Cerpen

Cerpen Mawan Belgia: Semua Hanya Permainan

biem.co — Sedikit yang kutahu dari negeri tropis ini, pertengahan abad ke-20 menjadi salah satu jajahan Jepang. Kawanku Ozawa sudah beberapa kali berkunjung, terbaru adalah Bali. Kedatangan yang nahas, ia diringkus oleh petugas imigrasi, dikira turis ilegal. Untunglah masalah itu tidak berlarut jauh. Selang beberapa jam Ozawa dibebaskan.

Ia memang cukup terkenal di sini. Kesohorannya pernah diundang untuk membintangi sebuah film horor. Aku menyempatkan waktu menonton film itu kemudian. Sayang sekali, filmnya mengecewakan, tidak sebaik buatan sutradara-sutradara Jepang.

Di sini panas, hanya ada musim kemarau dan hujan. Ketika melewatkan bulan April kadang terlintas di bayanganku, aku duduk di bangku panjang di bawah mekar bunga sakura. Membayangkan itu membuat ingatanku tergiring pada mulanya aku bertemu Buke. Semua tidaklah pernah terumuskan. Takdir hidup berjalan begitu saja.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Aku bukan siapa-siapa di sini. Hanya ibu rumah tangga. Kukatakan saja ibu rumah tangga sekali pun aku belum memiliki anak dan mungkin tidak bisa memiliki anak. Memang waktu-waktu luangku lebih banyak di rumah. Memasak untuk Bukeku tercinta. Kala jenuh tiba, aku selalu jujur pada Buke bahwa aku butuh jalan-jalan. Cuci mata akan hijau alam. Menghirup udara segar di bumi tropis. Untunglah Buke selalu pengertian. Tiada alasan baginya untuk menolak setiap keinginanku.

Aku semula khawatir menampakkan diri di ruang publik. Bagaimana kalau ada yang mengenaliku? Oh, aku tentu malu. Sekujur tubuhku telah menjadi santapan banyak pasang mata di ponsel-ponsel mereka atau komputer.

“Kamu tak setenar Ozawa di sini. Tenang saja. Orang-orang akan kewalahan mengenalimu. Tetapi tetap saja kamu akan menjadi perhatian jika jalan bersamaku. Hal yang tidak lumrah, laki-laki pribumi mempersunting perempuan Jepang yang cantik,” kata Buke.

“Katakanlah ada satu atau dua orang pernah melihat film-filmmu. Tampilanmu yang seperti ini sekarang, tentu mereka akan dihadapkan keragu-raguan. Apakah itu benar-benar kamu, Momoka.”

Aku menekan pipiku, mulutku terlipat. “Aku jelek ya sekarang?” kataku.

“Kamu selalu cantik, sayang.”

“Tapi tubuhku melar.”

“Kecantikan tidak kunilai dari bagaimana fisik,” Buke mendekatiku. Kedua tangannya menekan pipiku yang tembam, memberikan pukulan pelan-pelan oleh kedua telapak tangannya. Kurasakan pipiku bergoyang. Aku ingin menurunkan tangannya, tapi buru-buru menyergap bibirku dengan ciuman.

Ketika dihadapkan perasaan malu menampakkan diri di ruang publik, Buke selalu ada membangkitkan rasa percaya diriku. Aku sangat mencintainya. Namun ada suatu hari aku mencurigai sesuatu hal telah terjadi akan perasaannya terhadapku.

Aku membicarakan kecurigaanku itu pada Ozawa. Sekalipun kini Ozawa berada di Filipina, bahagia bersama kekasihnya yang seorang koki. Hubungan kami tetap terjalin. Selalu ada waktu untuk berbagi kabar. Kami saling mengikuti postingan-postingan di instagram. Setiap Ozawa membagi foto, jempolku tak ketinggalan menekan simbol hati. Begitu pun ketika aku membagi gambar masakan-masakan yang kubuat.

Ozawa berkata bahwa kecurigaanku semata-mata hanyalah permainan perasaan belaka. Aku mestinya menyingkirkan itu, toh juga belum ada bukti.

Di lain waktu ia memintaku untuk kembali ke Jepang meninggalkan Buke. Ketika kubeberkan bau parfum perempuan melekat di seragam Buke setiap pulang kerja, dan kuceritakan buah percakapan Buke dengan seorang perempuan melalui WhatsApp.

Percakapan itu bukan obrolan biasa lagi. Saling menyapa dengan kata sayang. Aku menangis. Ozawa bersimpati. Aku harus berpikir cermat sebelum merestui saran Ozawa.

