biem.co — Kendati buta huruf, saya masih dapat ingat siapa nama aslinya. Sekira dua pekan lalu seorang yang bertugas-dinas ala mantri pasar meminta-lihat kartu pengenalnya, membacakan nama yang tertera dengan kehati-hatian misterius. Abdul Manan, nama itu, tak memiliki pekerjaan tetap, lebih sering bersiul-siul sembari memantau orang-orang berseliweran. Dan orang-orang di selingkungan gang sempit yang berdempetan dengan pasar itu kemudian menyebutnya Manan Codet. Bukan tanpa alasan, sebab memang ada seleret luka yang menyilang di bawah pelupuk mata hingga ia disebut demikian. Inilah kenang-kenangan bekas perkelahian saya dengan Jamal Kaleng, kenangnya seraya mengelus-elus bekas goresan belati itu.
Sementara mantri pasar itu, ah, saya tak ingat namanya. Saya lebih tertarik mengikuti Manan Codet ke mana pun melangkah, juga dengus napasnya, juga bau keringatnya yang nyaris seperti bau oli. Bau penjara dan bau penyiksaan mengekor dari tempat paling tersembunyi, pun bau-bau putus asa, memaksa si mantri pasar buru-buru minta pamit dan meninggalkannya.
Mengenai bau penjara dan bau penyiksaan, itu adalah cerita lama yang telah dikuburnya sendiri. Sungguh, saya tak pernah lagi menemui bau-bau itu, kecuali sedikit ingatan kala ia diseret dengan tangan terborgol ke belakang. Kala itu ia menurut saja, tak melawan, dan ia berterus terang telah membunuh mandor gudang beras di dekat pelabuhan. Kala itu juga ia menyuruh istri beserta anaknya yang berusia tiga tahun pulang ke kampung halaman. Sebelum naik ke mobil polisi ia sempat berbisik pada sang istri bahwa ia akan baik-baik saja selama sipir penjara memberinya makan tiga kali sehari. Sang istri tersenyum, lalu tak dapat menahan air mata yang berjatuhan mengenai rambut putranya.
“Mengapa Mama menangis? Papa mau kemana?” tanya si anak.
“Papamu hanya…eee…, Papamu akan menyusul kita ke kota plat F,” jawab sang istri.
“Ya, Nak, ikutlah Mama! Demi ini, lihatlah, Papa akan menyusulmu!” timpal Manan Codet sembari menunjukkan tatto bergambar Naruto di lengan kanannya.
“Janji?” si anak mengulurkan kelingkingnya yang mungil, dan Manan Codet tak bisa menyambut kelingking itu karena tangannya terborgol. Ia lalu mengangguk dan mengecup pipi serta kelingking si anak beberapa detik.
Maka kemudian dibuilah ia selama tujuh tahun berdasarkan putusan hakim. Ia tak merasai apa-apa kecuali rindu yang makin berlipat dan menyesakkan rongga dada. Ia tabah. Tak berulah. Dan demi apa saja, ia bebas lima tahun lebih cepat dari putusan hakim tempo hari. Dalam hatinya mengutuk sekaligus berterimakasih pada pejabat di kementerian hukum yang melepaskan para narapidana tersebab sebuah wabah yang membikin takut orang-orang di seantero bumi. Wabah itu, ah, saya pun tak paham bagaimana wujudnya. Dalam kelebatan pikiran saya, wabah itu hanya sekecil kepinding, atau malah lebih kecil dari bayi kepinding. Tapi mengapa ia dapat menumpas nyawa manusia? Brengsek betul!
Dan kembalinya Manan Codet—entah mengapa—membuat selera makan saya membaik, namun tak kurang membikin beberapa orang gentar dan ciut. Tapi siapalah Manan Codet, saya bahkan tak mengendus niat jahat pada pribadinya. Ia justru amat lugu kendati bertampang gahar dan pemberang. Atas alasan itulah saya mengikuti manusia yang terkucil dari kancah pergaulan itu. Saya dapat lihat bagaimana kemudian ia membangun rumah dari kardus-kardus bekas, asbes-asbes lawas, dan kayu-kayu limbah. Ia membangunnya di atas lahan kosong berumput ilalang yang berletak tigaratusan meter dari rumah kontrakannya dulu. Tanpa peduli pada cibiran orang-orang, ia membangun istana kardus itu seorang diri, menempatinya seorang diri, dan memikirkan sendiri cara bertahan hidup.
