BANTEN. biem.co – Ketahanan pangan semakin menjadi persoalan masyarakat dunia yang memerlukan pangan sebagai cara untuk bertahan hidup. Dalam menjaga ketahanan pangan di Indonesia, Pemerintah telah memperkenalkan program food estate sebagai solusi tepat bagi ketahanan pangan.
Food estate merupakan konsep pengembangan pertanian yang dirancang untuk swasembada pangan dalam mengantisipasi terjadinya krisis pangan yang di gagas oleh Presiden ke-7 Joko Widodo. Program ini juga ditujukan untuk membuat lingkungan pertanian dengan skala besar dengan teknologi modern dan manajemen yang terstruktur.
Namun, program ini tentunya masih memiliki pandangan pro dan kontra dari masyarakat. Sebagian masyarakat memiliki harapan bahwa program ini bisa meningkatkan produksi pangan nasional. Sedangkan beberapa kritik dari masyarakat menganggap program ini akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan, sosial dan ekonomi.
Pro: solusi inovatif terhadap ketahanan pangan
Program food estate ini akan menjadi peluang besar dalam menyelesaikan masalah ketahanan pangan. Dengan skala produksi yang besar, program ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada impor bahan pangan. Selain itu, penerapan teknologi modern dan irigasi terpadu yang mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas pertanian.
Selain itu, pengembangan food estate ini secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian hingga 34,4%, harga pangan lebih murah dengan produksi yang melimpah, dan terbukanya peluang ekspor pangan ke negara lain.
Proyek food estate ini juga dapat membuka lapangan pekerjaan karena membutuhkan banyak tenaga kerja, baik di bidang pertanian maupun sektor pendukung seperti infrastruktur serta pengolahan pascapanen. Besar harapan masyarakat program dapat membuka peluang bagi negara Indonesia dalam membangun sistem pangan yang lebih tangguh dalam menghadapi ancaman perubahan iklim.
Kontra: risiko terhadap lingkungan dan sosial
Dibalik program yang dibuat, tentunya akan selalu ada kritik sebagai bentuk kepedulian masyarakat agar program ini dapat dipertimbangkan dengan baik kedepannya. Salah satu kritik yang membuat masyakat tidak setuju adalah risiko kerusakan pada lingkungan, pembukaan lahan skala besar. Terutama di Kawasan hutan tropis seperti kalimantan dan Papua. Sehingga langkah ini sangat bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi karbon dan menjaga keberlanjutan ekosistem.
Selain itu, program ini membuat masyarakat beranggapan food estate dapat mengabaikan kebutuhan masyarakat lokal. Seperti di beberapa lokasi, masyarakat adat yang telah hidup secara harmonis dengan alam selama puluhan tahun ini tidak ingin mengalami ancaman penggusuran lahan. Tanpa kesepakatan dan keterlibatan masyarakat terkait, program ini bisa menimbulkan konflik sosial yang berkelanjutan.
Dari aspek ekonomi, memungkinkan ada risiko jika program ini lebih banyak memberikan keuntungan korporasi besar dibandingkan petani kecil. Jika tidak ada regulasi yang tepat dan transparan, ketimpangan ekonomi di sektor pertanian dapat semakin luas.
Tidak hanya itu, program food estate di Papua ini justru mengabaikan makanan pokok utama masyarakat disana, yaitu sagu. Wilayah yang seharusnya mendukung ketahanan pangan masyarakat, terutama di kawasan hutan papua, malah diubah menjadi lahan persawahan untuk menanam padi.
Dari penjabaran pro dan kontra terkait program food estate ini tentunya sebagai masyarakat memiliki harapan yang besar agar program ini bisa di tinjau ulang agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Pemerintah perlu mengedepankan aspek-aspek humanis, ekologi dan biologi keberlanjutan dalam menjalankan program ini.
Pada akhirnya, kunci keberhasilan food estate ini tidak hanya bisa dinilai dari jumlah produksi pangannya saja, tetapi perlu dilihat juga dampak bagi lingkungan, kesenjangan sosial dan ketahanan ekonomi masyarakat. Jika aspek-aspek tadi diperhatikan dengan baik, program yang bagus ini dapat menjadi langkah berkelanjutan untuk memajukan ketahanan pangan di Indonesia. Sebaliknya jika program ini di kelola dengan buruk dan tidak memperhatikan aspek lain, akan menjadi masalah baru bagi negara Indonesia kedepannya. (Red)