KabarTerkini

Kisah Kurban Paling Mengharukan, Siapa pun Anda Bisa Menangis Membaca Kisah Ini

 

biem.co — Kisah ini dituturkan oleh seorang penjual hewan kurban. Ia tak sanggup menahan tangis saat mengetahui siapa sebenarnya orang yang membeli seekor kambing darinya di hari itu. Ketika Anda membaca kisah ini dengan hati, Anda pun dijamin tak kuasa menahan air mata.

***

Iduladha kian dekat. Kian banyak orang yang mengunjungi stan hewan kurbanku. Sebagian hanya melihat-lihat, sebagian lagi menawar, dan alhamdulillah, tidak sedikit yang akhirnya membeli. Aku menyukai bisnis ini, membantu orang mendapatkan hewan kurban dan Allah memberiku rezeki halal dari keuntungan penjualan.

 

Suatu hari, datanglah seorang ibu ke stanku. Ia mengenakan baju yang sangat sederhana, kalau tidak boleh dibilang agak kumal. Dalam hati aku menyangka ibu ini hanya akan melihat-lihat saja. Aku mengira ia bukanlah tipe orang yang mampu berkurban. Meski begitu, sebagai pedagang yang baik aku harus tetap melayaninya.

 

“Silakan Bu, ada yang bisa saya bantu?” sapaku seramah mungkin.

 

“Kalau kambing itu harganya berapa, Pak?” tanyanya sambil menunjuk seekor kambing yang paling murah.

 

“Itu Rp700 ribu, Bu,” jawabku. Tentu saja harga itu bukan tahun ini. Kisah ini terjadi beberapa tahun yang lalu.

 

“Harga pasnya berapa?”

 

Wah, ternyata ibu itu nawar juga. “Bolehlah Rp600 ribu, Bu. Itu untungnya sangat tipis. Buat Ibu, bolehlah kalau Ibu mau,” lanjutku.

 

“Tapi, uang saya cuma Rp500 ribu, Pak. Boleh?” tanya ibu itu dengan penuh harap.

 

Keyakinanku mulai berubah. Ibu ini benar-benar serius mau berkurban. Mungkin hanya tampilannya saja yang sederhana tapi sejatinya ia bukanlah orang miskin. Nyatanya ia mampu berkurban.

 

“Baiklah, Bu. Meskipun tidak mendapat untung, semoga ini barokah,” jawabku setelah agak lama berpikir. Bagaimana tidak, Rp500 ribu itu berarti sama dengan harga beli. Tapi melihat ibu itu, aku tidak tega menolaknya.

 

Aku pun kemudian mengantar kambing itu ke rumahnya.

 

Astaghfirullah… Allaahu akbar….” Aku terperanjat. Rumah ibu ini tak lebih dari sebuah gubuk berlantai tanah. Ukurannya kecil, dan di dalamnya tidak ada perabot mewah. Bahkan kursi, meja, barang-barang elektronik, dan kasur pun tak ada. Hanya ada dipan beralas tikar yang kini terbaring seorang nenek di atasnya. Rupanya nenek itu adalah ibu dari wanita yang membeli kambing tadi. Mereka tinggal bertiga dengan seorang anak kecil yang tak lain adalah cucu nenek tersebut.

 

“Emak, lihat apa yang Sumi bawa!” kata ibu yang ternyata bernama Sumi itu.

 

Yang dipanggil Emak kemudian menolehkan kepalanya.

 

Baca juga: 

1. Harga Sapi dan Kambing Tinggi, Pedagang Hewan Kurban Sepi Pembeli

2. Berkurban, Haruskah Kita Melihat Langsung Proses Penyembelihannya?

3. Dompet Dhuafa Banten Hadirkan Kembali Program Tebar Hewan Kurban Plus Sedekah Ikan

4. Kolam Usaha Santri, Memupuk Jiwa Entrepreneur di Pesantren

5. Islamic Corner: Andai Ini Kurban Terakhir Kita

 

“Sumi bawa kambing, Mak. Alhamdulillah, kita bisa berkurban”

 

Tubuh yang renta itu duduk sambil menengadahkan tangan. “Alhamdulillah… akhirnya kesampaian juga Emak berkurban. Terima kasih, ya, Allah…” lirihnya.

 

“Ini uangnya, Pak. Maaf, ya, kalau saya nawarnya terlalu murah, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk membeli kambing buat kurban atas nama Emak….” kata Bu Sumi.

 

Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa dalam hati. “Ya Allah… ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hamba-Mu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan imannya begitu luar biasa.”

 

“Pak, ini ongkos kendaraannya…” panggil ibu itu sembari menyerahkan beberapa lembar uang padaku.

 

“Sudah, Bu… biar ongkos kendaraannya saya yang bayar,” jawabku sambil cepat-cepat berpamitan, sebelum Bu Sumi tahu kalau mata ini sudah basah karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah–yang sudah mempertemukan dengan hamba-Nya yang dengan kesabaran, ketabahan, dan penuh keimanan ingin memuliakan orangtuanya.

 

Untuk menjadi mulia, ternyata tak harus menunggu kaya. Untuk mampu berkurban, ternyata yang dibutuhkan adalah kesungguhan. Kita jauh lebih kaya dari Bu Sumi. Rumah kita bukan gubuk, lantainya keramik. Ada kursi, ada meja, ada perabot, hingga TV di rumah kita. Ada kendaraan. Bahkan, ponsel kita lebih mahal dari harga kambing kurban. Tapi… sudah sungguh-sungguhkah kita mempersiapkan kurban? Masih ada waktu sekitar satu bulan.

 

Jika kita sebenarnya mampu berkurban, tapi tak mau berkurban, hendaklah kita malu kepada Allah ketika Dia membandingkan kesungguhan kita dengan Bu Sumi. Jika kita sebenarnya mampu berkurban, tapi tak mau berkurban, hendaklah kita takut dengan sabda Rasulullah ini: 

 

Barangsiapa yang memiliki kelapangan untuk berkurban namun dia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (H.R. Ibnu Majah, Ahmad dan Al Hakim).


Source: tarbiyah.net

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button