Penetapan 41 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan kondisi kegentingan demokratisasi dan tata pemerintahan lokal. Fakta ini sejatinya menjadi pelajaran bagi Pemerintah dan Partai Politik agar tidak bermain main dengan jabatan yang diemban.
Dosa Besar Pertama
Dosa besar pertama adalah dikorbankannya demokratisasi lokal. Padahal proses demokratisasi yang sejak era reformasi kita nikmati melalui UU No 22 Tahun 1999 bukanlah tanpa perjuangan. Di masa Orde Baru hampir tidak mungkin kita mengimpikan proses demokrasi dapat berjalan dengan begitu baik sejak tingkat desa hingga pusat. Hampir tidak mungkin masyarakat berharap dapat memilih pemimpinannya sendiri. Apalagi melalui Pemilukada secara langsung. Semua pemimpin sejak tingkat Gubernur, Bupati, Walikota adalah penugasan dari barak militer.
Tersangkanya 41 anggota dewan dan sejumlah eksekutif mengorbankan proses demokrasi lokal yang sedang kita tanam. Masyarakat pada akhirnya tidak lagi percaya pada proses demokrasi lokal. Dekan FISIP UB, Unti Ludigdo mengatakan, prasyarat mutlak dari sebuah demokrasi adalah tingkat kepercayaan dan partisipasi publik. Jika pemilih walikota dan wakil walikota beberapa waktu lalu hanya diikuti oleh 66% warga Kota Malang, akibat 18 anggota dewan ditetapkan sebagai tersangka, lalu berapa persenkah masyarakat yang akan menggunakan hak pilihnya jika anggota dewan yang menjadi tersangka kini 41 orang?
Dosa Besar Kedua
Dosa besar mereka yang kini menjadi tersangka atau yang belum terjerat (tapi terlibat) adalah karena proses desentralisasi lokal menjadi terganggu. Di bulan-bulan ini harusnya anggota dewan bersama eksekutif berada dalam suatu sidang terhormat (paripurna) mendengarkan LKPJ Walikota (fungsi pengawasan), menetapkan Perubahan APBD (Fungsi penganggaran), dan menetapkan sejumlah Peraturan Daerah yang mendesak untuk disahkan (fungsi legislasi).
Pada fungsi penganggaran, menurut Pengajar Ilmu Pemerintahan dan Pasca Sarjana Fisip UB, Lukman Hakim, yang idealnya didahului dengan fungsi perencanaan, ada sejumlah pembahasan dokumen yang sejatinya dilakukan; diantaranya adalah penetapan RKPD, KUA, PPAS, dan RAPBD untuk tahun yang akan datang, sebagaimana ditegaskan di dalam UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Pasal 13- Pasal 21). Namun semuanya tidak dapat berjalan.
Absennya beberapa tahapan perencanaan penganggaran ini tidak saja terkait dengan legalitas sejumlah dokumen daerah tersebut. Akan tetapi yang lebih besar adalah mengguncang fondasi desentrasi lokal yang sudah kita letakkan secara bersama-sama. Yang didalamnya mensyaratkan proses desentralisasi sekaligus menjamin partisipasi masyarakat melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrembang). Sebagaimana ditegaskan di dalam konsideran UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah “Bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Semua kata kunci yang ada di dalam konsideran UU Pemda seperti; kesejahteraan rakyat, mempercepat pelayanan, pemberdayaan, dan menjamin peran serta masyarakat di dalam proses perencanaan pembangunan nyaris tidak dapat berjalan.
SERUAN
Pertanyaan ini menjadi kegelisahan kita Bersama. Sebagai insan akademika yang masih percaya dengan proses demokratisasi lokal dan desentralisasi pemerintahan.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya menghimbau:
- Pemimpin Partai Politik yang telah mendudukan wakilnya di DPRD untuk segera melakukan pergantian antar waktu (PAW) semua anggota yang kini telah resmi menjadi tersangka. Dengan demikian anggota baru diharapkan masih bisa menyelamatkan proses desentralisasi yang harusnya berjalan.
- Atas nama demokratisasi lokal dan desentralisasi meminta pada Kementerian Dalam Negeri untuk memberi waktu pada Pemerintah Kota Malang untuk dapat menyelesaikan tugas tugas perencanaan dan penganggaran
- Mengimbau pada semua lapisan masyarakat Kota Malang untuk tetap percaya dengan proses demokratisasi lokal dan desentralisasi pemerintahan sebab yang bersalah bukan sistemnya, melainkan orang orang yang ada di dalamnya.