Hal yang sama juga kusampaikan kepada kawanku lain, Sora. Sora baru saja melahirkan anak pertamanya. Menikah dengan laki-laki jauh lebih tua darinya, yang mau menerima kelam masa lalu Sora. Berbeda Ozawa, Sora menyarankan aku untuk membalas sakit hati yang kurasakan.

“Kau pernah liar, mengapa tidak mencobanya kembali demi membuat Bukemu sakit hati,” katanya dalam Jepang bernada bercanda. “Kau bisa memanggil gigolo datang ke rumahmu. Pastikan bahwa itu menjelang Buke pulang kerja. Dan kalian asyik bersetebuh, persetebuhan janganlah dulu selesai sebelum Buke menyaksikan permainan kalian.”

“Ah, aku bisa mati jika itu kulakukan. Aku sangatlah mencintai Buke. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan itu?”

“Sampai sekarang aku seolah-olah belum bisa percaya, kenyataan yang terjadi padamu, menjadi pasangan laki-laki asing, diboyong ke negaranya pula.” Ia menambahi tawa di akhir ucapannya. Telepon kumatikan begitu saja. Aku mencurahkan hati sangat serius, selalu ditanggapi dengan candaan oleh Sora.

Aku menangis karena kelakuan Buke. Awal malam ia baru pulang kerja. Kepulangannya terlambat. Kujemput di depan pintu. Di dalam kamar, aku langsung membantu melepas pakaiannya. Aku persilakan ke kamar mandi, air hangat telah kusediakan untuknya. Ia menuruti perintahku. Aku menunggu di sisi ranjang, dalam keadaan menangis. Seragam yang dikenakannya selalu melekat wangi parfum asing, itu bukan parfum yang kusemprotkan sebelum ia berangkat.

Kulihat ponselnya masih menyala di atas meja. Aku beringsut, tanganku memberikan jangkauan. Pertama-tama kuperiksa adalah pesan di WA. Oh percakapan mesra dengan perempuan itu masih terjadi. Hatiku sakit bagai disayat bilah bambu. Tanpa sengaja tanganku masuk ke menu galeri.

Ya Tuhan! Aku menjerit. Air mataku semakin kencang. Buke berswa foto dengan salah seorang perempuan. Kedua tangan Buke memeluk dari belakang perempuan itu. Keduanya memberikan senyuman sangat lebar, latar belakang pemandangan laut. Masih ada beberapa foto mereka sedang kencan. Mereka berdua di restoran.

Ketika kusadari Buke sudah keluar dari kamar mandi. Handuk melilit di perutnya. Buru-buru aku menyingkirkan ponselnya. Kuletakkan begitu saja di atas tempat tidur. Jari-jariku sibuk menyeka air mata. Buke memberikan teguran, “Mengapa kamu menangis, sayang?” Kulihat matanya sempat memerhatikan ponsel itu yang tidak kusimpan sebagaimana tempatnya semula.

“Mataku perih. Mungkin gara-gara mengiris bawang,” itu dalihku saja. Sebelum Buke mencurigai sesuatu, aku melanjutkan kembali, “Aku sudah memasak enak untuk makan malam kita. Berpakaianlah! aku menunggumu di dapur.”

Buru-buru aku bangkit. Tanpa menoleh ke Buke lagi kubawa diriku keluar kamar. Di dapur aku menangis sepuasnya.

“Matamu sembab, sayang. Ceritakan padaku apa yang membuatmu bersedih? Jangan bilang kamu merindukan negerimu. Tenanglah! Tiba masa cuti kita pasti ke sana.” Aku tidak menyadari kedatangan Buke. Aku sempat terkejut tiba-tiba mendengar suaranya. Tahu-tahu sudah mengambil posisi di sampingku.

Aku diam. Menuangkan nasi ke dalam piring, serta lauk pauk. Kemudian kuletakkan di hadapan Buke.

“Akhir pekan ini kau akan membawaku ke mana?” Aku mengangkat topik lain.

“Sepertinya semua tempat wisata di dekat sini, telah kita kunjungi. Atau kau bisa cari referensi di internet. Aku selalu siap membawamu ke mana pun itu.”

“Aku akan mencarinya,” kuusahakan tersenyum. Buke begitu baik. Tapi membaca isi pesan itu. Mencium wangi parfum asing. Dan foto-foto di ponselnya membuat hatiku meringis.

