Cerpen

Cerpen Yori Tanaka: Perempuan yang Mengganggu Makan Malammu

biem.co — Waktu itu aku masih kecil, mungkin lima atau enam tahun, tapi aku masih ingat betul kejadian di malam itu. Saat seorang perempuan berkemas dengan cepat, menjejalkan beberapa pakaian ke ransel besar, mengambil dompet dan celengan di lemari, juga beberapa buku, lalu menggendong Kaira adikku dan menuntunku keluar rumah. Perempuan itu menangis tanpa suara.

Lalu kau berteriak keras sekali, setelah melempar entah apa di ruang tamu. “Kalau mau pergi, jangan pernah balik lagi!” katamu dengan murka. Aku juga ikut menangis. Kaira yang baru berumur satu setengah tahun hanya melongo menyaksikan kejadian itu. Perempuan itu menoleh sekian detik ke arahmu.

Lalu ia meraih lenganku lagi dan kami mulai berjalan pergi. Aku masih mendengar teriakan yang sama. Disusul dengan panggilan dari beberapa orang. Ada suara Aki dan Nin. Ada juga panggilan dari yang lain yang hanya bisa kuhiraukan. Aki bahkan mengejar dan mencegah kami, tapi lagi-lagi kau berteriak. “Nggak usah dicegah! Pergi saja semuanya! Jangan pernah balik lagi!”

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Rumah itu ada di ujung perkampungan. Ada jalan panjang, sepi, dan gelap yang harus kami lewati untuk sampai di muka gang. Setelah itu pun kami harus berjalan sekira lima belas menit untuk sampai ke jalan raya. Untungnya, baru sampai muka gang, Aki datang dan membawakan kami motor. Motor milik perempuan ini, hasil bekerjanya selama lima tahun. Saking terburunya, ia bahkan lupa ada motor yang bisa ia bawa.

“Mau kemana, Ra? Jangn pergi saat hati sedang kacau. Semua bisa dibicarakan baik-baik,” kata Aki dengan wajah cemas.

“Belum tahu, Pak. Tapi maaf, saya dan anak-anak harus pergi. Maafkan selama ini saya banyak khilaf. Salam untuk Ibu. Terimakasih sudah baik sekali pada saya dan anak-anak,” jawabnya masih dengan air mata yang deras.

Kami pun pergi. Kai digendong di depan. Aku duduk di boncengan belakang. Seperti biasa jika ia mengajak kami belanja atau sekadar membeli es krim. Tapi malam itu, kami tidak berbelanja, tidak pula mampir ke mini mart untuk membeli es krim. Ia mengajak kami ke sebuah tempat.

Saat itu aku hanya tahu itu sebuah kamar dengan tempat tidur yang lumayan empuk dengan AC. Ya, tidak jauh berbeda dengan kamar di rumah. Bedanya, di kamar itu tidak ada suaramu lagi. Ia juga sudah tidak menangis. Setelah menidurkan Kai, ia menghampiriku yang terduduk di ujung kasur. Masih belum bisa bicara apa-apa.

“Nai, kita wudhu terus sholat yuk! Habis itu tidur.” Bisiknya sarat kelelahan. Setelah duduk dalam doa yang panjang, kami berpelukan di tempat tidur dan seperti bias, ia mendongeng, kali ini tentang kisah Adam dan Hawa yang berpisah dan diturunkan ke bumi. Saat itu, pikiran naifku membayangkan kalian seperti Adam dan Hawa yang berpisah, bedanya bukan berpisah karena buah khuldi, tapi lantaran ia selalu menjadi penganggu makan malammu.

Sebenarnya, bila harus mencari siapa yang salah, akulah orang yang paling bersalah. Aku yang sering menangis, sulit ditenangkan, banyak mau, dan tentu saja merepotkanmu. Kadang ia juga bicara dengan nada keras saat harus menenangkanku dan di waktu yang sama juga menenangkan Kaira.

