BANTEN, biem.co – Beberapa waktu lalu, wacana tentang mobil dinas dengan pelat nomor “RI 36” sempat mencuri perhatian publik. Polemik ini bukan hanya menyangkut siapa yang menggunakan mobil tersebut, tetapi lebih jauh lagi tentang bagaimana mentalitas dalam birokrasi Indonesia, terutama dalam pelayanan publik, yang seolah-olah masih dikuasai oleh budaya feodal.[1]
Kejadian ini mengajak kita untuk merenungkan lebih dalam tentang bagaimana seharusnya pelayanan publik dijalankan, serta menyelidiki sejauh mana sistem birokrasi kita benar-benar berorientasi pada masyarakat, bukan pada kekuasaan atau status pejabat.[2]
Feodalisme, meskipun telah lama berakhir sebagai sistem politik di banyak negara, seakan kembali hidup dalam berbagai aspek kehidupan sosial kita—terutama dalam konteks pelayanan publik.[3]
Dalam kasus mobil RI 36 ini, kita tidak hanya melihat seorang pejabat yang mendapatkan fasilitas istimewa, tetapi juga bagaimana mentalitas ini menumbuhkan kecenderungan untuk membedakan antara “yang layak dilayani” dan “yang tidak layak.”
Dalam banyak negara maju, seperti Swedia, para pejabat negara menggunakan transportasi umum tanpa perlakuan istimewa. Mereka menghormati prinsip kesetaraan yang menjadi dasar dari pelayanan publik. Namun, di Indonesia, kita masih menemukan beberapa pihak yang menganggap bahwa status mereka sebagai pejabat negara memberikan hak istimewa—termasuk pengawalan patwal yang melanggar ketertiban umum demi kenyamanan pribadi.
Bagi sebagian orang, pejabat memang seharusnya dilayani karena kedudukannya yang penting. Namun, kita perlu bertanya: apakah status ini berhak memisahkan mereka dari warga negara biasa dalam kehidupan sehari-hari? Apakah semestinya pengawalan khusus hanya diberikan kepada segelintir orang, sementara rakyat biasa harus merasakan kesulitan dan ketidaknyamanan? Di sinilah kita harus berpikir ulang tentang bagaimana seharusnya birokrasi berfungsi.
Etika Sosial[4] dalam Penggunaan Fasilitas Negara
Sebelum lebih jauh, mari kita cermati satu bagian dari polemik ini, yakni tindakan petugas patwal yang mengawal mobil RI 36. Dalam rekaman yang viral, terlihat jelas bagaimana seorang petugas patwal dengan keras menegur pengemudi taksi yang dianggap menghalangi jalan iring-iringan pejabat. Tindakan ini menimbulkan pertanyaan besar:
Apakah pengawalan tersebut benar-benar untuk kepentingan publik, atau hanya sekadar untuk kenyamanan satu orang, yang mengabaikan hak orang lain?
Korlantas Polri kemudian menegaskan bahwa tindakan petugas patwal tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebagai petugas yang memiliki tugas menjaga kelancaran lalu lintas, mereka seharusnya tidak hanya menjaga ketertiban jalan, tetapi juga memperhatikan hak-hak publik yang lain. Mengawal pejabat negara bukan berarti menyingkirkan hak warga negara untuk menikmati fasilitas umum dengan nyaman. Jika pengawalan ini justru mengganggu ketertiban umum, maka tujuan utamanya jelas tergelincir.
Polemik mobil RI 36 ini semakin berkembang saat Raffi Ahmad, yang diketahui sebagai pemilik mobil tersebut, memberikan klarifikasi. Meskipun ia tidak berada di dalam mobil saat kejadian, fakta bahwa mobil tersebut miliknya tetap memunculkan pertanyaan mengenai sejauh mana pejabat atau mereka yang memiliki fasilitas negara bertanggung jawab atas fasilitas tersebut. Bagaimanapun, fasilitas negara seharusnya digunakan dengan penuh tanggung jawab, bukan untuk kepentingan pribadi atau sekadar menunjukkan status.
