InspirasiKabar

Peneliti: Depresi dapat Dikenali dari Bahasa (Lisan dan Tulisan)

Lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia mengalami depresi.

biem.co Depresi adalah kelainan mood yang menyebabkan perasaan sedih dan kehilangan minat secara terus menerus. Depresi mempengaruhi perasaan kita, dari cara kita bergerak, tidur, bagaimana kita berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita, depresi bisa mengubah segalanya. Hal ini bahkan terlihat dalam cara kita berbicara dan mengekspresikan diri dalam tulisan.

Terkadang bahasa depresi”  bisa memiliki efek yang kuat pada orang lain. Lihat saja bagaimana dampak puisi pada lirik lagu; Wake me up when september end, Green Day; With or Without You, U2; Tears in Heaven, Eric Clapton; Someone like You, Adele; Fix You, Coldplay; bahkan lagu terakhir yang didengarkan Kurt Cobain, Moon of the Moon ditemukan masih menyala pada sebuah pemutar musik, saat ia ditemukan meninggal bunuh diri di kamarnya.

Para ilmuwan telah lama mencoba untuk menjabarkan hubungan yang tepat antara depresi dan bahasa, dan cara ini diharapkan dapat membantu setiap orang untuk mengetahui lebih jauh tentang gambaran depresi, agar mengenali gejalanya dan dapat mengatasinya sedini mungkin.

Studi yang yang diterbitkan pada Clinical Psychological Science, menginventarisir sebuah “kelas kata-kata” yang dapat membantu memprediksi secara akurat apakah seseorang menderita depresi atau tidak.

Menurut peneliti, sejauh ini, esai pribadi, opini, puisi, lagu-lagu yang kita dengarkan, dan catatan harian orang-orang yang mengalami depresi, telah memberikan wawasan, bahwa secara keseluruhan bahasa-bahasa tersebut mengungkapkan perbedaan yang jelas dan konsisten terhadap mereka yang terkena depresi atau tidak.

Isi (Content)

Bahasa dapat dipisahkan menjadi dua komponen: isi dan gaya (content and style). “Isi” berhubungan dengan apa yang kita ungkapkan, seperti makna atau pokok pernyataan. Ini tentu saja sangat mengejutkan, tidak ada yang pernah tahu bahwa (ternyata) kita yang memiliki gejala depresi cenderung menggunakan kata-kata yang berlebihan dan menyampaikan emosinya dengan negatif, khususnya kata sifat dan kata keterangan negatif, seperti “kesepian”, “sedih” atau “sengsara”.

Yang lebih menarik adalah penggunaan kata-ganti. Orang-orang yang memiliki gejala depresi lebih sering menggunakan kata-ganti orang pertama yang lebih signifikan, –seperti “saya“, “aku” dan “kami“– dan secara signifikan lebih sedikit menggunakan kata-ganti orang kedua dan ketiga -seperti “mereka“, “kalian” atau “dia“.

Pola pronomina ini menunjukkan bahwa penderita depresi lebih fokus pada diri mereka sendiri dan kurang tertarik kepada orang lain. Para peneliti telah menginventarisir bahwa “kata ganti” lebih dapat diandalkan dalam mengidentifikasi depresi daripada “kata-kata emosi negatif.”

Gaya (Style)

Berbeda dengan isi (content), gaya bahasa (style) berhubungan dengan bagaimana kita mengekspresikan diri. Peneliti mengatakan, “kata-kata yang menunjukkan besaran atau probabilitas, seperti ‘selalu’, ‘tidak ada’ atau ‘sama sekali’ ditemukan menjadi penanda yang lebih jelas daripada kata ganti atau kata-kata emosi negatif.”

Orang-orang yang memiliki dampak depresi akan memiliki pandangan hitam dan putih yang lebih banyak, dan ini terwujud dalam gaya bahasa. Peneliti menemukan bahwa kata-kata “emosi negatif” secara paradoks digunakan oleh orang-orang yang memiliki kasus kecemasan dan depresi.

Implikasi

Memahami bahasa ini tidak hanya dapat membantu kita memahami bagaimana orang yang memiliki gejala depresi berpikir, namun juga dapat memberikan implikasi praktis. Tentu saja, setiap kita dimungkinkan untuk menggunakan bahasa (isi atau gaya) yang terkait dengan depresi tanpa benar-benar mengalami depresi.

Pada akhirnya, perasaan kita lah yang dapat mengetahui bagaimana perasaan kita dari waktu ke waktu. Apakah kita mengalami depresi atau tidak. Akan tetapi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia, saat ini mengalami depresi. Tercatat, sejak tahun 2005, kasus ini meningkat lebih dari 18% setiap tahun.

Bagaimanapun, ini hanyalah cara menganalisa depresi. Kondisi ini tentu saja penting untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah bunuh diri tragis seperti yang dialami Cobain. (EJ)

Editor: Jalaludin Ega

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button