Oleh Edi Ramawijaya Putra
biem.co — Berhasilnya Direktorat Siber Mabes Polri mengungkap komplotan Saracen seakan membuka tabir gelap bahwa berita-berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian yang berisi konten-konten SARA dan provokasi ternyata selama ini dikelola secara profesional dan tersturktur. Motif finansial adalah alasan utama para pelaku membungkus dan menyebarluaskan berita-berita dengan isi kebencian dan fitnah.
Terungkapnya motif ini memberikan petanda bahwa ada penyediaan karena adanya pemintaan (the law of supply and demand). Si pemesan seakan telah yakin bahwa pembaca berita pesanannya akan terpengaruh lalu memiliki opini dan perspektif seperti yang diinginkannya. Melalui akun-akun palsu dan buzzer yang telah terorganisir dengan baik berita-berita inipun sampai ke tangan para pengguna gawai.
Keuntungan dari penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian dalam bentuk tulisan, gambar, meme dan video tidak lain adalah eksploitasi kebenaran, penggiringan opini publik dan fitnah.
Bisnis industri kebencian dan hoax tumbuh subur tidak hanya disebabkan oleh banyaknya pemesan namun juga prilaku warganet nirkabel yang terlalu cepat percaya dan cepat menyimpulkan terhadap isi berita tertentu tanpa cross-check dan verifikasi. Perilaku copy-paste link tanpa membaca isi, berbalas komentar kebencian, endless discussion dalam grup-grup gawai yang sering berujung pemutusan tali persaudaraan dan silaturhami.
Tidaklah kita melihat bahwa fenomena ini merupakan ancaman yang serius yang sedang terjadi di dalam negara Indonesia yang tidak memuja sekularisme sebagai ideologi melainkan keberadaban santun yang terlihat dari perilaku tutur manusia dan cara mereka ber-diskursus maya. Tameng budaya, adat-istiadat, kearifan lokal, nilai-nilai universal agama serta budaya literasi yang baik akan menjadi filter untuk melawan setiap serangan industri kebencian dan hoax.
Teknologi informasi dan media sejatinya tidak dibuat untuk tujuan negatif namun untuk membentuk tatanan masyarakat terintegrasi dalam atmosfir interkasi yang proporsional, santun dan solutif. Masyarakat era digital tidak boleh meninggalkan nilai-nilai kesopanan, kesantunan, musyawarah mufakat, gotong-royong dan kebersamaan untuk mengantisipasi bertemunya industri hoax dan kebencian dengan prilaku masyarakat nirkabel.
Suatu contoh, di Kabupaten Lombok Utara (KLU) Nusa Tenggara Barat ada kearifan lokal yang disebut sangkep atau gundem, sebuah pertemuan insidental yang digunakan oleh masyarakat adat untuk membahas sebuah persoalan, masalah ataupun ada hal-hal yang membutuhkan kesepakatan bersama untuk menghasilkan keputusan bersama. Hal serupa juga dapat terdapat di daerah-daerah lain yang masih mempertahankan tradisi lisan sebagai mekanisme sosial merajut harmoni bermasyarakat.
Seiring pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi serta kompetisi penyedia layanan nirkabel menuju zero-blank-spot membuat tidak ada satupun area yang luput dari dunia maya. Turbulensi sosiokultural tidak bisa dihindari, masyarakat pedesaan yang sudah terbiasa dengan tradisi lisan mulai merasakan kenyamanan interaksi virtual dengan segala kemudahan dan efisiensinya.
Pertumbuhan teknologi ini bukan datang tanpa masalah salah satunya adalah akurasi kecepatan literasi pengguna (user) dengan akselerasi perangkat lunak, variasi aplikasi dan fitur dari vendor serta sistem operasi. Kecepatan alat komunikasi kalah cepat dengan kemampuan pengguna untuk mempelajari menggunakan. Hal ini semata-mata disebabkan karena migrasi pengguna ke era digital yang tidak sempurna. Akibatnya, pertemuan di balai-balai ‘banjar’ (rumah pertemuan adat) mulai kehilangan bentuk konservatif dan identitas.
Dominasi kehidupan umpan berita (newesfeeds) membuat manusia sedikit demi sedikit kehilangan sense of belonging menjadi semakin individualis dan tidak peka terhadap lingkungan dan sosial masyarakat. Terlebih lagi masyarakat urban yang sebagian besar hidup di perkotaan tidak memiliki piranti kearifan lokal seperti di desa-desa.
Hidup berdikari dalam zona nyaman masing-masing melahirkan agresifitas pencari informasi (stalkers) yang masif namun minim daya kritis dan kajian multi-perspektif. Beberapa kasus yang viral akibat ujaran kebencian dan hoax seharusnya menjadi lesson learnt namun tidak pula memberikan daya tangkal agar masyarakat maya (netizen) menjadi lebih antisipatif dan “menahan diri” untuk tidak menyebarkan ujaran kebencian, konten-konten yang berpotensi berita atau informasi palsu (hoax).
Gawai yang ada di tangan dengan mudah berinterkasi virtual membawa kita pada periode masyarakat informasi yang tidak diimbangi dengan kesadaran hukum, menerabas etika dan estetika dan saat ini telah mencapai titik komplikasi mengancam alih-generasi bangsa ini di masa yang akan datang. Apa yang akan terjadi jika kelangsungan hidup bangsa ini bertaruh pada faktor wacana baik dalam diskursus yang termanifestasi dalam sosial media dan poarisasi lisan.
Pola interaksi yang mengancam rasionalitas, estetika dan norma yang sama-sama kita junjung tinggi. Tidak bisa dibayangkan jika alih-generasi terbentuk dari deretan proses konsumsi informasi yang bohong, palsu, serampangan dan “gagal paham”. Untuk itu, hanya bangsa ini dan anak-anak bangsa ini yang bisa memastikannya.
Edi Ramawijaya Putra adalah Akademisi dan Penulis, Konsultan Pendidikan, Pegiat Literasi di Lombok Utara NTB saat ini adalah dosen tetap di STABN Sriwijaya Tangerang, mengajar di beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan Banten, Kandidat Doktor Linguistik Terapan Bahasa Inggris Universitas Atma Jaya Jakarta.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.
Berita Terkait :
Udi Samanhudi: Membangun Pengetahuan dengan Menulis
Gufroni: e-KTP Makan Korban (Lagi)
Cerpen Alfian Putra Abdi: Gadis Pemburu Ketenangan