Jika kita menilai lebih jauh, kita akan melihat bahwa mentalitas feodal dalam birokrasi kita sering kali mendorong pejabat untuk merasa berhak memperoleh perlakuan khusus. Hal ini justru bertentangan dengan semangat demokrasi dan egalitarianisme yang seharusnya diusung oleh birokrasi publik. Pejabat, sebagaimana dikatakan oleh Presiden Jokowi, haruslah menjadi pelayan rakyat, bukan malah dilayani oleh rakyat.
Feodalisme dalam Birokrasi
Feodalisme—sebuah sistem sosial yang mengutamakan hierarki dan status, di mana kelas atas mendapat perlakuan istimewa—seolah kembali menghantui birokrasi kita. Meskipun secara formal, sistem feodal sudah lama hilang dari kehidupan politik dan pemerintahan di banyak negara, dalam praktiknya, mentalitas feodal ini masih sangat kuat dalam struktur birokrasi Indonesia. Keberadaan mentalitas ini bukan hanya terlihat dalam pemberian fasilitas istimewa kepada pejabat negara, tetapi juga dalam cara pandang yang berkembang di kalangan masyarakat dan aparat birokrasi itu sendiri.
Dalam kenyataannya, jabatan atau status sosial sering kali memengaruhi kualitas pelayanan yang diterima seseorang—dan ini adalah sebuah masalah yang patut mendapat perhatian serius.
Feodalisme dalam birokrasi, dalam konteks ini, bukan hanya soal hak istimewa yang diberikan kepada pejabat negara. Lebih dari itu, ia menyangkut cara pandang atau mentalitas yang berkembang di masyarakat dan kalangan birokrat. Di banyak tempat, bahkan di dalam lembaga pemerintah, terdapat keyakinan bahwa status atau jabatan yang tinggi berhak memperoleh pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan warga biasa. Fenomena ini berbanding terbalik dengan nilai-nilai dasar negara kita, yang seharusnya mengutamakan kesetaraan dan keadilan dalam pelayanan publik.
Dalam sistem yang ideal, tidak seharusnya ada perbedaan perlakuan terhadap individu berdasarkan status sosial.[5] Baik itu pejabat negara, rakyat biasa, maupun kelompok minoritas lainnya, semua berhak mendapatkan pelayanan yang sama, adil, dan setara. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Kita sering melihat bagaimana pejabat negara mendapat perlakuan istimewa—baik dalam hal fasilitas, pengamanan, maupun akses—yang seharusnya bisa diakses oleh siapa saja dengan hak yang sama.
Mengapa fenomena ini terjadi? Salah satunya karena banyak orang dalam birokrasi yang masih terjebak dalam pandangan bahwa status mereka lebih tinggi dari orang lain. Sebagai contoh, pejabat negara sering kali dilayani dengan cara yang jauh berbeda, bahkan ketika mereka tidak sedang menjalankan tugas resmi. Mereka menggunakan fasilitas negara, seperti mobil dinas dan pengawalan, untuk kepentingan pribadi, yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam pelayanan publik.[6]
Birokrasi yang Melayani, Bukan Dilayani
Bagaimana seharusnya birokrasi kita berfungsi? Jawabannya jelas: birokrasi seharusnya melayani rakyat, bukan sebaliknya.
Dalam sistem pemerintahan yang ideal, pejabat dan aparat birokrasi tidak boleh merasa bahwa mereka lebih berhak mendapatkan perhatian atau fasilitas lebih dari warga biasa. Justru, mereka harus menjadi contoh dalam menjalankan nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan pelayanan publik yang maksimal. Jabatan dan status yang dimiliki oleh seorang pejabat seharusnya dilihat sebagai sebuah amanah, bukan sebagai hak untuk memperoleh perlakuan istimewa.
Penting untuk dicatat bahwa reformasi birokrasi bukan hanya tentang mengganti aturan atau sistem administrasi yang ada, tetapi juga tentang menggugah kesadaran seluruh lapisan birokrasi—baik pejabat maupun staf—untuk menghapuskan mentalitas yang mendewakan status dan jabatan. Jika birokrasi kita masih dikuasai oleh mentalitas ini, maka tujuan reformasi birokrasi itu sendiri akan jauh dari tercapai.
