Kabar

300 orang dari Asia Pasifik Ikut Peacebuilder Forum

Kegiatan IPBF Ini Bentuk Keprihatinan Atas Keterlibatan Perempuan pada Ekstrimisme Kekerasan

biem.co — Sejalan dengan kepedulian global akan pentingnya pendekatan gender untuk Prevention and Countering of Violent Extremism (P/CVE) Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan, The Asian Muslim Action Network (AMAN) bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) memprakarsai Indonesia Peacebuilders Forum (IPBF) 2019.

Agenda yang dilaksanakan di Malang pada 26 hingga 28 November 2019 ini dihadiri 300 perwakilan dari wilayah Asia Pasifik dengan beragam latar belakang mulai dari pembuat kebijakan, organisasi non-pemerintah, Perguruan Tinggi, media, sektor swasta, Badan PBB, lembaga ASEAN hingga pemimpin agama.

Ketua Pusat Kajian Perdamaian dan Konflik Fisip UB Mely Noviryani mengatakan diselenggarakannya kegiatan IPBF ini atas dasar adanya keprihatinan atas keterlibatan perempuan pada ekstrimisme kekerasan.

“Event IPBF 2019 digunakan untuk mempertemukan semua stakeholder: praktisi, akademisi, dan pembuat kebijakan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka dalam upaya menciptakan perdamaian dengan menggunakan pendekatan gender,” jelas Mely.

Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Kholifah, menyatakan kasus perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri, teurutama keluarga, memberikan alarming pada kita semua tentang lemahnya gender maintreaming dalam respon pemerintah dan non pemerintah dalam ekstrmisme kekerasan. Tampak nyata bahwa kelompok ekstrimis semakin lihai membangun narasi gender yang menimbulkan rasa pembebasan atau pemberdayaan, padahal secara nyata tubuh perempuan dipakai oleh kelompok teroris karena dianggap tidak berdosa (Innocent).

”Di sisi lain, dalam Resolusi 1325 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan di mana dalam resolusi pertama yang menyebutkan secara eksplisit tentang perempuan di bawah dewan keamanan,” ungkap Ruby.

Hal utama yang menjadi dasar PBB mengeluarkan hal tersebut, ungkap Ruby terdapat tiga hal.

“Pertama, terorisme dan extrimisme telah menjadi trend global, penting untuk diintegrasikan ke dalam pelaksanaan resolusi 1325. Karena ini menyangkut persoalan keamanan perempuan. Dilihat dari tiga konteks negara seperti Kenya, Nigeria dan Indonesia, tampak jelas bahwa perempuan kalau tidak dijadikan instrumen terorisme, mereka dijadikan target keamanan,”

“Kedua, dokumentasi tentang perempuan bekerja untuk CVE perlu dilakukan karena ini merupakan basis dari pengetahuan untuk menundukkan ekstrimisme dengan melibatkan peran perempuan secara signifikan,”

“Ketiga, distribusi pendanaan untuk masyarakat sipil menjadi penting. Mengecilnya sumber-sumber pendanan masyarakat sipil terutama dalam context CVE,” paparnya.

Menurutnya, persoalan extrimisme dan terorisme tidak cukup hanya direspon menggunakan resolusi 1325. Kenyataannya banyak perempuan dijadikan instrumen dalam radikalisasi baik sebagai bagian dari aksi teror maupun sebagai korban. Berdasarkan laporan dunia perempuan dijadikan instrumen oleh kelompok-kelompk teroris dan extrimisme.

”Dalam dokumen UN resolusi 2242 juga dijelaskan bagaimana media dan teknologi menjadi bagian penting dipakai oleh kelompok ekstrimis. Untuk itu, penting melakukan penguatan tentang program prevention dan resolusi konflik,” tegasnya.

Pengalaman dan pengetahuan tentang P/CVE dan pendekatan Gender serta ulasan tentang bagaimana pendekatan gender digunakan untuk menanggapi P/CVE, agar dapat menyusun strategi kebijakan dan intervensi di masa depan pada P/CVE.

”Indonesia Peacebuilders Forum 2019 merupakan upaya untuk menjadi platform di mana para praktisi, akademisi, pembuat kebijakan, dan sektor swasta dapat bertemu untuk mencerminkan dan mendorong pendekatan seluruh masyarakat dengan kepatuhan terhadap kesetaraan gender dan hak asasi manusia,” pungkasnya.

Senada dikatakan Wakil Dekan 1 FISIP UB, Siti Khofifah yang juga ketua panitia menjelaskan bahwa sejak tahun 2017 FISIP Universitas Brawijaya sudah bekerjasama dengan AMAN dalam upaya menciptakan perdamaian berbasis gender

“Beberapa kasus ekstrimisme di Indonesia melibatkan perempuan seperti kasus di Surabaya. Atau kasus perempuan menjadi tulang punggung keluarga setalah suaminya ditangkap karena menjadi terduga teroris. Jadi  perempuan harus mampu melindungi keluarganya baik secara ekonomi, psikologi, sosial dan budaya,” tutupnya. (*)

 

Editor: Irwan Yusdiansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button