Oleh Udi Samanhudi.
biem.co – Hasil survey terhadap 208 negara di dunia seperti yang terekam dalam pewarta online http://www.telegraph.co.uk menempatkan negara-negara maju seperti Irlandia, Inggris Raya, Australia, Denmark dan Jepang sebagai negara yang mempraktekkan nilai-nilai Islam baik dalam bidang per-ekenomian maupun aktivitas sosial seperti yang diajarkan dalam al-Qur’an.
Dua negara dengan penduduk mayoritas Islam, bahkan sampai hasil survey terakhir di tahun 2017 ini seperti juga dilaporkan di situs pewarta daring yang sama, masih hanya menempatkan Malaysia dan Quwait sebagai negara dengan penduduk muslim mayoritas yang ditengarai mempraktekan nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan perekonomian dan kehidupan sosial secara umum. Lantas, dimana negara-negara dengan penduduk Islam sebagai mayoritas lainnya seperti Indonesia?
Jangan-jangan apa yang dikemukakan oleh Hossein Askari, seorang professor keturunan Iran yang mengabdikan dirinya di George Washington University, Amerika Serikat sana benar adanya. Menurutnya, negara-negara yang notabene berpenduduk mayoritas muslim sebagian besarnya hanya menggunakan agama (baca: Islam) sebagai alat untuk mencapai kekuasaan dan kepentingan kelompok tertentu semata. Faktanya negara-negara dengan label Islam menurutnya adalah negara-negara yang nyatanya korup, penuh ketidakadilan dan jauh tertinggal di belakang sembari lari tunggang-langgang mengejar ketertinggalan.
Apa yang saya baca di laman online tersebut membawa saya sejenak untuk kembali mengingat pengalaman menyinggahi beberapa kota di beberapa negara maju seperti Jepang, Australia dan Inggris Raya. Setiap kali berkesempatan untuk melancong ke beberapa kota di Inggris misalnya, saya selalu dibuat takjub tidak hanya oleh kemegahan kota-kota besar di negara ini tetapi juga kultur disiplin yang begitu kuat mengakar seperti tercermin dari etos kerja yang luar biasa tinggi.
Lalu lintas yang rapih dan tertata tanpa banyak kemacetan yang berarti dan suara klakson kendaraan yang menyakitkan telinga. Tata kota yang didesain dengan apik lengkap dengan kebersihannya yang terjaga, taman-taman kota yang hijau asri nan bersih ditambah dengan penduduk lokalnya yang hangat dan bersahabat.
Apa semua ini bukan cerminan atau contoh sederhana dari implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial yang sebenarnya? Yang juga menarik saya ceritakan adalah penghargaan yang luar biasa terhadap kaum disable. Mereka yang secara fisik kurang beruntung benar-benar dilindungi hak-haknya oleh negara.
Tengok saja bagaimana toilet kaum disable ini didisain di tempat-tempat umum seperti statsiun dan bandar udara termasuk juga di universitas-universitas, sungguh bikin iri hati. Selain berukuran lebih besar dan luas, toilet untuk kaum disable ini jauh lebih apik tertata lengkap dengan perangkat pendukung yang memang seharusnya ada di sebuah toilet-Te Pe El alias toilet paket lengkap, kalau boleh dibilang. Tak tanggung-tanggung, jalanan atau lane khusus pun disediakan di tempat-tempat umum termasuk di trotoar-trotoar yang dikhususkan untuk para pejalan kaki, baik kaum ‘normal’ maupun disable.
Sensasi serupa pernah saya rasakan manakala menyusuri jalanan beberapa kota di Jepang. Berjalan kaki di gang-gang sempit di kota Tokyo, Osaka dan Kobe memberikan kenyamanan tersendiri bagi saya. Kebersihan yang terjaga dan rumah-rumah warga lokal yang tertata rapih dan apik ditambah dengan serpihan senyum yang tersebar di sekitaran ‘gang senggol’ tersebut membuat hati saya merasa adem.
Entah kenapa, rasa nyaman saat berjalan kaki dan saat sejenak meninggalkan koper di kursi tunggu kereta di sebuah stasiun di Osaka karena mendadak ada ‘panggilan alam’ untuk sesaat tarik nafas di toilet. Justru, toilet saya rasakan di negara maju seperti Jepang ini yang kadang berbeda sebaliknya jika hal serupa saya lakukan di kota-kota besar di negeri sendiri.
