Opini

Eko Supriatno: Banten Bangkrut?

Bangkrut bukan berarti kiamat, tapi kiamat pasti bangkrut.

Selama belum kiamat, jangan takut bangkrut!

Jaya Setiabudi, Penulis

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

 

biem.co — Membaca pemberitaan media massa pekan lalu, ada kabar mengagetkan. Sejumlah permasalahan ekonomi menimpa Pemprov Banten. Pemindahan rekening kas daerah dari Bank Banten ke Bak BJB, tak terbayarnya insentif tenaga medis di RSUD Banten, hingga keluhan sejumlah pengusaha soal sulitnya mengajukan pembayaran hasil pekerjaan menggambaarkan kesulitan finansial yang dialami Pemprov Banten.

Mungkinkah Banten mengalami kebangkrutan di era Wahidin Halim-Andika Hazrumy?

Ya, Kondisi keuangan Pemerintah Provinsi Banten tengah disorot. Target pendapatan Pemerintah Provinsi Banten tahun 2020 turun atau defisit pendapatan sebesar Rp1,796 triliun, dengan rincian APBD tahun 2019 kemarin sebesar Rp13,2 triliun turun menjadi Rp11,6 triliun pada APBD tahun 2020 ini.

Hal tersebut dipicu pandemi virus corona atau Covid-19 dan sangat berpengaruh pada sektor pendapatan daerah Provinsi Banten. Misal: PAD Pemprov Banten yang menurun. Penurunan target pendapatan daerah tersebut terjadi karena target Pendapatan Asli Daerah (PAD) Povinsi Banten tahun 2020 mengalami penurunan sebesar Rp1,754 triliun, ditambah hasil dana perimbangan pusat sebesar Rp42,455 miliar.

Sedangkan dari sisa anggaran Rp11,6 triliun, sebesar 11,51 persen atau Rp1,3 triliun akan digunakan sebagai anggaran jaminan pengaman sosial dengan rincian: Rp1,26 triliun masuk dalam Belanja Tak Terduga (BTT), Rp11 miliar untuk kegiatan Dinas Kesehatan, Rp2 miliar untuk bantuan keuangan (bankeu) Kabupaten Pandeglang, Rp345,9 juta bankeu Kota Cilegon, Rp5 miliar untuk bankeu Kabupaten Lebak, dan Rp69,9 miliar untuk bankeu Pemerintah Desa.

Bukankah APBD Banten 2020 telah disusun dan dirancang sedemikian rupa untuk menunjang program pembangunan yang dilakukan Pemprov Banten?

Bila program tidak bisa dijalankan, itu akan berimbas pada serapan anggaran. APBD Banten itu harus benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh warga.

Oleh karena itu, publik Banten “yang tercerahkan” harus terus mendesak kepada pemprov, terutama semua organisasi perangkat daerah (OPD) Pemprov Banten untuk segera mengoptimalkan serapan anggaran yang sudah tersedia dalam APBD.

Mungkin banyak orang bertanya-tanya, ke mana uang APBD Banten? Apakah untuk masyarakat atau ke saluran lain?”

Banyak yang tidak tahu jawabannya. Ini pertanyaan pokok yang selalu mengendap di benak masyarakat awam karena berkaitan dengan anggaran publik. Kalau APBD dikelola dengan tidak baik atau salah urus, pemerintah daerah bisa terancam bangkrut.

Fakta lain terbaru tentang adanya ancaman kebangkrutan di Pemprov Banten adalah akibat buruknya pengelolaan keuangan daerah. Salah satu faktor utama penyebab buruknya pengelolaan keuangan daerah biasanya adalah dalam hal alokasi anggaran.

Umumnya, dana yang dikelola pemda lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan rutin birokrasi dibandingkan untuk kebutuhan nyata masyarakat.

Dalam kajian politik anggaran, APBD adalah uang rakyat yang harus dikembalikan kepada rakyat atau dalam penggunaannya dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.

Dilihat dari teori agency, rakyat adalah principal, yang artinya rakyatlah sebagai pemilik negara ini yang kemudian kepentingannya diwakilkan/diamanatkan kepada wakilnya di parlemen.

Sementara pihak pemerintah adalah sebagai agen (penerima amanah/tugas dari rakyat) yang dipercayai untuk melaksanakan titah rakyat sebaik-baiknya. Sungguh mulia pemda dan DPRD dalam mengemban tugasnya. Tetapi, sungguh keterlaluan kalau mereka akhirnya berkhianat terhadap rakyat sebagai pemberi amanah.

Berdasarkan data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), sebanyak 124 dari 526 kabupaten/kota terancam bangkrut karena alokasi anggaran belanja pegawai dalam APBD di atas 60% dan belanja modalnya di kisaran 1%—15%.

Kepentingan rakyat yang seharusnya diberi porsi terbesar ternyata justru terpinggirkan. Praktek politik anggaran yang lebih memihak birokrasi seperti ini sudah berlangsung lama.

