Kabar

Fisip UB dan AMAN Seminarkan RUU Masyarakat Adat yang Tak Kunjung Terealiasasi

MALANG, biem.co — Lima tahun lalu, komitmen politik yang dibangun oleh Presiden Jokowi dan Masyarakat Adat adalah mengesahkan RUU Masyarakat Adat, pembentukan Satgas Masyarakat Adat, meninjau ulang berbagai peraturan sektoral, membentuk mekanisme nasional penyelesaian sengketa dan konflik, melaksanakan Putusan MK 35/2012 dan memulihkan korban-korban kriminalisasi. Enam poin ini termaktub di dalam Nawacita. Namun, komitmen dan niatan mulia Presiden disandera oleh dinamika politik yang terjadi saat itu.

Atas dasar itu Universitas Brawaijaya (UB) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menyelenggarakan Seminar Nasional RUU Masyarakat Adat yang dihadiri oleh pembicara berkompeten di bidang adat, diantaranya Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi; Wakil Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KOMNAS HAM RI), Sandra Moniaga; Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2019 – 2024, Supratman Andi Agtas; serta Dosen Ilmu Pemerintahan dan Ketua Badan Penelitian dan Pengabdian FISIP UB, Muhammad Lukman Hakim.

Seminar yang  tang mengusung tema “Menakar Pemerintah Jokowi – Ma’aruf: Pentingkah RUU Masyarakat Adat” dilaksanakana di Aula Nuswantara FISIP UB Jalan Veteran, Malang, Jawa Timur, Jumat (29/11/2019), ini berupaya membincang seluruh problematika yang dialami masyarakat adat, menganalisis secara mendalam pasal per pasal dari RUU Masyarakat Adat, untuk kemudian dapat didorongkan menjadi program prioritas legislasi nasional.

Karena di dalam RUU Masyarakat adat ditegaskan bahwa Masyarakat Adat sebelum mendapatkan perlindungan dan pemberdayaan serta hak-haknya terlebih dahulu dilakukan proses pengakuan yang merupakan bentuk legalitas formal.

Setelah penetapan sebagai Masyarakat Adat maka Masyarakat Adat tersebut berhak mendapat perlindungan atas hak-haknya dan pemberdayaan. Diantara hak-hak Masyarakat Adat yaitu hak atas Wilayah Adat, hak atas sumber daya alam, hak atas pembangunan, hak atas spiritualitas dan kebudayaan, dan hak atas lingkungan hidup.

Selain itu dalam RUU juga mengamanatkan pembentukan Lembaga Adat, yakni Lembaga yang memiliki kewenangan untuk penyelenggaraan Hukum Adat dan adat istiadat yang berfungsi mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan Masyarakat Adat.

Dari hasil riset yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (BPPM) FISIP Universitas Brawijaya Tahun 2018 ditemukan setidaknya 24 Lembaga Adat di Jatim. Namun demikian di Masyarakat Adat Suku Tengger, Desa Ngadisari Kabupaten Probolinggo yang tingkat adat istiadanya demikian kuat justru belum memiliki Lembaga Adat dikarenakan ketidakpahaman pemangku adat.

Karena itu RUU Masyarakat Adat ini juga mengamanatkan agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan anggaran yang memadai bagi pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan.

RUU ini juga mengatur larangan dan sanksi pidana terhadap perbuatan yang menghalang-halangi Masyarakat Adat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan maupun sumber daya alam.

Dari sisi subtansi RUU ini sekalipun masih terdapat sejumlah kekurangan akan tetapi cukup memadai untuk dapat memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat, sekaligus menata ulang hubungan antara Masyarakat Adat dengan negara di masa depan dengan mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, menjunjung tinggi hak asasi manusia, perlakuan tanpa diskriminasi, dan pro lingkungan hidup. (*/red)

Editor: Irwan Yusdiansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button