***
Jamal Kaleng dibikin seperti kebakaran jembut oleh penolakan Manan Codet tadi malam. Betapa tidak, ia telah datangi lelaki itu secara baik-baik, membawakan tiga botol bir, dan menghaturkan pelukan selamat datang atas kembalinya dari penjara, namun tak memperoleh balasan sepadan. Selain menolak bergabung dengan serikat perampok yang diketuai Jamal Kaleng, Manan Codet juga melontarkan kata-kata sengak yang menjatuhkan martabatnya sebagai preman paling disegani di wilayah itu. Saya ingat begaimana pertemuan mereka di istana kardus yang sering saya pakai berteduh,
“Ada apa kalian menyerbu gubuk saya?” tanya Manan Codet.
“Saya bersyukur kau sudah bebas, Manan. Saya hendak menawarimu kerjasama. Sudah tentu kerjasama ini menguntungkan,” ucap Jamal Kaleng.
“Jadi begal? Garong? Rampok? Jadi jongosmu? Pesuruhmu?” tuduh Manan Codet dengan mata waspada.
“Bukan pesuruh, eee… partner, lebih tepatnya.”
Manan Codet menyeringai selepas mendengar jawaban itu.Ia diam beberapa saat sebelum berucap, “Tidak. Terima kasih.”
“Memang kau mau makan dari mana? Dalam keadaan seperti ini banyak warung dan pasar tak menerima pekerja. Kau mau makan dari mana?”
“Punggung saya masih kuat memanggul beras. Tak perlu khawatirkan saya.”
“Kau mau jadi kuli angkut di gudang beras lagi? Bunuh orang lagi?” celetuk Jamal Kaleng.
“Cukup, Jamal. Sebaiknya pergilah dari sini!” sambar Manan Codet dengan mata memerah.
“Niat saya baik belaka, Manan. Apa yang mau kau pertahankan dari kehidupan yang serba tak tentu ini? Toh, kau sudah membunuh orang.”
“Saya tak mau mempermalukan leluhur saya dengan merampok, terlebih di masa wabah begini. Kakek buyut dari kakek buyut saya adalah Jaka Sembung, kau tahu, ia hanya merampok penjajah dan orang-orang serakah.”
Jamal Kaleng beserta lima anak buahnya tergelak mendengar pernyataan itu. Dianggapnya Manan Codet mulai sinting.
“Dengar, Jamal, saya lebih suka mengencingi mukamu daripada ikut merampok. Tak tahukah kau bahwa tawamu itu membikin najis gubuk saya? Cuih!” Manan Codet meludah tepat di kaki Jamal Kaleng.
Salah seorang anak buah Jamal Kaleng bereaksi cepat. Hendak dipukulnya Manan Codet, namun Jamal Kaleng mencegahnya dengan isyarat tangan. Jamal Kaleng tahu betul bahwa Manan Codet amat mahir bela diri. Perkelahian di antara mereka sering berakhir seri. Dalam pertandingan catur pun sering berbuntut remis dengan sama-sama menyisakan bidak raja. Dan dalam pertemuan itu ia tak mau membuang-buang tenaga maupun membiarkan anak buahnya terbebat perban rumah sakit. Demikianlah kemudian Jamal Kaleng mengajak anak buahnya kembali ke markas dengan perasaan campur aduk.
“Mengapa Abang tidak membunuhnya saja?” tanya salah satu anak buah Jamal Kaleng suatu malam.
“Saya berhutang nyawa padanya. Saya tak boleh membunuhnya.”
“Bagaimana ceritanya, Bang?”
“Kau tak perlu tahu.”
Suasana di markas itu kemudian berubah sunyi. Jamal Kaleng tiba-tiba resah tatkala memandangi langit hitam.
“Apa rencana Abang sekarang?” tanya anak buah yang lain.