Penulis melihat keberpihakan APBD terhadap persoalan krusial rakyat seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur selalu tidak diprioritaskan. Sebagai contoh, APBD Banten dengan nilai sekitar Rp11,6 triliun lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan birokrasi daripada untuk pembangunan daerah.

Profil buruknya politik anggaran daerah sebetulnya sudah dimulai sejak proses penyusunan RAPBD. Dalam tahap ini, rakyat tidak tahu seperti apa dan bagaimana uangnya akan dibelanjakan dan untuk kepentingan siapa.

Rakyat tidak pernah tahu. Rakyat jarang dilibatkan kepentingannya dalam proses penyusunan RAPBD. Sementara DPRD yang berfungsi sebagai wakil rakyat di parlemen sulit merepresentasikan dan mengagregasikan kepentingan rakyat dalam kebijakan anggaran daerah.

Buruknya politik anggaran daerah bisa ditandai dengan adanya kebocoran dan pemborosan anggaran (budgetary slack), baik di eksekutif maupun legislatif. Munculnya budgetary slack karena dalam perencanaan maupun implementasinya penuh dengan kepentingan kelompok dari para oportunis pengemban amanah.

Mereka leluasa karena merasa mempunyai keunggulan kekuasaan (discretionary power). Kalau kondisi ini terus terjadi, bisa dipastikan kepentingan rakyat akan diabaikan.

Budgetary slack dapat diartikan pula sebagai pengelolaan anggaran yang tidak efisien dan tidak efektif, APBD dihamburkan di awal tahun dan hampir habis, jauh sebelum tahun anggaran berakhir. Biaya perjalanan dinas membengkak. Anggaran selalu mengalami defisit terlalu besar, tidak diimbangi dengan kemampuan untuk kreatif mencari sumber-sumber penerimaan.

Sudah saatnya para pengambil kebijakan kembali kepada kesadaran bahwa mereka bukan pemilik negara ini. Mereka hanya dikontrak oleh rakyat untuk menjalankan kepentingan para pemilik negara. Negara ini sangat kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Negara ini memerlukan para pengambil kebijakan yang mampu mengasilkan kebijakan publik yang unggul yang dihasilkan melalui pikiran cerdas.

Para pengambil kebijakan harus segera berupaya menemukan formula yang tepat dalam penentuan anggaran. Politik budgeting harus mampu menciptakan keadilan anggaran, yaitu bagaimana agar pemda memberikan jaminan sosial yang tepat bagi rakyat miskin.

Ada pola hubungan antara pemilik negara (rakyat) dan pemda secara tranparan, akuntabel, demokratis, sehingga tidak timbul rasa kecurigaan rakyat terhadap pejabat.

Politik anggaran harus dibangun dan harus diperjuangkan sebagai sistem anggaran yang menggambarkan adanya kesetaraan, keadilan, partisipasi dan pertanggungjawaban pemda dan meningkatkan pelayanan publik yang memuaskan bagi rakyat.

Para pengambil kebijakan harus mempunyai paradigma baru anggaran untuk publik dan mekanisme kelembagaan yang sehat dengan analisis ekonomi politik jangka panjang yang menguntungkan publik.


Eko Supriatno, M.Si, M.Pd. Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Hukum dan Sosial UNMA Banten. Ia mengampu berbagai mata kuliah pemerintahan dalam ranah politik seperti Pengantar Ilmu Pemerintahan, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Selain itu, Ia juga memiliki keterkaitan terhadap riset yang berhubungan dengan kajian dan riset di bidang agama dan sosial-budaya .

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

2 Komentar

  1. Bapak salah besar, dan terlihat kekurang pahaman dan asal jeplak sebagai pratisi universitas di pandeglang banten, menurut saya banten punya uang utk anggaran pembangunan, tetapi uangnya tdk bisa ditarik dan tertahan di bank banten yg bermasalah dgn ojk, ojk memperingati pemda banten dan diambil langkah pindah rkud untuk menyelamatkan pad yg akan didapat ke depan, jk tdk pindah pad bernasib sama dgn uang sebelumnya di bank banten, maka darj itu utk jalannya pembangunan pemprov banten melakukan pinjaman ke bjb dgn jaminan pencairan uang yg ada di bank banten.kesimpulan pemprov banten tidak bangkrut hanya permasalahan cash flow akibat permasalahan bank banten sebagai tempat rkud yg lama.

    1. Yang salah besar Gubernur nya, jelas jelas tau dari awal Bank Banten adalah BUMD strategis milik Pemprov Banten tetapi didiamkan untuk jadi bangkrut, terbukti dengan mengangkat direksi dari Mantan Direksi BJB yang bermasalah & tidak lulus fit & proper OJK. BGD sebagai pemegang saham pengendali diisi oleh orang orang tidak kompeten..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button