Puisi

Sajak-Sajak Angga Wijaya

 

Katrangan

Lewati jalan ini, aku teringat
kau telah pergi. Mati dipukul
pengidap epilepsi saat kau
dirawat di rumah sakit jiwa

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Doa selalu kupanjatkan,
kau kembali ke alam sunyi,
lanjutkan perjalanan tak pernah
berakhir. Kelahiran demi
kelahiran

Taksi kenangan tak kulupa,
kulihat potret di tembok kusam
kamarmu ketika kau mengantar
turis bepergian. Senyummu
terbit di antara kesedihan.

Di denting gitar nyanyian
malam anakmu, aku teringat
engkau. Mereka kini dewasa,
kubayangkan kau duduk di bar
nikmati lagu bahagia kau suka

“Duduklah di keramaian,
kau akan tahu bisikan
itu masih mengganggu
atau hilang tak berjejak,”

begitu kau pernah berkata.

Kini aku paham,
setelah bertahun-tahun
bergulat dengan halusinasi
dan delusi

skizofrenia!

2019

 

Jatayu

Kau membayangkan motormu terbang,
bagai Jatayu –burung perkasa pelindung
Sita sewaktu berkelahi dengan Rahwana

Sore hari, kita mengitari kota, melihat
banyak perubahan; toko modern,
warung makan, gerai ponsel,
rumah kos, orang-orang
asing jumawa.

Kita makan bersama di restoran kecil.
Kau senang sekali; teringat sewaktu
menjadi sopir taksi, kitari pulau
bersama tamu-tamu baik hati.

Pulang setelah bom hancurkan
periuk banyak orang. Membuka
bengkel, berjualan nasi bersama istri
sangat kau cintai.
Tak kalah oleh nasib buruk.

Kau memacu motormu dini hari
itu, penyakitmu lumpuhkan
kesadaran. Lupa diri dan begitu
kasar, kau seperti bukan dirimu;
di mana kelembutan itu?

Kabar mengejutkan itu datang;
kau meninggal. Kawan satu sal
tempat kau dirawat memukulimu.
Aku sangat terpukul, tak bisa
berbuat banyak.

Kematianmu menghiasi surat kabar.
Kami begitu pengecut menganggap
itu adalah takdir. Aku lemah;
skizofrenia begitu kejam merajam
kita yang terbuang.

2019

Enam Babak Percakapan
untuk para guru

/1/
Kita menjadi congkak karena hidup di dunia
sombong. Buku-buku etalase luar biasa bagi
orang pintar. Intelektual suci, dipanggil guru!

/2/
Kata-kata hebat sengaja kukutip untukmu.
Bangunlah, hari sudah siang dan mimpi
semalam buat kita enggan terbangun.

/3/
Kebijaksanaan di alam luas, tak hanya pada
buku kau beli di pasar. Kicau burung pun
bicara arti kehidupan. Langit selalu beri tanda.

/4/
Kita selalu berdebat, berebut nama di rupa tak
lagi muda. Wajah perempuan belia terukir di
kayu tubuh. Nalar liar pembenar, jiwa khianat.

/5/
Kesadaran palsu. Berjubah polos dengan kata
mutiara dari mulut kerap tersenyum. Kita semua
korban, tersisih bumi yang jahat dan kejam.

/6/
Aku rindu sawah menghijau. Iringan pemuja tuhan
berbaju putih, menunduk saat kearifan lahir; batin
tenang damai. Mistik dunia baru.

2019

 

Gadis Pembeli Surga

/1/
Aku tak bisa bercinta lagi. Kita tak sepakat
soal berahi. Cinta bukan itu. Jauh berbeda.
Banyak lelaki di benakmu, orang asing itu.
Imaji bawa kau terbang jauh, liar dan liar.

/2/
Pohon di halaman bernyanyi sedih. Aku
mendengar suara tawa jauh hari. Di mana
kau malam ini? Bahagia di pelukan lengan
binal? Pagi tak datang, waktu seakan mati.

/3/
Kamar kita menunggu. Lagu kenangan
menggenang, ingatkan cinta yang hilang.
Kucing terlelap dalam gelap. Telepon
senyap berdering, entah dari arah mana.

/4/
Kenikmatan kau beli di pasar, pilihan
di tanganmu. Lelaki muda tersenyum,
meremas jemari penuh khianat. Mataku
basahi mimpi tak usai. Mati dalam ilusi.

2019

Catatan:
Puisi ini merupakan tafsir bebas dari lagu ‘Stairway to Heaven’ Led Zeppelin

 

Roda Gila

/1/
Hidup di dunia kacau, kita tiba-tiba berubah. Topeng
melekat di wajah, berganti peran tergantung suasana.
Kepalsuan pagi hingga malam tiba.

/2/
Kelas riuh canda tawa, jiwa muda penuh riak gejolak.
Di mana akhir semua ini? Pemberontakan tak berujung,
harapan orang tua membayang di tubuh rapuh.

