CerpenInspirasi

Serial Ramadhan: 30 Hari Menafsir Kehidupan (Bagian 13)

Episode Benar atau Pintar?

 

Baca juga kisah sebelumnya, di sini!

 

MATAHARI dalam perjalanan  ke singgasananya. Sinar-sinar hangat menyeruak di antara dedaun yang bergerak, menari pelan bersama angit sepoi. Adi tengah khusuk di atas sajadah pagi itu. Berdialog dengan Sang Pemilik Hidup usai shalat Dhuha dua rakaat.

 

Assalamualaikum…” suara yang amat dikenalnya menggema dari luar, disertai ketukan pintu beberapa kali. Rupanya Sahid telah datang usai berlibur di rumah neneknya.

 

"Waalaikum salam…" jawab Adi.

 

Sahid pulang diantar Ibu Aminah, orangtua Wardah. Mereka berasal dari Desa Sari Jaya, tempat di mana Wardah dibesarkan hingga kuliah di Universitas Nusantara Raya dan bertemu dengan Adi semasa kuliah dulu.

 

"Assalamualaikum…" ucap Ibu Aminah ketika Adi membukakan pintu menyambut kedatangan mereka berdua.

 

"Waalaikum salam, Bu…" balas Adi seraya mencium punggung tangan mertuanya sebagai rasa takzimnya kepada beliau.

 

Wardah yang sedang membeli sayur di ujung gang segera berlari menuju rumah begitu melihat kedatangan ibunya dan Sahid. Setelah masuk ke dalam rumah, Wardah langsung menyalami dan mencium tangan ibunya, lalu memeluk Sahid dengan penuh kasih sayang.

 

"Waduuh,anak ibu libur 12 hari aja hari aja makin gemuk, sahur dan bukanya makan banyak, ya?" canda Wardah sambil mencubit pipi sahid.

 

“Ah, Ibu… Sahid udah gede, jangan dicubit kayak anak kecil, dong" ujar sahid sambil berusaha melepaskan tangan Wardah dari pipinya.

 

"Ayo, udah, biarkan Ibu mau istirahat dulu, pasti cape karena sejak Subuh tadi di perjalanan," ucap Adi.

***

Mentari bertahta penuh. Sinarnya terasa menyengat kulit. Untungnya di pekarangan rumah mungil itu tumbuh beberapa pohon rindang. Adi dan Wardah tengah membersihkan rumah dan menata kebun kecil di halaman rumah mereka.

 

Azan Zuhur bergema dari Masjid Al Anshor, Adi menghentikan kegiatannya dan mengajak Sahid untuk melaksanakan shalat berjamaah di masjid.

 

Dalam perjalanan menuju masjid yang jaraknya kurang dari 300 meter dari rumah mereka, Adi berpapasan dengan Budiman, muridnya yang baru lulus dari SMA tempat Adi mengajar.

 

"Eeeh, Pak guru… assalamualaikum, Pak," sapa Budiman.  Segera diulurkannya tangannya ke arah Adi untuk bersalaman. 

 

Usai shalat, Adi, Sahid, dan Budiman duduk di teras masjid. Di luar terik sekali. 

 

"Kamu kemarin diterima di universitas mana?" 

 

"Belum, Pak, kemarin saya tidak masuk melalui jalur tanpa tes, namun sekarang sedang menunggu hasil SNMPTN yang beberapa hari lagi akan diumumkan," jawab Budiman, diceritakannya juga bahwa dirinya mendaftar ke beberapa perguruan tinggi favorit.

 

Budiman juga bercerita tentang cita-citanya untuk menjadi orang hebat, “Saya pengin jadi seseorang yang sukses secara materi sehingga menjadi orang terpandang dan dihormati, Pak,” ujarnya.

 

Mendengar obrolan antara Budiman dan bapaknya, Sahid tiba-tiba menimpali, “Emangnya kalau kuliah di perguruan tinggi yang hebat tadi, pasti sukses, ya, Kak?" tanyanya kepada Budiman.