Setelah makan malam. Aku berganti pakaian. Kimono melekat di tubuhku. Aku berselonjoran di atas tempat tidur. Menyantap Norwegian Wood gubahan Murakami. Aku sudah pernah membacanya dalam Jepang, sehingga untuk kali ini versi terjemahannya. Sedangkan Buke di depan meja memelototi laptopnya. Hening yang hadir mula-mula.

Fokusku terusik ketika mendengar sebuah suara. Ternyata asal suara itu keluar dari laptop Buke. Aku melihat ke layar. Astaga! Aku sangat tidak suka Buke memutar video itu lagi. Sekonyong-konyong aku bangkit. Niat hati untuk menghentikannya, tetapi Buke mencegatku.

“Di sini kamu masih begitu muda sayang, tubuhmu langsing. Sialan laki-laki ini, begitu menikmatinya. Aku cemburu, sangat cemburu,” nada suara Buke memang terdengar bercanda. Aku tahu ia tidak pernah memasalahkan kelam masa laluku. Tetapi tetap saja aku tidak menyukai ia menonton video itu lagi.

“Hentikan, sayang! Hentikan! Jangan buat aku marah gara-gara ini.” Aku berupaya meraih laptop tapi tidak berhasil. Buke terus mencerocos membandingkan tubuhku yang dilihatnya di dalam layar dengan yang sekarang.

Aku amat tidak suka cara bercandanya. Aku menyerah kembali duduk di atas ranjang. Menangis tersedu-sedu. Buke heran. Mendekatiku. Meremas kedua pundakku. Kedua tanganku menutupi wajah.

“Aku tahu rahasiamu, aku sudah tahu. Diam-diam kamu berhubungan dengan seorang perempuan.” Aku tetap mempertahankan tangisku.

“Jadi kamu sudah tahu semuanya?” Buke melepas cengkeraman kedua tangannya dari pundakku.

“Beri aku alasan kenapa tega berbuat begitu terhadapku? Sementara aku sangat mencintaimu.”

“Sekarang aku harus jujur. Sudah lama kurencanakan untuk menghadirkan perempuan lain di rumah ini. Aku tidak bisa beroleh anak darimu, aku tidak bahagia karena itu.”

“Aku ingin kau madu?” Mataku berkaca-kaca menatapnya. Ia mengangguk, “Kalau kamu tidak suka, kita bisa bercerai.” Ia turun dari ranjang, menyambar jaketnya tergantung di dinding.

Aku tidak tahu Buke ke mana. Di kamar aku menangis. Aku tidak bisa tidur. Terngiang terus akan perkataannya. Tisu berserakan di atas lantai, sangat banyak.

Jam dua belas malam Buke belum kembali. Aku sangat cemas. Bagaimana kalau ia bersama perempuan itu? Mataku terasa bonyok oleh air mata.

Aku masih meratapi rasa sakitku, terbaring di tempat tidur. Tiba-tiba lampu mati, gelap sekali. Aku meraba-raba senter di dalam laci meja. Nyala senter satu-satunya cahaya yang ada. Kusibak tirai jendela, lampu di rumah tetangga nyala. Buke belum datang, aku sangat takut akan gelap.

Puncak rasa takut itu ketika kudengar suara langkah kaki dari luar kamar. Aku berteriak memanggil nama Buke, tetapi tidak ada sahutan. Justru telingaku mendengar raungan anjing. Nyaring sekali berada di luar rumah.

Satu kali dorongan keras pintu kamar terbuka, aku terkejut dan berteriak melihat sosok serupa bayangan. Senter di tanganku jatuh seketika.

Lampu kemudian menyala. Yang berdiri di depan pintu kukira hantu adalah Buke. Di belakangnya muncul beberapa orang. Dua laki-laki dan dua perempuan.

Salah satu dari mereka membawa tar. Nyanyian selamat ulang tahun pecah, mengusik ketenangan malam. Air mataku menitik. Sebuah kecurigaan yang kualamatkan pada Buke membuat aku hilang fokus, lupa pada hariku sendiri.

Selepas acara tiup lilin dan memotong kue, Buke berkata, “Semua telah kami rencanakan,” mencium keningku, “Semua hanya permainan, sayang.” Kemudian Buke memperkenalkan mereka berempat adalah saudara sepupu dari pihak ibu. Salah satu perempuan itu; ia yang ada di dalam foto mesra bersama Buke. []


Tentang Penulis

mawan belgia

Mawan Belgia, berasal dari Mamuju, Sulawesi Barat. Lahir 15 November 1997. Cerpen-cerpennya telah tersiar di beberapa media massa.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button