Masyarakat bertanya? apa tujuan pembangunan Kotaku atau dikenal (Kota Tanpa Kumuh) menjadi program pemerintah pusat ini jika tidak ada aktifitas produksi didalamnya?
Apakah rencana pembangunan Kotaku sudah tepat berdasarkan masukan dari masyarakat?
Atau usulan diatas meja saja agar anggaran terserap?
biem.co – Penulis sangat menyayangkan program pembangunan Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) Teluk Labuan dalam hal kegunaan dan pemanfaatannya tidak berfungsi. Dari mulai jalan, drainase, taman badak, TPS3R juga tidak berfungsi dan sudah mulai jorok, kumuh, dan tak beradab.
Bagaimana caranya pemanfaatannya?
Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku)?
Wilayah Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, diguyur dengan program Kotaku Tanpa Kumuh oleh pemerintah pusat. Melalui Kementerian Umum Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Cipta Karya, pemerintah pusat menganggarkan sebesar Rp17 miliar untuk menjalankan program tersebut.
Program Kotaku merupakan salah satu upaya untuk mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan target penanganan kumuh seluas 10.000 Ha. Pada RPJMN sebelumnya, program ini telah berkontribusi dalam target penanganan kumuh tahun 2015-2019 seluas 23.962 Ha dari target 23.656 Ha.
Pemerintah Kabupaten Pandeglang menetapkan Kawasan Labuan 1 sebagai lokasi prioritas penataan Tahun 2022. ncana penataan kawasan Labuan-1 ini terletak di Desa Teluk dengan luas 10.86 Ha, Desa Labuan 3,35 Ha dan esa Cigondang 3,12 Ha. Total Kumuh Kawasan: 17.33 Ha.
Pemerintah Kabupaten Pandeglang menetapkan penanganan jalan, drainase, JPO dan persampahan sebagai prioritas kegiatan skala kawasan. Hal ini berdasarkan belum optimalnya penanganan sampah akibat ketidaktersediaan insfrasruktur pengelolaannya untuk mengatasi permasalah tersebut, pemerintah berencana membangun fasislitas jalan, drainase, JPO (Jembatan Penyebrangan Orang) dan TPS-3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce Reuse Recycle) berikut infrastruktur pendukungnya seperti akses jalan, drainase yang berpotensi menimbulkan dampak social, ekonomi, dan lingkungan yang berlokasi di Desa Teluk Kecamatan Labuan Provinsi Banten.
Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) adalah program peningkatan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di kawasan kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya pemukiman perkotaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan.
Tujuannya dapat mengurangi atau menuntaskan luas pemukiman kumuh dengan cara berkolaborasi dalam penanganan kawasan kumuh dari berbagai stakeholder. Dengan harapan meningkatnya akses masyarakat terhadap infrastruktur, adanya peningkatan ekonomi masyarakat, menurunnya luasan pemukiman kumuh, penerima manfaat luas dengan kualitas infrastruktur. Pendekatan kegiatan untuk penanganan kumuh dilakukan melalui kegiatan skala lingkungan dan skala kawasan.
Di tengah kondisi pascapandemik tersebut seharusnya kegiatan pelatihan vokasi pemberdayaan turut hadir untuk mengurangi dampak ekonomi dan sosial, serta untuk meningkatkan keterampilan dan kompetensi masyarakat dalam rangka mendukung pelaksanaan infrastruktur kegiatan skala lingkungan, skala kawasan, dan padat karya bagi masyarakat yang terdampak.
Salah satu hal terpenting dalam Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) adalah peningkatan kapasitas. Karena secara tidak langsung, peningkatan kapasitas akan mengantarkan kepada tercapainya tujuan program secara maksimal. Peningkatan kapasitas bertujuan membangun gerakan bagi pemerintah daerah (pemda) dan masyarakat melalui perubahan perilaku kolektif dalam kegiatan pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman.
Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) dapat diukur dengan, pertama, pemahaman terkait Pemelihara dan Pemanfaatan (KPP) kedua, kegiatan infrastruktur yang dibangun sesuai dengan standar teknis dan berfungsi dengan baik. Dan, ketiga, operasional dan pemeliharaan berjalan dengan baik.