Jamal Kaleng tergeragap. Ia bangkit dari kursi malasnya, mereguk habis bir di kaleng bekas susu kental manis, lalu disuruhnya anak buah itu memanggil semua anggota serikat.
Beberapa menit kemudian terkumpullah dua puluh orang, duduk mengepung Jamal Kaleng yang berada di tengah. Masing-masing dari mereka kemudian menerima masker untuk antisipasi wabah.
“Agar tak salah sasaran, saya memberi gambar tengkorak hitam di masker itu. Kalian harus tetap hati-hati dan jangan sampai merampok teman sendiri!”
“Tapi, mengapa maskernya berwarna merah jambu, Bang?” keluh salah satu anak buah.
“Eeee…@#$%^&*?…,” Jamal Kaleng mendadak gagap seketika.
***
Sembari mendekatkan makanan ke mulut saya, ditepuk-tepuknya punggung saya. Saya mencicipi makanan itu, lalu melahapnya karena memang klop dengan lidah saya.
“Saya mau pulang, Mia. Saya titip gubuk ini padamu,” ucapnya tiba-tiba.
Saya dibikin tercekat oleh ucapan itu. Betapapun hasratnya pulang telah membuncah, saya yakin ia tahu bahwa saya tak menghendakinya pulang. Saya yakin ia tahu bahwa saya menghendakinya tetap di gubuk hingga wabah C-19 berakhir. Namun ia tak peduli, ia tetap berangkat ke terminal dengan mengayuh sepeda dan memesan sebuah bus menuju kota plat F. Kayuhan yang sunyi itu membikin saya terharu, hingga lama-lama saya seperti tak punya selera makan.
Di gubuk bekas Manan Codet ini kemudian saya dapat lihat aktivitas Jamal Kaleng beserta anak buahnya. Mereka mengais harta dan benda secara besar-besaran selama beberapa pekan. Berkat perdebatan dengan Manan Codet juga ia akhirnya hanya mau merampok orang-orang kaya. Ia pernah sekali-dua membunuh pegawai bank, namun polisi tak menemukan barang bukti maupun saksi yang jadi alasannya masuk bui. Maka ia makin gencar. Ia perluas pula wilayah merampoknya; dari yang semula hanya level kelurahan menjadi level kecamatan.
Ia yakin dengan kata-katanya yang terlanjur diyakini pula oleh anak buahnya, bahwa di masa wabah Covid-19 ini polisi-polisi mendadak dungu dengan prioritas mereka membubarkan kerumunan daripada menangkapi perampok. Lagipula kementerian hukum amat sembrono membebaskan semua tahanan dari penjara. Namun kian hari keyakinannya itu kian meleset. Jumlah anak buahnya yang semula dua puluh menyusut menjadi sepuluh. Ia merana, tentu saja. Anak buah-anak buah itu, yang sebagian tertangkap basah saat mencuri setandan pisang dan sekarung gabah dan sebuah sepeda mini, tinggal nama setelah diamuk massa.
Jamal Kaleng mesti berkabung sekurang-kurangnya tiga hari. Dengan sisa keberanian kemudian ikut beraksi. Ia bersama seorang anak buahnya yang bernama Rudi Karbit mendatangi rumah mewah di sebuah perumahan di sekitar sungai C. Ia menodongkan pistol-pistolan, sedangkan Rudi Karbit dapat menghunuskan belati kapan saja ke dada korbannya. Dengan cepat mereka kemudian memperoleh sekotak perhiasan dan uang ratusan juta. Setelahnya tentu mereka akan mabuk di markas, lalu mengundang kawanan serikat rampok yang masih luntang-lantung atau mengincar ibu-ibu muda yang tengah berbelanja di supermarket.
Tapi saya pikir itulah rezeki terakhir Jamal Kaleng dan komplotannya, sebab seminggu kemudian suasana di gubuk ini terasa berbeda. Saya dapat mendengar letupan pistol dan suara kaki-kaki yang berkejaran. Jamal Kaleng berbelok ke sebuah gang lalu ke rumahnya demi mengambil jimat yang lupa ia kenakan lagi seusai mandi sore. Ia membangunkan istrinya yang pulas dan mendengkur di sofa ruang tamu. Sementara tembakan di luar telah melumpuhkan anak buahnya yang bernama Yuda Emprit.
