangunan tepat di bibir pantai. JIka pun ingin menikmati suasana pantai, maka bangunan akan diizinkan di sisi seberang pantai.

Kebijakan seperti ini, selain memberikan hak akses ke pantai bagi seluruh masyarakat, juga bersifat preventif jika terjadi gejala alam dalam bentuk naiknya permukaan laut (Rob) dan adanya cuaca buruk yang mendorong tingginya gelombang air laut sehingga mencapai bibir pantai.

Bukan kah kita khususnya di wilayah selatan, masih jelas mengingat hasil simulasi pakar dari BPPT yang menyatakan bahwa ada potensi tsunami dengan tinggi gelombang 57 meter?

Informasi tersebut memang tidak ditujukan untuk masyarakat awam yang dapat menimbulkan sikap paranoid atau ketakutan yang berlebihan. Namun informasi tersebut lebih dekat dengan peringatan sekaligus panduan bagi pihak pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan guna menyikapi lingkungan yang rawan bencana tersebut.

Contoh sikap yang diharapkan diambil dengan berbekal informasi tersebut adalah: mengatur dan menegakkan kembali tata ruang garis sempadan pantai, membangun shelter alami berupa perbukitan di sekitar pantai dan kawasan wisata dengan membentuk semacam terasering atau tangga sehingga memudahkan bagi masyarakat untuk naik ke atas bukit jika sewaktu waktu ada musibah bencana alam tsunami, atau menyusun spesifikasi bangunan yang tahan gempa dalam proyek pembangunan fisik yang didanai APBD, dan lain lain.

Sebenarnya selain bencana alam (kosmogenik) yang disebabkan semata-mata oleh perilaku alam semesta, ada pula jenis bencana lain yang lebih mengerikan dampaknya terhadap umat manusia yaitu bencana yang disebabkan oleh perilaku manusia (antropogenik) seperti banjir dan longsor akibat kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan dan eksploitasi hasil hutan secara membabi-buta sehingga menyebabkan kekeringan pada musim kemarau,, atau bencana yang diakibatkan oleh kecelakaan industri kimia.

Jika kita sebagai manusia tidak bisa melarang bencana kosmogenik sebagai salah satu  bahasa alam yang memang pasti terjadi, namun kita bisa melakukan tindakan mitigasi yakni serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Sebagai anggota masyarakat, tindakan mitigasi ini, lebih ditentukan oleh para elit pemegang kebijakan, baik dari pihak pemerintah (eksekutif), maupun wakil rakyat (legislatif). Oleh karena ini, bagi masyarakat, salah satu bentuk mitigasi yang bisa dilakukan adalah dengan memilih kedua elit di atas dengan hati-hati agar mendapatkan politisi sebaik mungkin.

Memasuki tahun 2019 yang dikenal sebagai tahun politik, secara nyeleneh, penulis berupaya memasukkan bencana politik sebagai bagian dari bencana antropogenik. Karena kebijakan penanganan bencana alam yang diputuskan oleh pemegang kebijakan yaitu pemerintah dan legislatif merupakan bentuk kebijakan atau keputusan politik.

Bencana alam tidak bisa direncanakan kejadiannya, karena itu merupakan geliat alam untuk menjaga harmoni lingkungannya. Namun Bencana Antropogenic sebenarnya dapat diprediksi dan merupakan hasil terencana akibat perilaku manusia. Sebut saja bencana banjir yang dengan mudah diduga karena pada prinsipnya air mengalir dari atas ke bawah, dan untuk mengalir tersebut air akan mencari jalannya sendiri menuju laut, sehingga bila ada hambatan di aliran sungai sebagai jalannya air, maka akan melimpah ke luar alirannya sehingga menyebabkan banjir. Atau longsor yang terjadi akibat pepohonan selaku ‘paku’ tanah tersebut digunduli sehingga berkurangnya hambatan air atau tanah untuk turun ke bawah.

Keputusan politik yang baik dengan orientasi kepada kepentingan masyarakat seluas luasnya yang mempertimbangkan faktor bencana alam, tentunya akan menghasilkan kebijakan publik yang membela kepentingan masyarakat secara utuh.

Karena tahun ini merupakan tahun politik, maka mungkin saja alam sedang mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam mengambil sikap pilihan. Karena siapapun yang akan kita pilih sebagai wakil rakyat, maka mereka yang terpilih seolah mendapatkan cek kosong untuk membuat kebijakan publik melalui undang-undang dan peraturan yang akan dibahas lalu ditetapkan.

Tentunya kita sudah mengetahui perilaku kebanyakan politisi dan aparat birokrasi dalam beberapa tahun terakhir ini. Dan operasi tangkap tangan KPK yang terjadi di penghujung tahun 2018 adalah dugaan kasus korupsi terhadap proyek rehabilitasi daerah yang dilanda bencana alam. Bukankah ini Sebuah ironi?

Pemilu 2019 memiliki peluang untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, namun sekaligus juga dapat membawa sesuatu perubahan yang buruk bagi masyarakat kita. Peluang tersebut tersimpan dalam potensi diri masing-masing calon legislatif dan calon pimpinan nasional kita, Itulah sebabnya kita harus hati-hati untuk menentukan pilihan atas hak suara yang kita miliki.

Pilihan kita akan menentukan apakah suksesi kepemimpinan nasional termasuk pergantian para wakil rakyat kita akan berbuah manis membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan bangsa, atau justru menjadi sebuah musibah yang membuat tekanan kehidupan dan penghidupan semakin berat, sehingga membuat sebagian besar masyarakat semakin menderita.

Dapat dibayangkan jika tingginya potensi dan peluang bencana alam yang dimiliki oleh negara kita ditambah dengan tingginya potensi bencana antropogenik (bencana politik) yang melanda elit-elit bangsa ini, maka tentu hanya akan menghasilkan banyak kehancuran yang diiringi dengan lambannya kemampuan masyarakat kita untuk bangkit dari keterpurukan.

Lain halnya meskipun Indonesia memiliki potensi dan peluang terjadinya bencana alam yang tinggi, namun jika para politisi yang akan melenggang sebagai wakil rakyat memiliki potensi sikap kenegarawanan yang tinggi dan jiwa rela berkorban serta lebih mengutamakan kepentingan masyarakat, maka sekali-pun kita dihantam bencana alam yang bertubi-tubi, masyarakat kita akan mampu bertahan dan memiliki kemampuan adaptasi yang mumpuni untuk segera bangkit dari berbagai keterpurukan yang ada, karena didukung oleh kebijakan pembangunan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.

Jadi, hati-hati dengan bencana politik, karena ia akan berimbas kepada urusan yang lain, dan bencana politik seharusnya bisa diantisipasi karena merupakan bentuk bencana antropogenik alias bencana yang disebabkan oleh perilaku manusia. Wallahu A’lam Bishawab.


Boyke Pribadi, lahir di Bandung, 25 Juli 1968. Adalah Dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Alumni Taplai Lemhannas,  serta aktif menulis artikel tentang politik, ekonomi, dan pelayanan publik. Ketua Umum MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) Provinsi Banten. Pernah menjadi Anggota Tim Pemeriksa Daerah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (TPD-DKPP) Provinsi Banten (2015-2017). Direktur komunikasi & kerjasama Banten Institute of Regional Development (BIRD). Penggagas scenario planning “Banten 2045”, Sekretaris Umum ICMI Provinsi Banten.

 


Editor: Jalaludin Ega

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button