Sementara kau, tentu saja tak mau diganggu, apalagi jika sedang ada tamu dan kalian berbincang seru sambil berpesta asap. Asap dengan bau yang membuat sesak. Dan jika ia terpaksa memanggilmu di saat seperti itu, kau akan datang dengan wajah marah.

Di saat yang lain, dan ini lebih sering terjadi di waktu makan malam, ia baru saja mengambilkan sepiring nasi, lauk, sambal dan semangkuk sayur ke hadapanmu. Lalu aku merengek ingin membeli sesuatu. Sementara nasi di piringnya juga sudah terlihat tak karuan, yang sedari tadi baru satu saja masuk ke suapannya. Bila aku dan Kai merengek bersamaan dan ia menenangkan kami dengan usapan dan kata-kata lembut, tapi kami masih terus berebut pangkuannya, maka kau akan bangkit.

Awalnya menengur kami dengan bentakan. Lalu kami semakin menangis. Maka kau akan mendorongku, atau melemparkan benda apa saja ke arahku. Dan ia akan langsung melindungiku sambil bicara, “Tolong jangan dipukul!”

Tapi tentu saja kau tidak akan diam. Bangkit penuh amarah dan menuding-nuding kami. Aku si tukang ngambek. Kai si tukang nangis. Dan ia, yang tak becus menjaga anak saat kau sedang menikmati makan malam. Padahal tidak setiap makan malammu terganggu. Aku tahu betul, makannya yang lebih sering terganggu. Bahkan ia sering berlapar-lapar demi aku dan Kai.

Malam itu pun demikian. Perutku didorong dengan keras. Sakit. Dan tanpa kuduga ia langsung berkemas dan memutuskan pergi dari hidupmu. Setelah bersamamu selama enam tahun. Belakangan aku tahu, dari buku-buku yang ia tulis, kau adalah cinta pertama dan terdalam baginya. Tapi, ia juga tak bisa menerima kenyataan bahwa orang terdekat dan yang paling ia percayalah yang akhirnya jadi orang yang paling berpotensi menyakitinya.

Untuk bersamamu, ia telah mengorbankan banyak hal, mengubah prinsip dalam hidupnya, mentolelir kebiasaan-kebiasaan burukmu, menyudahi kegiatan di komunitas yang menjadi passionmu, dan yang terbesar adalah meninggalkan keluarganya. Ia juga tidak peduli gelar stratanya. Ia tak peduli pekerjaan di luar yang ia tinggalkan. Ia juga beberapa kali mengabaikan ayahnya demi kau. Katanya, untuk mendapatkan sesuatu yang besar, harus ada pengorbanan yang besar juga.

Aku tahu, sampai saat itu, kau masih jadi seseorang yang besar di matanya. Tapi, hatinya selalu sakit jika ingat apa yang kau lakukan padaku dan Kai. Terutama bila sudah mulai membentak dan menyakiti kami. Sama sekali tidak terpikir olehnya, lelaki sebaik dan secerdas engkau, bisa melakukan hal itu.

Setelah makan malam yang kacau itu dan kami tidur di sebuah kamar yang asing. Ia membawa kami ke rumah Eyang. Kami tinggal beberapa minggu sampai akhirnya pindah lagi ke rumah petak. Dalam kurun dua minggu itu, beberapa kali ada kiriman barang-barang yang kami tinggalkan di rumah seperti baju, lemari, laptop, komputer, dan buku-buku. Mungkinkah kau tidak sanggup melihat semua barang itu karena mengingatkan pada kami?

Ia tidak bekerja di luar. Hanya sering duduk di depan laptop saat Kai tidur. Aku memang tidak lagi bisa jajan banyak setiap hari. Tapi sekali waktu, ia masih membelikan kami es krim. Tentu dalam kurun waktu itu, aku dan Kai juga menanyakanmu. Menanyakan kapan kita pulang. Tapi ia hanya menggeleng sambil tersenyum. Sampai akhirnya lelah bertanya.

