Opini

Edi Ramawijaya Putra: Ketergantungan Pendidikan Kita terhadap School-Based Learning

biem.co – Apa pun kebijakan yang diambil oleh Kemendikbud untuk memulai tahun ajaran baru, tentu tidak ada yang akan diuntungkan atau dirugikan. Sejak awal, penerapan belajar dari rumah (BDR) diberlakukan pada semua jenjang satuan pendidikan formal. Tujuannya adalah memutus mata rantai penularan Covid-19 di lingkungan sekolah dan kampus. Deskresi bidang pendidikan ini diambil serentak karena grafik penyebaran Covid-19 ternyata tidak hanya terjadi di wilayah epicenter seperti DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, melainkan semua provinsi di Indonesia.

Tahun Ajaran 2020/2021 segera akan dimulai. Hingga saat tulisan ini dibuat belum ada keputusan resmi baik yang berasal dari Kemendikbud atau Gugus Tugas Penanganan Covid-19 tentang boleh atau tidaknya membuka sekolah dan kembali belajar di sekolah (BDS). Meski masih menunggu kajian yang matang dan komprehensif, narasi yang berkembang di tengah masyarakat yang cukup viral adalah wacana pemberlakuan tatanan baru kehidupan atau “new normal”. Publik berspekulasi bahwasanya tahun ajaran baru akan tetap dimulai, tetapi dengan skema dan konsep pembelajaran yang berbeda dari sebelumnya.

Terlepas dari apa dan bagaimana sistem pembelajaran yang akan diberlakukan saat penerapan new normal, peran guru, partisipasi siswa dan orangtua, kesiapan piranti keras dan lunak pengelola satuan pendidikan serta pembuat kebijakan pada semua jenjang harus pada posisi “siap dan siaga”. Hal ini sangat penting karena sistem pendidikan nasional di Indonesia yang masih sentralistik mengkondisikan setiap peran melakukan apa dan seperti apa tergantung petunjuk dari pusat.

Dalam perspektif mitigasi bencana non-alam seperti virus corona ini, saya pribadi sepakat bahwa segala sesuatu harus ‘satu pintu’ dan terkoordinir dengan rapi from top to bottom atau sebaliknya. Meski pun efektivitas koordinasi antarkomponen dan antarlembaga harus ditingkatkan dari berbagai sisi.

Tak jauh dari prediksi, pembelajaran pada situasi force majure sebelumnya ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Kemudahan akses internet melalui gawai, ketersediaan platform pembelajaran berbasis virtual, dan layanan media sosial tidak serta-merta mengkondisikan perpindahan moda belajar luring ke daring tidak mengalami hambatan. Dari sekian banyak kendala, permasalahan yang paling fundamental adalah lambatnya adaptasi dari lingkungan belajar berbasis kelas menjadi non-kelas.

Proses beradaptasi ini menimbulkan transisi yang gagap, kelimpungan, bahkan kebingungan untuk menyesuaikan konteks pedagogi ke dalam ruang maya. Hal ini disebabkan karena ketergantungan yang sangat melekat kepada sistem pembelajaran persekolahan atau school-based learning. Bangunan sekolah atau kampus dianggap infrastuktur, satu-satunya sumber interaksi edukatif, bahkan ‘dikultuskan’ dalam instrumen penilaian kelaikan satuan pendidikan dalam sistem akreditasi sekolah.

Terlebih lagi, budaya persekolahan sudah menjadi piranti sosial yang berkembang sejak era pra-kemerdekaan hingga sekarang sebagai sistem wiyata mandala. Sistem sekolah dengan desain dan karakteristik lanskap tertentu menciptakan stigmatisasi bahwa siapa pun yang berada dalam bangunan sekolah maka ia sedang belajar, di luar itu tidak. Persepsi juga terbentuk dalam konteks tradisi retoris masyarakat Indonesia bahwasanya edukasi hanya terjadi ketika adanya interaksi segitiga antara guru-siswa, siswa-guru, dan siswa-siswa di dalam ruang belajar.

Kondisi ini pun disuburkan oleh strukturalisasi pendidikan oleh implementasi sistem hirarkis pemantauan mutu pendidikan. Pendidikan seolah-olah berada pada posisi yang sangat ideal ketika telah terjadi supervisi dari ‘atas’ ke ‘bawah’, atau ketika legitimasi laporan dari ‘bawah’ ke ‘atas’ terpenuhi.

Sebenarnya upaya untuk menyejajarkan sekolah dengan lingkungan yang kekinian sebagai sumber belajar sudah digagas oleh stakeholder pendidikan, terutama Kemendikbud selaku leading sector. Naturalisasi cara pandang ekosistem pendidikan tersebut telah dilakukan dalam proes penyusunan kompetensi, penetapan capaian pembelajaran, dan bentuk luaran pendidikan serta dalam rancang bangun difusi-inovasi kurikulum pendidikan nasional. Sebagai contoh, penerapan community-based learning, contextual teaching and learning, problem-based learning dan berbagai metode lainnya telah banyak diimplementasikan oleh sebagaian besar tenaga pendidik.

Namun, lagi-lagi persoalan paradigma sekolah sebagai bagian dari entitas budaya pendidikan dan tradisi retoris sangat sukar untuk diubah. Apa pun jenis kebijakan yang telah diintegrasikan ke dalam standar dan elemen kurikulum belum terlihat dampaknya terhadap perubahan pembelajaran yang seharusnya holistik, kontekstual, dan berbasis masalah.

Apa yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam tiga sesanti pendidikan, yaitu ing ngarso sung tolodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani merupakan formula pendidikan yang erat kaitannya dengan pengalaman belajar yang esensial dan eksperiensial meskipun tidak berlangsung dalam kelas atau dinding sekolah formal. Ruh dari pengalaman belajar yang esensial dan eksperiensial inilah yang akan menjadi kawah candarimuka pembentukan pendidikan karakter yang selama ini menjadi tagline pendidikan nasional.

Secara semantik, local genius dari Bapak Pendidikan Nasional mengandung karakter luhur yang dapat disematkan dalam berbagai kompetensi dan capaian pembelajaran dengan berbagai kata kerja operasional. Memberi teladan, membangun semangat dan memberikan dukungan tentu sangat relevan jika diimplementasikan dengan baik pada situasi darurat pandemi seperti sekarang ini.

Darurat Covid-19 ini baru kali pertama menyerang Indonesia, wajar jika terjadi kesimpangsiuran di mana-mana, termasuk dampaknya pada sektor pendidikan. Pendidikan yang seharusnya bisa terjadi di mana saja dan kapan saja belum dapat dilakukan secara ideal dan adaptif sebagai solusi strategis di tengah penerapan social distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Oleh karena itu, mitigasi terhadap persoalan ini menjadi PR bagi Kemendikbud untuk menelaah kembali elemen-elemen kompetensi yang selama ini dijadikan syarat untuk memperoleh predikat guru profesional.

Faktanya terminologi ‘profesional’ tidak cukup hanya dengan berbekal kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial tapi meliputi aspek ideologis tentang bagaimana melihat ekosistem pendidikan yang tidak hanya terbatas pada jam pelajaran dan kurungan tembok sekolah. Jika kesiapsiagaan ini betul-betul ditindaklanjuti, niscaya dalam getir wabah dan pademi apa pun semua anak negeri tidak akan kehausan ilmu.


Penulis adalah Dosen Tetap di STABN Sriwijaya Tangerang-Banten, Peneliti pada CENAS of Indonesia, Anggota Pokja Bidang Pendidikan Dewan Riset Daerah Kabupten Lombok Utara-NTB).   

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button