Ada apa ini? Jangan-jangan kita memang muslim yang baru sekedar terobsesi oleh relijiusitas dengan praktek-praktek ritual keislaman yang oleh sebagian pihak justru dijadikan ‘topeng’ untuk mengelabui kelompok masyarakat tertentu yang masih sebetulnya membutuhkan bimbingan dan pencerahan.
Jangan-jangan kita juga masih terjebak oleh simbol-simbol keislaman seperti berkopiah hitam dan bersorban tetapi belum memaknai dengan utuh apa sebetulnya nilai-nilai islam yang sesungguhnya yang sejatinya jauh lebih penting untuk kita praktekan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai sebuah disposisi khas seorang muslim yaitu tingkah laku yang betul-betul merefleksikan nilai-nilai keislaman.
Saya kemudian berandai-andai bahwa dengan status sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di Asia dan bahkan di dunia, tentu sangat mudah bagi Indonesia untuk berada di jajaran atas negara-negara yang menerapkan nilai-nilai keislaman. Jika saja, kesadaran kolektif kaum muslim termasuk juga para pemimpin di negeri ini untuk menerapkan nilai-nilai keislaman tumbuh dengan baik.
Menurut saya, agar mampu memposisikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim dalam deretan negara yang memang benar-benar mengaplikasikan nilai islam. Semua pihak harus berupaya bersama memaknai islam sebagai sebuah agama yang total akan perintah kebaikan. Tidak hanya dalam konteks kehidupan sosial seperti menjaga tali silaturahmi dengan sesama, islam juga jelas-jelas menghadirkan kitab suci yang di dalamnya semua hal dapat dicarikan solusinya termasuk untuk permasalahan bangsa yang konon semakin hari semakin kompleks dan pelik.
Prinsip-prinsip ekonomi syari’ah, misalnya, kini marak diterapkan di negara-negara non muslim. Bahkan di beberapa universitas di Inggris Raya Jurusan Ekonomi Syariah ini mulai marak dan nampaknya tengah menjadi salah satu komoditas unggulan dalam dunia pendidikan tinggi mereka.
Berkaca dari realitas semacam ini, sudah bukan saatnya lagi agama Islam yang suci ini hanya dijadikan alat untuk meraih kekuasaan karena masyarakat kita saat ini sudah semakin cerdas dan kritis. Sudah juga bukan waktu yang tepat agama rahmatan lil’alamin ini seolah dijadikan sumber perintah untuk berpakaian ala-ala ‘islami’ untuk menopengi kejahatan kolektif kelompok tertentu pada kaum yang tak layak sedikitpun untuk didzolimi.
Sekarang ini adalah momen dimana nilai-nilai islam harus kembali kita maknai sepenuh hati, kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan kita tularkan pada sesama untuk kemaslahatan bersama. Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia bernama Indonesia ini membutuhkan pribadi-pribadi yang loyal terhadap agamanya yang tercermin dari sikap prilaku yang jujur dan amanah.
Jika lebih dari setengah penduduk muslim di bumi pertiwi ini sudah betul-betul ‘berislam’ termasuk mereka yang dalam kurun waktu tertentu tengah diamanahi kursi kepemimpinan. Urusan kebersihan di sepanjang trotoar jalan raya dalam kota, rampas-merampas tas kosmetik manik-manik di dalam bus kota, macet-macet di jalanan yang menguji kesabaran, trotoar jalanan umum yang amburadul, dan urusan remeh temeh lainnya seharusnya sudah tidak akan lagi menjadi wacana seksi di program-program televisi nasional. Fenomena tersebut yang selama ini tanpa disadari menumbuhkan rasa tidak nyaman, malu, geram, kesal, dan resah yang massif di tengah-tengah masyarakat.
Memulai segala sesuatunya dari yang nampak sepele ini bukan tidak mungkin menempatkan Indonesia pada jajaran negara-negara yang benar-benar mempraktekan nilai-nilai keislaman seperti halnya Inggris Raya, Irlandia dan Australia yang hingga kini masih dengan kharismanya sebagai negara non muslim yang justru mempraketkan spirit keislaman. Bukankah sesuatu yang besar di mulai dari yang kecil? Start small, keep doing, growing and flourishing together!
Udi Samanhudi adalah Akademisi Untirta, Awardee Beasiswa LPDP program Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) Kemenkeu RI dan saat ini tengah menempuh studi doktoral dalam bidang Teaching of English for Speakers of Other Languages and Applied Linguistics, Queen’s University of Belfast, United Kingdom.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.