 

"Tentulah, Dik, karena perguruan tinggi tersebut sangat terkenal, untuk memasukinya kita harus bersaing dengan banyak orang," cerita Budiman, “selain itu, orangtua kita juga akan bangga bila kita berhasil masuk di perguruan tinggi favorit tersebut, karena sudah dikenal para lulusannya sukses di dunia kerja," katanya pula.

 

Mendengarkan penjelasan Budiman, Sahid hanya bisa mengangguk-angguk sebagai tanda mengiyakan cerita Budiman.

 

Udara di luar mulai sejuk. Di langit terlihat awan bergerak beriringan, kadang menutup matahari, hingga sinarnya tak penuh sampai be bumi.

 

Akhirnya mereka bertiga berpisah di teras masjid. Budiman melanjutkan niatnya untuk menemui teman baiknya yang satu komplek dengan Adi. Sementara Adi dan Sahid berjalan pulang menuju rumah.

 

"Pak, Sahid juga pengin, ah, nanti bisa kuliah di universitas yang tadi Kak Budiman ceritakan," kata Sahid seraya menjelaskan kembali apa yang tadi Budiman sampaikan kepadanya.

 

"Iya boleh…” ujar Adi, "namun bagi bapak, lebih penting kamu menjadi orang yang benar ketimbang sekadar pintar sehingga bisa masuk ke universitas yang favorit tadi. Menurut bapak, hari ini orang pintar sudah teramat sangat banyak, sehingga kita bisa menyaksikan bagaimana silang pendapat yang meramaikan pemberitaan baik di televisi maupun koran."

 

"Maksud Bapak bagaimana? Kok lebih baik benar daripada pintar?" tanya Sahid kebingungan dengan pernyataan bapaknya.

 

"Begini, Nak…" Adi melanjutkan penjelasannya, "saat ini seperti yang dicita-citakan oleh Budiman tadi, kuliah hanya mengejar kepintaran akademik sehingga bisa sukses secara materi saja," Adi menghela napas sejenak.

 

"Padahal kehidupan ini tidak sekadar membutuhkan kepintaran akademik atau kemampuan otak untuk berpikir saja. Dibutuhkan juga mental yang baik untuk menjadi orang yang benar," ujar Adi sejurus kemudian. Adi bermaksud menjelaskan bahwa sebagai manusia bukan hanya kepintaran yang dibutuhkan, namun mental yang baik untuk berbuat sesuatu dengan benar. Karena kalau hanya pintar saja, sangat berbahaya tanpa memiliki pertimbangan hati nurani untuk berbuat benar.

 

"Kalau pintar itu urusan otak, sedangkan benar itu urusan hati dan jiwa," katanya lagi.  "Berapa banyak orang pintar dan menggunakan kepintarannya untuk berbuat curang untuk mencari keuntungan materi belaka, tanpa memikirkan kepentingan orang lain?" tanya Adi, tanpa berharap Sahid menjawabnya

 

Sahid yang masih belia tampaknya tidak mudah mencerna perkataan bapaknya tentang lebih pentingnya benar ketimbang pintar. Karena menurutnya, setiap anak harus sekolah itu bertujuan agar menjadi pintar, sehingga bisa meraih sukses baik di dunia maupun di akhirat.

 

Adi tersenyum melihat anaknya itu jadi terdiam. Dibiarkannya Sahid berpikir tentang katan-katnya. Mereka telah sampai di depan pagar rumah.

 

"Maksud bapak, seseorang harus boleh menjadi pintar, namun harus menjadi benar, karena yang menyelamatkan kehidupan kelak di akhirat adalah kemampuan menjaga prinsip yang benar," ucap Adi sembari mengusap kepala buah hatinya itu.

 

(Bersambung)


Penulis: Boyke Pribadi

Editor: Setiawan Chogah

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button