“Kau lihat jimat saya, Nah?” tanya Jamal Kaleng pada istrinya.
Naharin, istri Jamal Kaleng, dengan mata mengantuk nyaris tak tahu apa-apa mengenai jimat itu.
“Jimat apa, Bang?”
“Jimat warna hitam, yang biasanya saya pakai jadi kalung,” jawab Jamal Kaleng dengan napas megap-megap.
“Di kamar mandi, barangkali.”
Jamal Kaleng mengacak-acak seisi kamar mandi, memeriksa gantungan handuk, membolak-balik tempat sabun, dan membuang habis air bak mandi. Namun nihil. Ia lalu lari ke kamar, membuka-bukai laci dan meraba-raba kolong ranjang, dan sama nihilnya. Ia kembali ke hadapan Naharin.
“Kau kemanakan jimat saya, Nah?” tanyanya dengan nada meninggi.
“I don’t know, Honey. I swear.”
“Sumpah?”
“Sungguh. Jangan-jangan…,” Naharin menjeda ucapannya sekira dua detik.
“Jangan-jangan?”
“Hanyut ke saluran pembuangan. Saya tadi lihat benda hitam itu pas lagi mandi. Astaga.”
“Kau yang menghanyutkannya?”
“Saya tak sengaja, Bang. Demi Tuhan.”
Jamal Kaleng sontak geram dan mendorong kepala istrinya hingga membentur tembok. Perempuan molek itu hendak membalas perlakuan suaminya, namun Jamal Kaleng buru-buru lari dengan perasaan bersalah. Suara letupan pistol masih terdengar memenuhi udara malam itu. Tiga orang polisi sedang memburu Jamal Kaleng yang nyata-nyata sedang bersembunyi di gubuk Manan Codet. Jamal Kaleng menendangi bokong saya setiba di gubuk, lalu mengusir saya, padahal rasa kantuk masih menggelayut di pelupuk mata.
Tak berapa lama sesuatu terjadi. Sehimpun cahaya putih dari langit menjatuhi gubuk kardus Manan Codet. Saya, maupun tiga polisi itu dibikin tertegun dan silau beberapa menit. Saat kemudian cahaya itu surut, tiga polisi itu berjalan mendekati gubuk. Mereka tak mendapati apa-apa kecuali sebuah botol kecap. Polisi itu pun pergi dengan kepala menerka-nerka keberadaan Jamal Kaleng. Tapi saya yakin, haqqul yaqin, bahwa botol kecap itu adalah Jamal Kaleng yang memperoleh kutuk dari langit. Entah mengapa saya demikian yakin.
Tak berapa lama Rudi Karbit memanggil-manggil Jamal Kaleng, tentu saja tak ada jawaban. Disibaknya gubuk kardus Manan Codet, hanya botol kecap yang mungkin saja menjawab dalam diam. Ia memanggil-manggil hingga suaranya serak, dan botol kecap itu masih diam. Saya memperhatikannya, lalu ia berbalik menatap saya. Ada kejengkelan dalam hatinya, lalu dilemparkannya botol kecap itu ke arah saya seraya menyerapah,
“Asu. Apa yang kau lihat, anjing? Pergi kau!”
Saya pun lari tanpa memerlukan menoleh pada Rudi Karbit atau botol kecap yang kesepian itu. Saya yakin suatu saat botol kecap itu akan dipungut oleh kolektor botol kecap yang penyayang dan bertanggungjawab. []
Tentang Penulis:
Hari Niskala, dilahirkan di Kabupaten Tulungagung. Tak banyak kegiatan berarti yang dilakukan, sebab duapertiga hidupnya sering dihabiskan di warung kopi untuk mencelotehkan hal-hal yang masih dapat dijangkau oleh nalar manusia. Juga sebulan sekali mencoba peruntungan dengan menjadi pengamen di gubuk maya sederhana bernama Sadha. Sejak empat belas tahun yang lalu mencoba sepenuh hati menggemari tim sepakbola Liverpool dan di waktu yang lebih luang menjadi pengagum tim sepakbola Juventus. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul Vita Brevis Suwung Longa (2020).