KOTA SERANG, biem.co — Kebebasan pers dibatasi oleh kepentingan bangsa. Sehingga ketika ada konflik pers hendaknya jangan memberitakan jumlah korban, bagaimana korban terluka atau meninggal dunia, karena itu hanya akan memperkeruh situasi.
Hal tersebut dikatakan oleh Anggota DPRD Provinsi Banten dari Fraksi Gerindra Yudi Budi Wibowo, saat diskusi mingguan yang bertema Jurnalisme Konflik Papua yang digelar di Sekretariat Pokja Wartawan Kota Serang (PWKS), Jumat (4/10/2019).
Menurutnya pemerintah ketika ada konflik jangan diselesaikan dengan kekerasan tetapi dengan dialog dan mencari akar permasalahan sesungguhnya sehingga penyelesaiannya benar-benar dapat tuntas. Karena itu ia berpendapat militer harus ditarik dari Papua.
“Harapan saya teman-teman jurnalis menjadi garda terdepan pemberitaan konflik tetapi dibungkus dengan pemberitaan yang sejuk,” katanya.
Yudi mengatakan bahwa sudah berpuluh-puluh tahun terjadi akulturasi di Papua.
“Sudah cukup lama masyarakat dari pulau lain hidup bersama masyarakat Papua bahkan ada juga yang sudah beranak pinak dengan warga Papua. Jadi tidak habis pikir mengapa bisa terjadi konflik di Papua,” imbuhnya.
Ia juga mengaku tidak tahu apakah dalam konflik Papua ini ada konflik ekonomi, politik, atau konflik lainnya.
“Papua itu seksi. Semuanya ada. Kekayaan alam, kekayaan budaya, geografis. Sampai Belanda pun di KMB (Konferensi Meja Bundar-red) mempertahankan Papua ingin menjadi wilayah mereka,” ujarnya.
Mantan Ketua Aliansi Mahasiswa Papua Arki mengatakan bahwa kebanyakan wartawan dalam membuat berita Papua selalu mengandalkan pihak keamanan sehingga membuat berita tidak berimbang.
Sementara aspirasi yang ingin disuarakan masyarakat Papua kerap tidak terekam karena hanya mengandalkan konfirmasi dari pihak keamanan. Ketika ada aspirasi warga Papua yang yang tidak bisa disampaikan kepada media massa, warga Papua menyampaikan fakta yang ada melalui media yang bisa dibuat seperti twitter dan media sosial lainnya. Tetapi aparat langsung menyebutnya sebagai hoax.
“Memang susah membuat berita berimbang di daerah konflik,” katanya.
Arki menyebut konflik di Papua saat ini merupakan konflik yang paling parah. Sebab daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah terpancing konflik ikut terpancing.
Bahkan simbol-simbol negara dan organisasi yang memiliki misi menyelamatkan masyarakat Papua juga ikut dibakar. Ia dapat memastikan protes yang terjadi secara masif di Papua murni untuk memprotes sikap rasis yang terjadi di Surabaya.
“Juga karena penanganan kasus di Surabaya terlalu lambat,” tuturnya.
Sementara Wakil Ketua Pokja Wartawan Harian dan Elektronik Provinsi Banten Wahyu Arya mengatakan bahwa wartawan harus memegang teguh Kode Etik Jurnalistik dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya.
“Dalam kode etik itu sudah ada rambu-rambu yang harus ditaati oleh jurnalis dalam setiap memberitakan sebuah peristiwa,” ujarnya.
Wahyu juga menyebut salah satu pasal dalam Kode Etik Jurnalistik yang sebaiknya dipegang teguh wartawan saat memberitakan konflik Papua.
“Dalam Pasal 8 disebutkan Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani,” tandasnya. (*)