Reformasi birokrasi adalah agenda besar yang sudah lama digulirkan di Indonesia. Namun, reformasi ini seringkali terjebak pada aspek formal dan struktural, tanpa menyentuh inti dari permasalahan yang ada: mentalitas birokrat itu sendiri. Padahal, reformasi birokrasi seharusnya lebih dari sekadar perubahan struktur atau prosedur administratif. Reformasi yang sesungguhnya harus bisa membawa perubahan pola pikir di kalangan aparat birokrasi. Tanpa perubahan cara pandang yang mendasar, birokrasi kita akan terus dibayangi oleh mentalitas feodal yang mengutamakan status di atas prinsip kesetaraan dan keadilan.
Mentalitas feodal ini jelas menghambat pembangunan sistem pelayanan publik yang lebih baik. Ketika pejabat negara dan aparat birokrasi merasa bahwa mereka memiliki hak untuk diperlakukan secara istimewa, hal ini akan menciptakan ketimpangan dalam pelayanan publik.
Sebagai contoh, akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan bahkan infrastruktur sering kali lebih mudah didapat oleh mereka yang memiliki status tinggi. Di sisi lain, masyarakat biasa yang tidak memiliki akses ke dalam “lingkaran istimewa” ini seringkali harus menghadapi kendala yang lebih besar dalam memperoleh layanan publik yang memadai.
Reformasi birokrasi juga memerlukan dukungan dari masyarakat. Masyarakat yang sadar akan hak-hak mereka dalam memperoleh pelayanan publik yang adil dan setara dapat menjadi kekuatan yang sangat besar dalam mendorong perubahan. Selain itu, partisipasi aktif masyarakat dalam berbagai forum publik atau melalui kritik yang konstruktif terhadap kebijakan pemerintah dapat membantu memastikan bahwa birokrasi tetap berada pada jalur yang benar. Masyarakat perlu memahami bahwa hak mereka untuk memperoleh layanan publik yang baik bukanlah sesuatu yang istimewa atau hanya untuk segelintir orang. Seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan pelayanan publik yang efisien, adil, dan transparan—tanpa memandang status sosial atau kedudukan mereka dalam masyarakat.
Dengan kesadaran ini, masyarakat dapat menjadi bagian dari proses reformasi birokrasi yang lebih besar, yang pada akhirnya akan mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan melayani rakyat dengan tulus.[7]
Menuju Birokrasi yang Lebih Baik
Pada akhirnya, untuk mencapai birokrasi yang lebih baik, kita harus terlebih dahulu menghapus mentalitas feodal yang masih ada di dalamnya. Birokrasi yang berfungsi dengan baik adalah birokrasi yang benar-benar melayani rakyat, yang mengedepankan prinsip kesetaraan, keadilan, dan transparansi. Reformasi birokrasi bukanlah tentang membuat perubahan kosmetik dalam sistem, tetapi tentang perubahan mendalam dalam pola pikir dan cara kerja aparat birokrasi. Dengan begitu, kita dapat mewujudkan pemerintahan yang tidak hanya lebih efisien, tetapi juga lebih berkeadilan bagi semua lapisan masyarakat.
Perubahan ini memang tidak akan terjadi dengan cepat. Namun, jika kita terus bekerja sama, antara pemerintah, birokrat, dan masyarakat, kita dapat menciptakan sistem birokrasi yang tidak hanya baik di atas kertas, tetapi juga berdampak positif bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebuah birokrasi yang tidak hanya bekerja untuk rakyat, tetapi juga bekerja bersama rakyat untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan makmur.
Bung Eko Supriatno, penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.