Sejatinya program Kotaku adalah program yang langsung dikerjakan oleh masyarakat melalui BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) dan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dan beberapa perangkat lainnya seperti KPP (Kelompok Pemelihara dan Pemanfaatan).
Jika ditafsir lebih jauh, maka program kotaku ini secara struktural BKM tingkat kelurahan/desa dipelopori oleh masyarakat yang terpilih melalui tingkat RT/RW, dan melalui KSM untuk mengelola paket pengerjaan sesuai permintaan dan denah kumuh yang telah dipantau oleh masyarakat itu sendiri.
Jika bicara konteks program tersebut sangat bagus, yang keterlibatan masyarakat diberi kewenangan mengelola keuangannya sampai pengerjaan dilakukan, masyarakat menjadi sentral pemanfaatan dalam program tersebut karena paket pengerjaan ini tidak sistem lelang tapi pengerjaan dilakukan oleh KSM binaan BKM.
Catatan Kritik
Menurut penulis, setidaknya ada 3 (Tiga) prinsip-prinsip dasar membangun kotaku (Kota Tanpa Kumuh), yaitu: harus berorientasi pada masyarakat miskin, harus bertumpu pada pembangunan manusia, dan masyarakat harus terlibat secara aktif.
Pertama, Harus Berorientasi pada masyarakat miskin, Semua kegiatan yang dilaksanakan mengutamakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat miskin dan kelompok masyarakat yang kurang beruntung.
Kemiskinan merupakan masalah yang penting karena masih besarnya jumlah penduduk miskin dan kompleksnya masalah yang ditimbulkan.
Secara nasional kebijakan penanggulangan kemiskinan terkelompok dalam tiga cluster, yaitu sosial, pemberdayaan, dan usaha kecil. Cluster sosial ditujukan kepada rumah tangga miskin, seperti program raskin. Cluster pemberdayaan ditujukan kepada masyarakat miskin, seperti infrastruktur. Cluster usaha kecil ditujukan kepada pelaku usaha ekonomi lemah, seperti KUR.
Dengan harapan terjadi perubahan sosial. Perubahan sosial secara bertahap dari kondisi miskin dengan segala kekurangan menuju keberdayaan. Untuk memberdayakan masyarakat miskin ditempuh melalui perubahan perilaku/cara pandang (attitude/mindset), bersinergi dengan sesama, menyusun program bersama, dan melaksanakan pembangunan secara bersama-sama.
Kemudian dari kondisi berdaya menuju kemandirian. Untuk mencapai kemandirian ditempuh melalui kemitraan dengan pemerintah dan mengakses sumber daya lokal. Kondisi mandiri dimatangkan menuju kondisi madani. Untuk mencapai masyarakat madani ditempuh melalui pembangunan wilayah secara terpadu.
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan ini merupakan program pemberdayaan masyarakat dalam rangka menyiapkan fondasi yang kokoh bagi masyarakat untuk mampu menanggulangi masalah kemiskinan di wilayahnya secara mandiri dan berkelanjutan.
Seharusnya pendekatan yang dilakukan melalui swakelola pembangunan (dari, oleh, dan untuk masyarakat) sejak tahap gagasan/ide, perencanaan, pelaksanaan hingga pemiliharaan, yang diorganisasi melalui kelembagaan masyarakat yang representatif, mengakar, dan kokoh.
Melalui kegiatan tersebut diharapkan terjadi perubahan sosial baik secara individu maupun kelembagaan. Secara individu, masyarakat terlibat secara langsung dalam menanggulangi masalah kemiskinan. Keterlibatan ini memberikan wawasan dan pengalaman kepada masyarakat bagaimana merumuskan masalah serta memecahkannya.
Wawasan dan pengalamannya menumbuhkan kesadaran baru sehingga mereka peduli dan berpartisipasi memecahkan masalah di wilayahnya, baik menyangkut lingkungan dan ekonomi maupun sosial.
