biem.co — Saya sering kesulitan mengunyah berita yang berseliweran seperti jutaan nyamuk di kamar saya yang cuma’ berukuran 4×3 meter. Meski saya mengerti, dunia tanpa batas mengandung konsekuensi bahwa ruang privasi dapat diterabas oleh apa saja.
Sesuatu yang tidak saya sukai, tiba-tiba bisa hadir di bawah tempat tidur, di laci, dan di lemari. Mewujud seperti tikus. Mengejutkan dan bikin jengkel. Karenanya, tidak banyak berita yang saya cari. Hanya beberapa berita yang, bagi saya penting. Sebab tanpa dicari, hal-hal tidak penting akan datang dengan sendirinya.
Adalah Ferdian Paleka salah satu dari berita yang tidak saya cari itu. Seorang YouTubers yang dikejar-kejar polisi karena melarikan diri, setelah kontennya yang nge-prank waria dengan sembako berisi sampah berujung pada perkara hukum.
Sampai di situ persoalan itu. Tetapi tidak sampai di situ persoalannya. Sebagaimana biasanya ditemukan pada begitu banyak persoalan booming lainnya, suka atau tidak suka, senantiasa menarik perhatian khalayak.
Sebagian besar merundung Ferdian. Mereka mengatakan bahwa Ferdian adalah manusia tanpa otak, tanpa adab, dan tanpa hal-hal lainnya yang seyogyanya sifat lahiriah manusia. Tegasnya, dia adalah iblis. Karena itu, beramai-ramai orang bersorak ketika Ferdian diringkus polisi.
“Mampus lo!”
Begitu suara khalayak serempak mengumpat, sebelum mereka serempak pula melanjutkan ujaran-ujaran yang menunjukkan kemarahan. Tentu saja, kita kembali menjadi akrab dengan parade caci maki, sebagaimana biasanya kita temui di dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, beberapa tahun belakangan ini.
Saya tiba-tiba iba pada Ferdian. Saya tiba-tiba merasa begitu dekat dengannya. Seperti seorang kakak kepada adiknya atau lebih dari itu. Sehingga kemudian saya berusaha melarikan diri dari apa yang dia lakukan, yang sememangnya salah. Suatu kesalahan yang tidak perlu membuka beribu judul buku untuk melihatnya. Dan saya melihat sisi yang lain.
Ferdian yang anak manusia. Ia yang hidup dalam sebuah bumi pada sebuah zaman dengan tabiatnya yang semakin jelas: kegandrungan pada hal-hal yang berlawanan dengan nilai-nilai dalam suatu tatanan sosial yang selama ini jadi pegangan umat manusia, wabil khusus di Indonesia.
Nilai-nilai itu misalnya, nge-prank atau bercandaan yang melampaui batas. Batas yang dimaksud, adalah yang membahayakan keselamatan manusia atau yang menyangkut urusan kemanusiaan.
Hal-hal yang melampaui batas itu, kini, ketika kita mengenal YouTube dengan tawaran adsense yang menggiurkan, menjadi sasaran para konten kreator, khususnya kalangan muda. Sebab memang itu yang diganduringi para pengguna YouTube.
Cara melihat fakta kegandrungan itu adalah jumlah penonton yang banyak. Hingga jutaan penonton. Dengan demikian, orang-orang, apatah lagi remaja yang belum memiliki filter yang kuat ihwal batas-batas nilai di tengah masyarakatnya sendiri, terseret kesana.
Di sanalah kita seakan melihat semua tanggung jawab ada pada setiap pembuat konten. Itu wajar, karena setiap pribadi sudah semestinya bertanggung jawab terhadap apa yang dibuat oleh tangannnya sendiri. Ini sama sekali tidak sulit untuk disepakati. Tetapi kembali saya melihat sesuatu yang sepertinya perlu dilihat, agar sesuatu yang sesungguhnya menjadi “api” tampak di muka dan kita tahu, bagaimana cara memadamkannya.
Karenanya saya teringat pada John W. Santrock. Ia seorang ahli perkembangan anak yang menerima penghargaan Effective Teaching Award dari Universitas Texas pada tahun 2016. Katanya, kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal.
Persoalannya, apa yang kini diterima secara sosial? Apa yang tidak diterima secara sosial? Jika berbicara ihwal penerimaan, apakah yang digandrungi masyarakat adalah sesuatu yang tidak diterima oleh masyarakat itu sendiri?
Kiranya kita perlu sedikit saja bersedia melihat Ferdian sebagai manusia, bukan Iblis untuk dapat melihat apa yang sesungguhnya menjadi persoalan. Tatanan nilai yang kita miliki, kini, bertabrakan antara ide dan realitas.
Ide yang ideal senantiasa bertabrakan dengan realitas yang rumpang tindih sana sini. Ini dapat disebut dengan sebutan gegar tatanilai. Dalam keadaan begini, suka tidak suka akan banyak korban dan mereka datang dari kalangan muda.
Tidak sulit memperhitungkan hal tersebut, sebagaimana kita juga tidak kesulitan memperhitungkan bonus demografi. Tetapi nyatanya, kita senantiasa terkejut.
Ferdian kini telah mendekam di penjara. Itu layak. Sebab ia harus mempertanggungjawabkan apa yang telah ia perbuat. Tetapi, tidak layak jika kita bergembira karenanya. Sebab Ferdian adalah “korban” kegandrungan orang masa kini.
Di masa depan akan terus lahir orang-orang semacam Ferdian, yang itu, bisa jadi adik-adik kita sendiri. Di masa depan, kekisruhan yang kurang lebih sama akan terus terjadi, jika kegandrungan ini tidak berubah. (*)
Banten, 1441 Hijriyah