biem.co — “Ayahku selalu berkata padaku, laki-laki enggak boleh nangis.” Masih ingat penggalan lirik Bukan Superman dari The Lucky Laki? Padahal, kalau dipikir-pikir bisa temasuk toxic masculinity, lho, Sobat biem. Apa itu toxic masculinity?
Sebuah studi di Journal of School of Psychology menyatakan bahwa toxic masculinity, yaitu kumpulan sifat-sifat (maskulin) yang mundur secara sosial yang berfungsi untuk menguasai, memandang rendah wanita, homofobia, dan kekerasan sewenang-wenang.
Penyebab toxic masculinity yang paling dominan ialah mengakarnya anggapan-anggapan kuno tentang laki-laki yang harus selalu kuat dan tak boleh lemah. Hal ini sangat membatasi emosinya ketika bersedih dan mengekang sosialisasinya dalam bermasyarakat. Pembatasan definisi tersebut dapat menimbulkan konflik dalam dirinya dan lingkungannya.
Jika seorang laki-laki yakin bahwa mereka tidak sejalan dengan pandangan sempit ini, mereka mungkin merasa bahwa mereka gagal. Maka ada istilah ‘pride‘ atau ego laki-laki itu tinggi yang disalahartikan. Contohnya saja, laki-laki tidak boleh menangis. Padahal, menangis adalah hal yang wajar untuk mengeluarkan emosi negatif.
Atau ada istilah boys will be boys. Di mana laki-laki diwajarkan untuk bertindak ceroboh. Laki-laki dibiasakan sedari kecil untuk tak usah bantu-bantu pekerjaan rumah. Namun, hal itu justru akan menyulitkan mereka saat harus hidup terpisah.
Laki-laki harus mengatur hubungan mereka. Jika ia kurang dominan, maka ia lemah. Dilarang memakai baju berwarna cerah. laki-laki harus menggunakan baju serba gelap. Dan masih banyak lagi streotype tentang laki-laki yang tentunya keliru.
Banyak penyebab mengapa toxic masculinity ini seakan menjadi hal yang sudah wajar-wajar saja. Padahal jika dibiarkan, akan berdampak pada kesehatan mental kaum adam itu sendiri.
Toxic masculinity berdampak pada ketidakseimbangan peran laki-laki sebagai manusia yang juga memiliki perasaan. American Psychological Association mencatat akibat toxic masculinity, di antaranya stres, depresi, trauma, perundungan, masalah citra tubuh, sulit bersosialisasi, penyalahgunaan obat dan alkohol, melanggar aturan yang berlaku di lingkungan, sulit konsentrasi, kriminalitas, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan bunuh diri.
Menurut American Foundation for Suicide Prevention, laki-laki tiga kali lebih rentan untuk bunuh diri dengan tanpa tanda-tanda karena keengganan mereka untuk meminta bantuan dan bercerita kepada teman atau keluarga.
Berikut solusi yang bisa jadi pilihan keluar dari belenggu toxic masculinity:
Meminta Tolong Itu Bukan Berarti Kamu Lemah!
Manusia ialah makhluk sosial yang memerlukan orang lain. Saat kamu merasa sulit tentang sesuatu yang membebani pikiranmu, mintalah bantuan pada orang terdekat dan ceritakanlah. Atau puskesmas terdekat yang saat ini telah menyediakan poli psikologi bernama poli sahabat untuk para anak muda berkonsultasi terkait masalah yang dialaminya.
Lakukan Hal yang Kamu Sukai
Hindari memendam amarah yang akan sewaktu-waktu akan meledak. Memang dengan bercerita tidak serta merta menyelesaikan masalah. Namun paling tidak, 50 persen kegalauanmu akan tersalurkan. Alihkan amarah pada hal positif yang Sobat biem sukai layaknya menulis, olahraga, bermain musik, atau menggambar. Hobi dgeluti, bercerita tetap perlu dilakukan.
Orangtua Punya Peranan Penting
Sebagai orangtua atau sosok yang lebih tua di rumah, dapat mencontohkan kesadaran emosional yang sehat dan bantu para anak muda yang mayoritas gen Z (1994-2009) dan gen Alpha (2010-hingga kini) untuk memahami bahwa mereka tidak sendirian saat mengalami emosi negatif yang datang.
Ajari mereka bagaimana memberi label dan menerima emosi yang cukup rumit. Latih mereka dalam mempraktikkan strategi ‘menenangkan diri’ dan dampingi mereka selama melalui proses pemecahan masalah.
Bisa dengan memperkenalkan sedini mungkin, bahwa laki-laki juga berhak mengungkapkan kesedihan dan menangis. Perlu juga melakukan kegiatan rumah tangga dengan baik, tak masalah memakai baju cerah, dan lainnya.
Menurut Efnie Andriani, Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga, situasi pandemi seperti sekarang memudarkan sedikit demi sedikit anggapan laki-laki harus selalu kuat.
Karena krisis ekonomi dan kesulitan hidup seperti sekarang ini membuat laki-laki jauh lebih emosional dan tak ragu meminta bantuan kepada lawan jenisnya untuk bahu membahu satu sama lain. Dengan kata lain, terjadi pergeseran makna ke arah yang lebih baik.
“Jika kalian para laki-laki memiliki suatu kegundahan, terkait emosi-emosi negatif, atau perasaan negatif yang harus dilepaskan, lakukanlah,” tuturnya.
Selalu ada limitasi dan kekurangan kita, meskipun kalian seorang laki-laki. Jadi, mengekspresikan, melepaskan, atau mengeluarkan emosi-emosi negatif itu tidak salah. Karena menjaga kesehatan mental jauh lebih penting untuk diutamakan. (rai)