KampusOpiniTerkini

Quarter-Life Crisis: Salah Siapa?

Oleh: Zahra Chairunisa Liziqri, Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta

JAKARTA, biem.co – Tekanan hidup di usia 20-an bukan hanya soal kegagalan pribadi. Ada peran sistem, ekspektasi sosial, dan budaya banding-membandingkan yang ikut menyulutnya.

“Lulus kuliah bingung mau kerja apa. Sudah kerja, kok malah ngerasa salah jurusan. Teman-teman sudah tunangan, nikah, punya anak, kita masih mikirin besok makan apa?” Kalimat semacam ini banyak berseliweran di sekitar kita, sering kali saya juga merasakannya. memperlihatkan keresahan kolektif generasi muda yang sedang berada di usia 20-an—usia yang katanya ‘masa emas’, tapi malah terasa seperti ‘masa tersesat’.

Fenomena ini dikenal dengan nama quarter-life crisis, perasaan cemas, ragu, dan tidak punya arah dalam menjalani hidup, biasanya muncul di rentang usia 20–30 tahun. Tapi pertanyaannya: ini salah siapa?

Hidup di Titik Bingung

Quarter-life crisis adalah fase di mana seseorang merasa cemas, tertekan, dan kehilangan arah dalam hidup, biasanya terjadi di usia 20 hingga 30 tahun. Ini bukan sekadar fase malas atau manja seperti yang sering dicap generasi sebelumnya, melainkan tekanan nyata yang timbul dari banyak sisi ekonomi, sosial, hingga ekspektasi pribadi yang tak kunjung terpenuhi.

Salah satu pemicu utamanya adalah ekspektasi. Sejak kecil, kita dijejali gambaran tentang “hidup ideal” lulus tepat waktu, kerja mapan, punya rumah, menikah, dan sukses sebelum umur 30. Namun kenyataannya, dunia kerja tidak semudah itu. Banyak yang lulus justru merasa salah jurusan. Banyak pula yang bekerja tapi tidak merasa “hidup”. Ditambah lagi, media sosial menjadi cermin distorsi. Kita melihat teman sebaya terlihat ‘sukses’ dengan pencapaian mereka, lalu tanpa sadar membandingkan dan merasa gagal. Padahal, yang kita lihat hanya permukaan.

Kita abai terhadap akar masalah yang lebih besar. Generasi muda hari ini tumbuh dengan beban ekspektasi tinggi, harus sukses di usia muda, punya karier cemerlang, mapan secara finansial, dan bahagia secara emosional. Media sosial memperparah, pencapaian orang lain jadi tolok ukur diri sendiri, padahal tiap orang punya garis waktu berbeda. Banyak yang merasa ‘tertinggal’, padahal mereka hanya sedang berjalan di jalur yang berbeda.

Ditambah Pendidikan formal belum tentu menyiapkan kita untuk kenyataan hidup. Banyak yang lulus tanpa tahu apa yang benar-benar ingin dijalani. Pendidikan tinggi sering kali tidak membekali mahasiswa dengan keterampilan hidup dasar, seperti mengelola emosi, mengatur keuangan, atau menjelajahi potensi diri. Pasar kerja tidak ramah pada fresh graduate, Di sisi lain, pasar kerja meminta pengalaman dari lulusan baru yang bahkan belum diberi kesempatan untuk memulai. minta pengalaman kerja, tapi tidak beri kesempatan. Tekanan ekonomi, biaya hidup tinggi, sulitnya punya rumah, upah stuck, dan biaya hidup terus naik. Semua ini bukan “masalah pribadi”, tapi masalah struktural. Apakah adil jika quarter-life crisis dianggap sekadar drama anak muda?

Quarter-life crisis bukan berarti seseorang lemah. Justru, ini bisa menjadi momen refleksi paling jujur. Di tengah kebingungan itu, kita mulai bertanya: “Apa yang sebenarnya ingin aku lakukan dalam hidup?” Mungkin jawabannya tidak datang dalam semalam, dan tidak apa-apa. Yang penting bukan seberapa cepat kita ‘tiba’, tapi seberapa konsisten kita ‘berjalan’.

Masyarakat perlu mulai membuka ruang diskusi soal keresahan ini tanpa menghakimi. Kita butuh lingkungan yang suportif, bukan yang membandingkan. Kita butuh pendidikan emosional, bukan hanya akademik. Dan kita butuh waktu untuk memahami bahwa tidak semua orang berjalan di jalur yang sama. Karenanya fenomena quarter-life crisis juga telah menjadi perhatian sejumlah ahli psikologi dan sosiologi. Dr. Alex Fowke, seorang psikolog klinis dari University College London, menyebutkan bahwa quarter-life crisis adalah respons wajar terhadap masa transisi menuju kedewasaan yang kompleks. Dalam artikelnya di The Guardian, Fowke menjelaskan bahwa krisis ini biasanya melibatkan empat tahap: perasaan terjebak, keinginan untuk berubah, membangun kembali arah hidup, dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna. “Ini bukan disfungsi, tetapi fase perkembangan,” ujar Fowke.

Senada dengan itu, Dr. Meg Jay, seorang psikolog klinis dan penulis buku The Defining Decade: Why Your Twenties Matter, menekankan bahwa usia 20-an adalah masa kritis pembentukan identitas, relasi, dan karier. Dalam TED Talk-nya yang terkenal, Jay menyatakan bahwa tekanan yang dirasakan bukanlah hal remeh, dan justru penting untuk dihadapi secara serius. “Jangan percaya mitos bahwa usia 20-an hanya untuk bersenang-senang. Ini adalah fondasi dari sisa hidupmu,” ujarnya. Dengan kata lain, quarter-life crisis bisa menjadi momentum untuk tumbuh, jika direspons dengan kesadaran dan dukungan yang tepat.

Sementara itu, Elizabeth Cohen, seorang profesor psikologi perkembangan, mengaitkan quarter-life crisis dengan ketidakpastian sosial dan ekonomi yang semakin tinggi. Dalam jurnal Journal of Adult Development, ia menyebutkan bahwa meningkatnya pilihan hidup (career, pasangan, gaya hidup) justru bisa melumpuhkan, bukan membebaskan. Fenomena ini dikenal dengan istilah “paradox of choice” yang membuat generasi muda merasa takut salah pilih dan akhirnya stuck di situ.

Tidak Harus Tahu Semua Jawaban

Tak ada keharusan untuk sudah tahu semua jawaban di usia 25. Yang penting, kita terus bertanya dan melangkah meski pelan. Karena hidup bukan perlombaan, tapi perjalanan yang penuh liku, dan itu sah-sah saja. Jadi, quarter-life crisis bukan akhir, tapi mungkin, justru awal.

Jika kamu sedang berada di tengah kebingungan itu merasa tertinggal, tak tahu arah, atau sekadar lelah menjalani hari ingatlah bahwa kamu tidak sendiri. Quarter-life crisis bukan tanda bahwa kamu gagal, tapi bukti bahwa kamu sedang bertumbuh, mencari makna, dan berani menghadapi kenyataan. Daripada menyalahkan diri terus-menerus, penting untuk mulai bertanya, “Apa yang bisa aku lakukan hari ini, bukan besok?” Tak apa jika belum tahu tujuan besar hidupmu sekarang, yang penting adalah tetap bergerak, meski perlahan. Setiap orang punya waktunya sendiri, dan kamu pun akan menemukan jalurmu, pada waktunya. (Red)

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button