biem.co – “Cities, like dreams, are made of desires and fears, even if the thread of their discourse is secret, their rules are absurd, their perspectives deceitful, and everything conceals something else.” (Invisible Cities; Italo Calvino)
Sebuah kota yang sempurna hanya mungkin terjadi di dalam isolasi, dan isolasi hanya mungkin terjadi dengan paksaan. Maka kita tak dapat menikmati tata ruang—yang melulu berkorelasi dengan tata uang—di kota-kota yang bermutasi. Dan Banten, sebagai sebuah kota, pun telah bermutasi sedemikian rupa.
Di Banten Lama, seorang kawan yang saya ajak “berziarah” ke sana beberapa waktu lalu, menyampaikan kerisauannya sebab ia tak lagi dapat menemukan—atau sedikitnya merasakan—bahwa Banten pernah sampai ke puncak yang gilang-gemilang pada masa kejayaannya. Tak lagi ada kesakralan dalam berziarah di sana. Memang, di seputaran Masjid Agung Banten Lama itu, kini kita hanya bisa mendapati Surosowan yang lapuk dan nelangsa, kios-kios kumuh dengan para pedagang yang rewel menawarkan dagangannya, atau para peminta-minta yang sepertinya dirundung duka tak berkesudahan. Kesakralan, sekaligus keagungan Banten, tak lagi menguar dan dapat dibaui di sana. Dan berziarah, tampaknya memang telah lama menjadi hanya sekadar berbelanja. Sebuah transaksi ekonomi. Sebuah untung dan rugi.
Padahal, pada awal tahun 2007 lalu, ketika saya memutuskan untuk kuliah di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) dan “pulang” ke Serang, saya hanya mendapati sebuah mal di dekat alun-alun Serang: Mal Ramayana Serang. Sebuah mal yang konon telah menggusur salah satu bangunan bersejarah di kota ini. Namun kini, setelah tujuh tahun berselang, setelah Kota Serang memisahkan diri dari Kabupaten Serang, setelah saya lulus dari Untirta, —sementara saya masih kerasan tinggal “di sini”—, kota ini bermutasi sedemikian laju. Carrefour dan Mc-Donald mendongak angkuh di perempatan Ciceri; Giant merentang tegang di Sempu; Lotte Mart mengangkang di Kepandean; dan Mall of Serang terhampar di depan pintu tol Serang Timur. Kemajuan sebuah kota, seolah hanya ditandai—atau jangan-jangan dimaknai (?)—dengan hanya pembangunan gedung-gedung atau mal-mal megah. Dengan pusat-pusat transaksi ekonomi. Dengan hanya sebuah simulakra.
Di satu sisi, Banten pasca-provinsi, seakan terus mencari-cari identitas kebantenannya setelah sekian lama hanya menjadi bagian kecil dari Jawa Barat. Kesenian tradisi terus digali-gali meski dalam sunyi. Pakaian adat atau rumah adat yang tidak Banten miliki, dicoba dicarikan bentuknya yang paling sesuai sekaligus paling mewakili. Apalagi peresmian Balai Budaya Banten, yang salah satu fungsinya adalah mengakomidasi “kebudayaan” Banten itu, telah diresmikan pada 6 November 2012 lalu. Namun, di sisi lain, investasi-investasi yang terus menggelontor ke Banten—paling tidak ke Kota Serang—terus melakukan pembangunan gedung-gedung dan mal-mal. Semakin banyak gedung, semakin banyak mal, semakin kita terperangkap dalam simulakrum tak berkesudahan, dalam konsumerisme yang melingkar-lingkar.
Nah, saya pikir ada yang ironis pada bagian ini. Betapa, ketika identitas kebantenan itu tengah dicari, digali, atau dibentuk dengan kreasi, Banten malah tengah menjelma menjadi kota pada umumnya. Kota sembarang, kata Avianti Armand. Sementara itu, bukankah keumuman selalu beroposisi dengan kekhususan? Tentu. Tapi itu pun jika kita hendak percaya bahwa identitas kebantenan adalah suatu kekhususan yang tak dimiliki daerah lain, tak didapati di kota-kota lain.
Pada titik ini, saya jadi teringat pada sebuah perbincangan di malam-malam yang tak begitu tenang dengan Wan Anwar, salah seorang dosen di Untirta, beberapa tahun lalu. Bahwa kini, di Serang, orang-orang hanya bisa membicarakan derita nelayan yang kehilangan ikan-ikan tangkapan karena pasir laut terus disedot dengan rakus sembari mengunyah Pizza Hut, mencari solusi akan kemiskinan warga dan problematika TKW Pontang-Tirtayasa sembari menghisap cerutu di dalam hotel, atau membincangkan duka petani yang gagal panen dengan mulut penuh Hamburger, dengan lidah yang lebih hafal rasa salad tinimbang rasa lumpur. Kita berbicara di ruang-ruang ber-AC, di gedung-gedung, di mal-mal, dan selamanya berjarak dengan isi pembicaraan.