DAFTAR PUSTAKA
- com. (nd). Feodalisme adalah sistem sosial politik, ini ciri-ciri dan praktiknya di Indonesia. Diambil dari https://www.liputan6.com/hot/read/5122386/feodalisme-adalah-sistem-sosial-politik-ini-ciri-ciri-dan-praktiknya-di-indonesia
- Ombudsman RI. (nd). Merajut reformasi birokrasi melalui pelayanan publik berkualitas. Diambil dari https://ombudsman.go.id/artikel/r/pwkinternal–merajut-reformasi-birokrasi-melalui-pelayanan-publik-berkualitas
- id. (nd). Feodalisme: Sistem sosial dan ekonomi yang berumur lama. Diambil dari https://www.melintas.id/pendidikan/343223489/mengenal-sistem-sosiopolitikfeodalisme-sistem-sosial-dan-ekonomi-yang-berumur-lama
- LAN RI. (2022). Urgensi etika administrasi dalam pelayanan publik. Diambil dari https://lan.go.id/?p=10680
- Ombudsman RI. (nd). Reformasi birokrasi, reformasi pelayanan publik. Diambil dari https://ombudsman.go.id/pengumuman/r/artikel–reformasi-birokrasi-reformasi-pelayanan-publik
- id. (2022, 17 Mei). Aset negara dan etika jabatan. Diambil dari https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/17/aset-negara-dan-etika-jabatan
- Ombudsman Republik Indonesia. (nd). Pengaduan pelayanan publik wujud partisipasi masyarakat. Diambil dari https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel–pengaduan-pelayanan-publik-wujud-partisipasi-masyarakat
[1] Feodalisme sebagai sistem sosial yang memberi hak istimewa berdasarkan status masih muncul dalam berbagai aspek kehidupan sosial Indonesia (Liputan6, nd). Feodalisme adalah Sistem Sosial Politik, Ini Ciri-Ciri dan Praktiknya di Indonesia . (nd). Liputan6.com. Diperoleh dari https://www.liputan6.com/hot/read/5122386/feodalisme-adalah-sistem-sosial-politik-ini-ciri-ciri-dan-praktiknya-di-indonesia
[2] Mentalitas birokrasi harus lebih berorientasi pada pelayanan publik dan bukan pada status atau kekuasaan pejabat negara (Ombudsman RI, nd). Merajut Reformasi Birokrasi Melalui Pelayanan Publik Berkualitas . (nd). Ombudsman RI. Diambil dari https://ombudsman.go.id/artikel/r/pwkinternal–merajut-reformasi-birokrasi-melalui-pelayanan-publik-berkualitas
[3] Meski feodalisme sebagai sistem formal telah hilang, pengaruhnya masih terlihat dalam birokrasi di Indonesia (Melintas.id, nd). Feodalisme: Sistem Sosial dan Ekonomi yang Berumur Lama . (nd). Melintas.id. Diperoleh dari https://www.melintas.id/pendidikan/343223489/mengenal-sistem-sosiopolitikfeodalisme-sistem-sosial-dan-ekonomi-yang-berumur-lama
[4] Penggunaan fasilitas negara harus mencerminkan tanggung jawab etika sosial, bukan untuk kepentingan pribadi (LAN RI, 2022). Urgensi Etika Administrasi dalam Pelayanan Publik . (2022). LAN RI. Diambil dari https://lan.go.id/?p=10680
[5] Birokrasi yang berfungsi baik harus mengutamakan pelayanan bagi masyarakat tanpa memandang status sosial (Reformasi Birokrasi, nd). Reformasi Birokrasi, Reformasi Pelayanan Publik . (nd). Ombudsman RI. Diambil dari https://ombudsman.go.id/pengumuman/r/artikel–reformasi-birokrasi-reformasi-pelayanan-publik
[6] Klarifikasi oleh Raffi Ahmad memperlihatkan perlunya tanggung jawab pejabat negara terhadap fasilitas negara (Aset Negara, 2022). Aset Negara dan Etika Jabatan . (2022, 17 Mei). Kompas.id. Diambil dari https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/17/aset-negara-dan-etika-jabatan
[7] Pejabat negara harus melayani rakyat dan tidak merasa dilayani oleh rakyat, sesuai dengan semangat demokrasi (Pengaduan Pelayanan Publik, nd). Pengaduan Pelayanan Publik Wujud Partisipasi Masyarakat . (nd). Ombudsman Republik Indonesia. Diambil dari https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel–pengaduan-pelayanan-publik-wujud-partisipasi-masyarakat