KOTA SERANG, biem.co – Sebagai bagian dari upaya melawan Covid-19, Presiden Joko Widodo akhirnya memilih menggunakan penetapan keadaan Darurat Sipil dipadukan dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), Senin (30/3/2020).
Rencana itu mendapatkan tanggapan beragam dari masyarakat, termasuk para ahli hukum. Untuk mendapatkan pemahaman utuh, biem.co berkesempatan mewawancarai ahli Hukum Tata Negara Dayanto, seorang dosen di Universitas Darussalam Ambon. Berikut petikan wawancaranya:
biem.co
Selamat malam dok, sebenarnya apakah ada perbedaan dasar hukum, antara darurat militer, karantina wilayah, dan PSBB (pakai PP)?
Dayanto
Iya, dasar hukumnya berbeda, jika darurat militer itu memakai Perppu No 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya dan diteken oleh presiden soekarno, sementara karantina wilayah memakai UU No. 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan wilayah dan diteken oleh presiden Jokowi.
biem.co
Jika ada perbedaan dasar hukum, apakah PSBB membatalkan ketentuan darurat sipil?
Dayanto
PSBB dan darurat sipil dua hal beda, tergantung konteks.
biem.co
Jika PSBB, bagaimana hak dan kewajiban negara dan masyarakatnya?
Dayanto
PSBB tdk menyebutkan kewajiban pemerintah untuk menanggulangi dampak dari penerapan.
biem.co
Apakah tepat jika kondisi korona ini dikategorikan darurat sipil?
Dayanto
Tidak tepat karena isu primer Corona adalah darurat keamanan kesehatan sedangkan secara khusus (lex specialis) sudah ada UU Kekarantinaan Kesehatan. Seharusnya itu yang digunakan.
biem.co
Bagaimana tanggapan Anda dengan anggapan masyarakat bahwa jika darurat sipil diterapkan maka presiden lari dari tanggung jawab?
Dayanto
Opini itu tidak bisa dihindari karena seharusnya yg digunakan UU Kekarantinaan Kesehatan. Di UU itu terhadap karantina wilayah mewajibkan tanggungjawab tertentu bagi pemerintah selama masa karantina.
Persoalan primer pandemi Corona adalah keamanan kesehatan nasional oleh karena itu pendekatan yg tepat adalah dengan mendayagunakan UU Kekarantinaan Kesehatan. Prinsip penting dari UU itu adalah pemenuhan tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat selama masa karantina.
Tanggungjawab tersebut merupakan wujud keberpihakan pemerintah untuk melindungi dan memberi jaminan kehidupan bagi seluruh masyarakat serta kebijakan afirmatif terhadap lapisan masyarakat yang paling rentan akibat dampak pandemi corona.
Dengan demikian, tanggung jawab pemerintah itu wajib diwujudkan dengan memobilisasi seluruh sumber daya negara termasuk sumber daya keuangan negara untuk mengatasi pandemi Corona dan dampaknya.
Pemerintah Malaysia misalnya, mengucurkan anggaran hampir Rp1.000 T untuk keperluan menghadapi pandemi corona, anggaran itu digunakan utk keperluan medis, bantuan uang tunai bagi masyarakat terdampak, dan stimulus dunia usaha.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengkonsolidasi ulang anggaran negara sebesar-besarnya dan memfokuskan dengan cepat dan cermat untuk keperluan menghadapi pandemi Corona.
Dari wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan mendasar karantina wilayah dan darurat sipil. biem.co pun mensarikannya melalui infografis di bawah ini. [EJ]