Mungkin, kita memang tak perlu membayangkan Banten menjadi sebuah kota yang terisolasi. Atau menjadi semacam Invisible Cities yang ditaklukkan dan dilaporkan Marco Polo kepada Kublai Khan dalam novel gubahan Italo Calvino itu. Kota-kota yang memiliki spesifikasi, keunikan, citra, khasanah, dan pesonanya sendiri-sendiri. Sekalipun, kata Calvino, kadang sebuah kota layaknya mimpi, dibangun dari hasrat dan ketakutan, dengan wacana yang disembunyikan, dengan peraturan yang absurd dan penuh kecurigaan, yang kesemuanya telah menyembunyikan sesuatu yang lain. Sesuatu, yang mungkin lebih bermakna bagi identitas sebuah kota.
Dan agaknya kita perlu khawatir jika Banten, kelak—meski saat ini gejalanya telah tampak—, justru menjadi salah satu kota yang persis sama dengan kota lain. Kota-kota, di mana-mana, menjadi identik, persis serupa, dengan gedung-gedung yang sama dan mal-mal yang juga sama. Kota-kota yang kehilangan taman, kehilangan pesona atau kesakralan, sekaligus kehilangan bangunan-bangunan bersejarah bagi identifikasi diri kita sebagai manusia Banten yang “utuh”.
Dengan demikian, tata ruang sebuah kota, tak lagi dimiliki warga kota yang menghuninya, atau dengan kata lain, tak lagi dapat dinikmati turis lokal apalagi turis internasional untuk sekadar tempat “pelesir”. Apakah yang menarik dari kota-kota yang identik? Rasanya tak ada. Sebab, agaknya saya tidak ingin pergi ke Palembang yang sudah sangat “men-jakarta” dengan nama-nama mal yang juga persis sama, sebab tak lagi bisa menemukan bahwa kota itu pernah menjadi sebuah kota kerajaan yang cukup diperhitungkan di Nusantara. Atau pergi ke Bandung yang macet saban akhir pekan dan hampir kehilangan udara dingin di pagi hari. Atau ke Cirebon yang nasibnya tak jauh berbeda dengan Banten kini. Tapi tentu, saya pun akan merasa sangat berlebihan jika terus-menerus menyalahkan dan menyesali pembangunan demi pembangunan tersebut. Sekalipun kini, saya pikir, kita yang hidup di kota ini telah benar-benar kehilangan pesona dunia: kicau burung, harum lumpur, wangi kembang, warna fajar, yang semuanya sekadar menjadi “pengetahuan” yang sukar lekang dari ingatan.
Agaknya, kelak, di kota ini, ketika kita terbangun di pagi hari, membuka jendela, lalu berjalan-jalan dan mencari makan, yang kita dapati hanyalah “rumah makan” Kentucky Fried Chicken atau California Fried Chicken atau Kebab Turki. Padahal kita tahu belaka bahwa kita tidak sedang berada di Kentucky atau di California atau di Turki, tapi di kota kecil bernama Serang.
Ah, jika demikian yang akan kita alami kelak, agaknya saya—mungkin semua “saya”—akan memilih kembali “pergi”. Sebab, kota telah menjelma seorang “Gadis” dalam sajak Afrizal Malna yang membuat aku silau tubuhmu kemilau neon, tubuhmu keramaian pasar. Mungkin saya akan menepi ke gigir hutan Gantarawang yang dipercayai sebagian orang sebagai hutan tempat segala makhluk halus bersemayam namun cukup ampuh untuk menyelamatkan pohonan dan pesona dunia. Atau mungkin hijrah ke kaki gunung Cikuray, di Garut sana, sembari menemani Apa (kakek) menanam tembakau yang kini nyaris tersingkir oleh tembakau “asing” yang diimpor negara.
Namun, benarkah kita menginginkan tata ruang sebuah kota yang sempurna? [*]
(*Versi awal tulisan ini pernah dimuat Banten Pos, 21 November 2012, sedangkan versi ini mengalami sedikit penambahan dan penyesuaian yang dilakukan pada saat saya mengikuti Workshop Penulisan Esai Mastera, pada September 2014 lalu.