InspirasiOpini

Ahmad Yani: Becak; Simbol Keramahan, Keadilan, dan Kesejahteraan Jakarta

Oleh : Ahmad Yani

biem.co — Bukan Anies-Sandi namanya, kalau keberpihakannya tidak kepada rakyat kecil. Berbeda bagi mereka penghamba kekuasaan dan kekayaan yang membutakan kebijaksanaan seorang pemimpin. Meskipun kontroversi, wacana Anies-Sandi yang ingin kembali menghidupkan becak di Jakarta akan menjadi serial terbaru yang tidak mudah dipahami oleh lawan politiknya.

Selepas sholat subuh, sambil menunggu waktu berdhuha. Seperti biasa saya membaca buku-buku ringan, secara kebetulan ada tulisan Sindhunata bukunya berjudul “Waton Urip” yang saya temukan. Buku tersebut mengulas hasil interaksi si penulis buku dengan pengais becak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di antara uraian yang disajikan, ada narasi yang membuat saya tersenyum. Ringan memang, namun sangat bernilai filosof dalam uraian yang diungkapkan.

Seperti ini petikan dari wawancara si penulis buku dengan pengais becak tersebut:

“Siapa bilang intelektualitas selalu berbanding lurus dengan kualitas hidup seseorang. Orang yang berpendidikan tinggi belum tentu bisa menemukan kebijaksanaan, seorang yang berkuasa belum tentu mampu bersikap bijaksana pada rakyatnya. Hidup itu penuh warna. Kebijaksaan bisa datang dari siapapun, tak peduli dia kaya atau miskin, tak peduli dia bergelar profesor atau profesi tukang becak. Apa yang bukan jatah dan rezeki saya, tak bisa saya dapat. Kalau teman lain mendapatkannya, dan saya emosi atau iri, jatah rezeki saya malah lari”. 

Dalam perspektif yang berbeda, wacana pemberlakuan becak juga ditulis dalam media mainstream, yakni “Jejak Becak di Jakarta”. Wacana tersebut diulas dari sudut kemanusiaan, karena becak dalam penggunaanya menggunakan tenaga manusia. Pararel dengan wacana becak, saya juga sependapat kalau wacana itu dibawa ke ranah tata kota Jakarta, sebagai Ibu Kota Negara Indonesia.

Kendala utama bagi Anies, untuk beroperasinya kembali becak di Jakarta, secara politis harus melalui refisi Perda Larangan beroperasinya becak yang dikeluarkan semasa kepemimpinan Fauzi Bowo. Perda inilah yang kemudian dipertanyakan banyak kalangan, sebelum dioperasikannya kembali becak di Jakarta.

Sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Indonesia ini, wacana tentang becak mengingatkan kehidupan warga Jakarta tempo dulu yang memiliki keramahan, keadilan dan sejahtera bagi siapa saja yang menetap di Ibukota negara Indonesia ini. Tidak ada yang keliru atas wacana Anies, justru akan menjadikan Indonesia lebih pada suasana nostalgia untuk apa tujuannya memimpin Ibukota.

Simbol keramahan, selama ini becak hanya dijadikan alas atau eksploitasi yang dilakukan untuk keuntungan secara politik (pencitraan), seperti mengantarkan seorang dalam pendaftaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Di balik itu, sebenarnya terdapat keramahan dalam bentuk interaksi antara pemimpin dengan rakyatnya. Interaksi antara si kaya dan miskin, interaksi tanpa harus memandang strata sosial dan ekonomi. Tidak jarang sesekali dua perbedaan saling bertanya, bersilaturahmi, yang akhirnya akan membentuk suatu ikatan emosional dan keramahan sebagai warga negara Indonesia.

Pada tataran lingkungan, becak akan menjadi transportasi ramah lingkungan, bebas polusi dan dapat meningkatkan kesehatan warganya. Inilah keramahan Anies, yang ingin memutus keramahan warga Jakarta tanpa memandang strata seseorang.

Selain simbol keramahan, becak akan menjadi simbol keadilan bagi warga Jakarta. Banyak kalangan salah menilai, bahwa profesi seseorang menentukan “hina” atau “tidaknya” seseorang. Sebenarnya itulah kebijaksanaan Tuhan yang menjadi kewajiban bagi seorang pemimpin mengangkat derajat rakyatnya. Tidak ada profesi yang hina di mata Tuhan. Justru sebaliknya, para pemimpin selama inilah yang telah menstigmakan profesi “becak” adalah kehinaan. Atau hanya untuk menutupi kegagalan dari pemimpin dalam menciptakan keadilan bagi warganya.

Becak Anies untuk keadilan warganya, sangat beralasan untuk mengingatkan bahwa demokrasi adalah mewujudkan keadilan. Keadilan bukan saja untuk penguasa maupun pemilik modal, tapi keadilan adalah milik seluruh warga Jakarta.

Keramahan dan keadilan akan menemukan satu titik, yaitu membangun kesejahteraan. UUD 1945 menegaskan, kesejahteraan adalah milik warga negara yang harus dilaksanakan oleh pemerintahan di setiap level. Begitu pun bagi profesi sebagai pengais becak, selain keadilan, profesi ini simbol menyejahterakan warga Jakarta dalam mengais rezeki. Tidak semua warga Jakarta memiliki kemampuan secara pendidikan dan skill yang mumpuni, tapi Jakarta yang majemuk memberikan ruang warganya untuk dapat mengais rezeki halal untuk menghidupi keluarganya.

Tidak salah jika sejahtera warganya, maju kotanya. Wong urip, bukan hidup ngawur dan seenaknya sendiri, melainkan berani hidup tanpa memberontak terhadap kehidupan. Sungguh mulia profesi pengais becak, sungguh terhormat bagi Anies yang menempatkan Becak sebagai simbol keramahan, keadilan dan kesejahteraan warganya.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button