/3/
Rumah tak lagi tempat bahagia. Kebohongan tiap
detik jadi nyata, meja makan sepi tanpa percakapan;
pelukan kekasih menunggu di ujung kenangan.

/4/
Lubang kosong, di sana ada cinta kini telah pergi.
Tuhan tinggalkan jejak di hati luka, tergambar di batin
tertekan, kegilaan di dinding rumah sakit jiwa kota.

/5/
Kuingin pasar malam, pemberani dekati maut tanpa
takut mati. Lingkaran deru mesin, tangan melambai
riang, degup jantung kudengar merdu. Hiburan kita.

2019

 

Suara Sunyi

Mencari sunyi ke sudut dunia
Aku temui kegelisahan abadi

Tak ada tempat yang aman
Tak ada nyanyi kedamaian

Pada saatnya semua mati
Memeluk sepi atau delusi

Di pulau kian beranjak sesak
Penuh manusia gila meraja

Aku mendengar tangis sepi
Suara mengantarmu ke tepi

Benarkah engkau telah tiba
Atau tersesat di jaring laba

Kita tak pernah akan sampai
Sebelum jalan berubah terjal

Di mana sunyi itu sebenarnya?
Benarkah ia ada atau tak ada?

Kelana tanpa peta jalan pulang
Kelayapan di jalan jelang petang

Pulanglah! Pulang ke rahim ibu!
Di sana kau temukan asal sejati

2019

 

Telepon Orang Rantau

Kudengar ia menelepon, kabar pagi ramai
pembeli. Suami bertingkah, sering keluar
malam, mabuk entah di mana untuk apa.

Kota ini makin sesak, persaingan terasa di
lembar rupiah makin murah. Banyak orang
depresi, hidup dalam ilusi tak henti-henti.

Tak ada pendatang, sebenarnya. Pulau
dulu sepi, dua samudera sulit dilalui hingga
rombongan penjajah jumawa berdatangan.

Kita pun terbuai sebutan mereka. Pagi
ujung dunia, surga para pelancong juga
penjahat. Tuhan saksikan semua ini

Mata curiga kutemui, eksodus dalam bus
pengap asap rokok. Senyum tak lagi hiasi
penghuni rumah, tak ada tawa berderai.

Obrolan hidup, bersama nomor rekening
memanggil; tak bertanya kabar, makan apa
hari ini, atau justru lapar tak ada beras.

Cinta kita hanya soal pulsa. Perbincangan
semu ditutup pemanis bibir. Telepon terus
berdering, menyala suka duka tanah asing.

2019


I Ketut Angga WijayaTentang Penulis: I Ketut Angga Wijaya, lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Mengawali karir kepengarangan sebagai penulis puisi sejak SMA tahun 2001 saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya di kota kelahirannya, tempat ia menimba banyak ilmu pada Nanoq da Kansas, guru pertama yang mengajarinya menulis, bermain teater, membaca kehidupan, dan melihat dunia dari sisi lain.

Melanjutkan studi ke kota Denpasar, ia tetap menulis puisi, mengisi lembar sastra-budaya koran lokal dan membawanya pada banyak perhelatan sastra, di antaranya Festival Sastra Internasional (2003) yang digagas Komunitas Utan Kayu, Jakarta dan jejaring komunitas sastra di Bali. Ia juga menekuni esai sejak 2008, saat menjadi wartawan tabloid budaya di Denpasar dan kolumnis koran Independent News yang memberinya ruang berekspresi dan mengasah mata pena serta kemampuan menulisnya.

Sempat kuliah di Program Studi Antropologi Budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana selama lima tahun, tak rampung karena penyakit mental skizofrenia mendera di ujung studi membuat ia berada di titik nol kehidupan. Ia terselamatkan berkat cinta dan dorongan kekasih yang membuatnya bangkit, kembali berkarya dan bekerja di Denpasar. Perkenalan dengan seorang psikiater membuatnya bisa pulih, bersama kawan-kawan senasib membangun Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Bali yang kini menjadi garda depan pemberdayaan Orang dengan Skizofrenia di Bali dan aktif mengedukasi masyarakat terkait isu kesehatan mental.

Sejak awal 2018 ia telah menerbitkan 5 (lima) buku kumpulan puisi, Catatan Pulang (Pustaka Ekspresi, 2018), Dua Kota Dua Ingatan (Penerbit Basabasi, 2019), Taman Bermain (Purata Publishing, 2019), Notes Going Home (Pustaka Ekspresi, 2019) dan Tidur di Hari Minggu (Mahima Institute Indonesia, 2020) serta buku kumpulan esai Masa Depan Itu Nisbi (Pustaka Larasan, 2020) dan buku kumpulan artikel Aku Tak Lagi Mendengar Bisikan Suara (Penerbit Megalitera, 2020)

Ia meyakini menulis adalah medium terapi dan katarsis, membawanya menemukan diri dan kembali menyusun kepingan diri yang dulu pernah hilang. Selain penulis, sehari-hari ia bekerja sebagai wartawan dan pembina ekstrakulikuler jurnalistik sebuah SMA di Kuta, Badung, Bali.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button