Aku dan Kai juga tetap melanjutkan program homeschooling seperti yang pernah kalian rencanakan. Ia bilang, ia hanya menjadi faslilitator, aku harus menjadi pembelajar mandiri. Maka aku mulai membaca buku demi buku yang ia belikan. Kadang juga ia mengajakku ke perpustakaan daerah dengan ribuan koleksi bukunya. Oya, Kai juga suka membaca. Terutama cerita fantasi. Waktu Kai belum mahir membaca, aku juga sering membacakan buku cerita untuk Kai.

***  

Malam itu sudah berlalu. Usiaku sekarang tiga belas tahun. Kai sepuluh tahun. Dan cerita ini kutulis di diari perempuan itu, yang tak sengaja kutemukan di lemarinya saat aku menaruh pakaiannya yang baru kusetrika. Ia sedang pergi ke luar kota, ada workshop kepenulisan katanya.

Oya, sekarang kami tidak tinggal di rumah petak lagi. Sudah lama kami pindah ke rumah bertema shabby ini. Rumah yang cukup luas untuk kami bertiga. Biasanya, jika ia pergi ke luar kota, kami selalu diajak. Tapi kali ini, ia hanya bisa pergi sendiri. Kami di rumah ditemani Ante Fufu dan Om Fajar, adik-adiknya.

Aku membaca diari itu dari awal sampai akhir. Diari yang ia tulis di hari pertama kami meninggalkan rumah. Hari dimana kesedihan panjangnya baru dimulai. Ia harus meninggalkan lelaki yang ia cintai, yang padanyalah ia berbakti dan berjanji untuk terus memupuk hari-hari baik. Tapi, ternyata ia gagal.

Dari diari itu juga aku tahu kalian beberapa kali bertemu di pengadilan. Melalui proses mediasi yang tak berujung baik. Waktu itu aku belum benar-benar mengerti. Tapi sekarang semuanya jelas. Masalah makan malam yang terganggu saja bisa membuat dua orang yang saling mencinta memutuskan berpisah.

Oya, ia juga sudah tahu, kau memilih hidup bersama perempuan lain. Kenapa? Tak tahan hidup sendiri? Kabarnya juga sudah punya dua anak. Adik-adikku kah itu? Namun, di lembar terakhir diari toska itu, ceritamu begitu miris. Mereka juga meninggalkanmu ya? Aku jadi ingat, tempo hari ada perempuan dan dua anak kecil yang datang ke rumah.

Si ibu menangis-nangis di pelukannya sementara aku dan Kai menjaga dua anak kecil itu di halaman belakang dan tidak diperkenankan mendengar pembicaraan mereka. Rupanya mereka itu keluarga barumu. Mereka yang tidak bisa juga diperlakukan kasar olehmu. Ia sempat menawari mereka tinggal bersama kami. Tapi, entah kenapa mereka tidak kembali lagi.

Oya, kau tahu tidak, sejak malam itu, sampai saat ini pun, ia selalu menyebutmu dalam doa bersama kami sebelum tidur. Semoga kau selalu bahagia, katanya. Dan doa yang tak pernah kulupa adalah mendoakannya. Semoga perempuan yang menganggu makan malammu selalu bahagia. Ya, semoga ibuku selalu bahagia meski tanpamu.


Yori Tanaka, full time mother yang selalu jatuh cinta pada senja dan puisi. Lahir di Tangerang, 19 Februari 1990. Alumni Kelas Menulis dan Majelis Puisi Rumah Dunia yang juga pengelola TBM Bengkel Baca ini sedang berproses menjadi perintis homeschooling untuk anak-anaknya. Tulisannya pernah dimuat di Indopos, Tabloid Gaul, kurungbuka.com, dan lain-lain.  Akun Facebook : Yori Tanaka. Akun Instagram : @tariiyorii.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button