KOTA SERANG, biem.co — Tingginya harga daging sapi di Banten membuat sejumlah pengusaha dan pedagang melakukan aksi mogok, Jumat (22/1/2021).
Selain itu, akibat pandemi Covid-19, sejak enam bulan terakhir permintaan terhadap daging sapi di pasaran menurun. Hal itu berimbas terhadap penghasilan sejumlah pengusaha dan pedagang. Di mana akibat kenaikan harga tersebut, para pedagang harus mengalami kerugian, lantaran daging sapi yang mereka jual tidak laku.
Tidak hanya berimbas terhadap pedagang daging, sejumlah pengusaha rumah makan yang menyajikan menu olahan daging juga terkena dampak dari adanya kenaikan harga daging.
Seperti yang dikeluhkan Aisyah, pemilik warung sate di sekitaran Kramatwatu, Kabupaten Serang. Saat diwawancarai oleh biem.co melalui sambungan telepon, Aisyah mengaku keberatan jika harga daging terus melonjak.
“Ya, informasinya yang saya dapat dari penjual daging hari ini mereka tutup sampai hari Rabu. Mudah-mudahan tidak lebih dari hari Rabu,” ucapnya.
Aisyah mengaku, karena mendapatkan informasi tentang aksi mogok tersebut, kemarin dirinya sudah membeli daging sapi di Pasar Induk Rau (PIR) lebih banyak dari biasanya.
“Buat stok selama beberapa hari ke depan, kemarin saya sudah beli daging lebih. Mudah-mudahan cukup sampai hari Rabu. Kalau tidak dan penjual daging masih terus mogok, paling jualan sate ayam atau bebek dulu,” ungkapnya.
Untuk menyiasati tingginya harga daging di pasaran, Aisyah mau tidak mau terpaksa harus menaikkan harga sate yang biasa ia jual ke konsumen.
“Alhamdulillah sih, yang beli juga pada ngerti dan mereka tau kalau harga daging lagi mahal. Jadi masih aman. Cuma kalau terus seperti ini dan bahkan semakin tinggi harganya, kita juga repot. Pasti banyak yang menjerit,” ujarnya.
Hal berbeda diungkapkan Wahyu, penjual bakso keliling di wilayah Ciracas, Kota Serang. Sejak harga daging naik di pasar, dirinya mengaku berhenti jualan sementara dan memilih aktivitas lain sebagai alternatif untuk mencari penghasilan.
“Libur dulu mas, soalnya kalo tetep jualan bingung. Harga daging naik, kalau jualan bakso dinaikin, khawatir pelanggan kabur. Alhamdulillah masih ada tabungan dan sementara ini saya kerja serabutan untuk mendapatkan penghasilan,” jelasnya.
Wahyu mengaku, bakso yang digunakan olehnya merupakan hasil olahan sendiri, di mana dalam setiap pembuatannya, daging menjadi salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa ditinggalkan.
“Karena saya produksi bakso sendiri, jadi enggak bisa nyetok. Ngegilingnya tetap di tempat penggilingan. Kalau nyetok mubazir, yang ada dagingnya busuk. Kalaupun ada teman yang nyetok, pasti bingung kalau gilingan juga ikut mogok. Kemungkinan yang lain juga ikut libur jualan bakso, kecuali mungkin dia punya mesin penggiling sendiri,” tandasnya.
Seperti sejumlah pengusaha rumah makan dan pedagang bakso lainnya, Wahyu juga berharap kepada pemerintah agar bisa secepatnya mengendalikan harga daging di Pasar.
“Kalau ada alternatif lain, dengan pertimbangan harga yang tidak jauh berbeda dengan harga di pasar saat ini, mungkin bisa saja (berjualan),” tutupnya. (Arief)