Kedua, Harus bertumpu pada pembangunan manusia, Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) adalah ikhtiar baru pemerintah untuk menuju kemandirian warga. Pembangunan manusia dari sisi keterampilan dan kemampuan SDM harus bersenyawa dengan pertumbuhan dan kemandirian ekonomi.
Pelaksanaan Kotaku senantiasa bertumpu pada peningkatan harkat dan martabat manusia seutuhnya. Perubahan sosial ini membutuhkan proses yang bersinambung dan melibatkan banyak pihak.
Perubahan ini dimulai dengan pemberdayaan manusianya melalui perubahan pola pikir dan perilaku. Hal ini dimulai dengan menanamkan nilai-nilai yang kemudian mengkristal menjadi kesadaran. Titik awal ini sangat krusial karena bila gagal, akan terjadi mobilisasi. Selanjutnya semua kegiatan akan hanya dipandang sebagai proyek (kegiatan). Dengan demikian, tidak terjadi perubahan sosial.
Ketiga, Masyarakat harus terlibat secara aktif. Dalam proses keterlibatan tersebut, masyarakat dibiasakan secara berkelompok sehingga tumbuh sikap saling percaya, bekerja sama, dan demokrasi. Karena kebersamaan masyarakat tersebut diwadahi dalam kelembagaan, maka secara bersamaan tumbuh kelembagaan masyarakat. Kelembagaan tersebut bukan hanya mewadahi masyarakat, melainkan juga telah menyinergikan masyarakat dalam memecahkan masalah dan menumbuhkan budaya demokrasi.
Partisipasi harus mempunyai landasan nilai-nilai ideal, kondisi ini merupakan modal dasar yang sangat bermanfaat dalam menperubahan masyarakat agar dapat mandiri dan berkelanjutan dalam menyelesaikan sendiri masalahnya. Kemandirian masyarakat tercermin dari kemampuannya berswadaya membiayai kegiatan.
Tantangannya sebagian masyarakat melihat Kotaku masih sebagai proyek pemerintah untuk membantu masyarakat sehingga kegiatan dianggap sebagai seremoni yang selesai setelah dilaksanakan, dana bergulir dianggap sebagai bantuan yang tidak masalah jika tidak dikembalikan.
Urun Saran
Kesejahteraan masyarakat, kemajuan masyarakat, dan kemandirian masyarakat tak akan terwujud manakala seluruh elemen masyarakat tak berpartisipasi dalam membangun daerahnya.
Jalan terjal membangun Kotaku tentu akan menjadi bagian dari dinamika masyarakat dalam mengawal perubahan, di mana sebelumnya desa hanya memikirkan kondisinya sendiri tanpa banyak memikirkan dan melakukan sinergi-koordinasi dan komunikasi dengan desa-desa lain atau desa tetangga yang secara geografis berdekatan.
Ke depan Pola pengawasan dalam Membangun Kotaku harusnya:
Partama, diserahkan kepada masyarakat secara langsung, pola aspirasinya harus bottom-up kaum miskin. Mulai garap ‘database’ dari identifikasi pengentasan kemiskinan sampai dengan pelaksanaan kegiatan.
Kedua, Pusat harus lebih banyak lagi melibatkan pemda, tidak sebatas sharing dana, tapi juga sharing prosesnya sehingga alih program akan lebih lancar. Pemkot/pemda harus mau terbebani dengan program-program pemerintah pusat, karena biasanya pemda/pemkot tidak terlibat secara langsung, semua diserahkan kepada masyarakat.
Ketiga, pentingnya pendekatan pemberdayaan, karena pengentasan kemiskinan memang harus dari masyarakat itu sendiri dan pemerintah (negara) sebagai fasilitator. Masyarakat harus didekati secara dialogis agar terjadi proses internalisasi (kepemilikan) program sehingga penerimaan program tidak sebatas kegiatan/proyek. (Red)
Eko Supriatno, penulis adalah Pengamat Sosial Politik, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.Pembina Future Leader for Anti-Corruption (FLAC).