Opini

Imron Wasi: Vox Populi, Vox Dei

biem.co — Sebagian besar dari kita — terutama ilmuan politik, ahli atau pakar politik, cendekiawan politik, analis politik, teknokrat, politisi, aktivis politik, dan mahasiswa sering atau setidaknya pernah mendengar adagium seperti, “Vox Populi, Vox Dei,”. Secara umum, Vox Populi, Vox Dei juga dikenal sebagai suara warga negara yang merepresentasikan suara Tuhan atau dalam bahasa dan term yang lebih populer yaitu, “suara rakyat, adalah suara Tuhan,”. Namun, di tengah situasi pentas politik nasional yang selalu gaduh, membuat idiom ini muncul kembali dalam ruang lingkup publik.

Beberapa bulan terakhir, panggung politik nasional kembali ramai. Pasalnya, di sejumlah daerah terdapat coretan grafiti dan/atau mural. Pada dasarnya, bukan persoalan ekspresi seni grafiti atau muralnya yang menjadi masalah. Akan tetapi, dalam sudut pandang penguasa, tampaknya hal ini memunculkan stereotipe yang merujuk pada sebuah bentuk kritik terhadap kinerja pemerintahan. Dan, membuat penguasa cukup terganggu.

Pada saat yang bersamaan, secara realitas sosio-politik, ekspresi seni grafiti dan mural itu heboh karena terdapat berbagai istilah yang secara tidak langsung memiliki pesan kepada para penguasa (pemerintah), termasuk ketika ada mural bergambar wajah mirip Presiden Jokowi disertai dengan teks seperti, ‘404’: Not Found’ di wilayah Kota Tangerang. Selain itu, hal serupa terjadi di wilayah lainnya, misalnya, mural juga tampak di Yogyakarta, Bandung, Karawang, dan termasuk juga kota metropolitan seperti Jakarta.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Selain muncul grafiti atau mural seperti yang sudah disampaikan di awal, secara faktual ada juga mural atau grafiti lainnya, misalnya, “Tuhan Aku Lapar,” kemudian ada juga kalimat seperti, “Dipaksa Sehat di Negara Sakit,” dan sejumlah kalimat yang tertera dalam mural tersebut lainnya. Hal ini memunculkan reaksi hebat dan secara spontan direspon secara eksklusif oleh pemerintah dengan melakukan pengecetan kembali atau menutup mural-mural tersebut, karena pemerintah memiliki pretensi tertentu, misalnya, mengganggu keindahan kota, tidak sesuai dengan ruang publik yang sudah tersedia, mengganggu ketertiban umum yang sudah dimuat oleh regulasi, dan pretensi-pretensi lainnya. Bahkan, sikap reaktif ini juga menimbulkan prahara baru, seperti akan dicari para pembuat grafiti atau mural tersebut.

Terlepas dari itu  semua, mural yang sudah dikonstruksi juga memiliki makna tertentu. Setiap grafiti dan mural juga memiliki sejumlah meaning tertentu. Pertama, dapat dan bisa dimaknai sebagai sebuah pesan politik yang hendak disampaikan kepada pemerintah. Kedua, salah satu bentuk ekspresi politik dalam rangka melakukan check and balances, lebih tepatnya sebagai suatu kritik dalam mengaktualisasikan roda pemerintahan atau mengontrol kinerja pemerintah. Ketiga, menyampaikan informasi yang perlu diketahui oleh khalayak publik.

Dalam sudut pandang politik, grafiti atau mural dapat dimaknai sebagai sebuah aktivitas daily politics. Resonansi yang dikemas dalam bentuk grafiti atau mural tersebut tidak serta-merta tercipta begitu saja. Ia lahir tentunya berdasarkan berbagai hal ihwal, seperti, stagnannya ekonomi nasional, bahkan Indonesia sempat merasakan berada dalam kondisi resesi ekonomi, meski pada kuartal terbaru sudah mulai tumbuh dan mengarah ke arah positif, kesenjangan sosial, ekonomi, politik, tidak pernah dilibatkan secara eksklusif dalam memformulasikan sejumlah kebijakan publik yang esensial, penyerapan aspirasi yang minim dan tidak sampai dieksekusi, kegelisahan di tengah merebaknya transmisi Covid-19, penanganan Covid-19 yang kurang optimal, bansos yang tidak merata, komunikasi dan koordinasi yang menjadi kendala, dan seterusnya.

Daily politics ini merupakan fenomena klasik dan kemudian mengalami transformasi di era modern sebagai salah satu bentuk atau ekspresi politik mutakhir. Grafiti dan mural ini juga secara simultan membentuk realitas politik baru. Dalam pandangan Warren (1992) realitas politik baru ini disebut sebagai the secondary level of political practies. Dalam praktiknya, grafiti dan mural juga dalam konteks ini bisa dilihat sebagai salah satu medium komunikasi politik, ketika aspirasi dan suara rakyat tidak pernah didengarkan. Padahal, sebagai warga negara, mereka telah memberikan amanatnya kepada para penguasa (wakil rakyat) dan elite politik lainnya.

Warga negara tentunya sudah memaklumatkan sejumlah dan berbagai hal kepada wakil rakyat dan elite politik lainnya, terutama pada saat proses elektoral; sebagaimana yang sudah disampaikan oleh ilmuan politik, seperti yang sudah disampaikan oleh Budiarjo (2012), bahwa terdapat kontrak sosial. Menurutnya, kontrak sosial ini juga memiliki hubungan antara raja dan rakyat yang telah didasari oleh sebuah kontrak yang mengikat keduanya.

Dalam konteks tersebut, para elite politik semestinya dapat mengingat sejumlah dan berbagai maklumat yang telah disampaikan oleh warga negara kepada para elite politik (penguasa), seperti, menciptakan suasana yang kondusif, agar warga negara dapat menikmati hak-haknya dengan aman, serta menjamin hak atas life, liberty, and property sekaligus hak-hak politiknya. (John Locke, 1632-1704 dan Montesquie, 1689-1755).

Tanpa adanya legitimasi yang diperoleh oleh wakil rakyat (elite politik/penguasa), mereka akan kesukaran menjalankan sejumlah aktivitasnya. Dengan demikian, maklumat yang sudah diberikan, termasuk legitimasi di dalamnya, harus direspons secara cepat dan tepat oleh pemerintah, agar agenda nasional dapat segera tercapai. Di samping itu, beberapa bulan terakhir juga tampak eskalasi besar kritik lahir, meski bukan berasal dari partai politik. Sebagai institusi modern, partai politik yang menjadi katalisator kepemimpinan nasional juga diharapkan dapat dan mampu beradaptasi dengan berkembangnya peradaban kontemporer. Meskipun di satu pihak, kadang tidak berbanding lurus dengan cita-cita dan harapan warga negara, seolah terjebak pada praktik pragmatisme politik.

Tak hanya itu, dalam berbagai hasil survei, partai politik seringkali menjadi juara kelas bawah dalam tingkat trust. Hal ini membuat warga negara kebingungan. Sebab, bersifat kontradiktif dengan apa yang oleh para analis politik disebut sebagai salah satu di antara pilar demokrasi. Oleh karena itu, kritik yang muncul beberapa pekan terakhir ini harus dijadikan salah satu pertimbangan utama untuk melakukan evaluasi secara fundamental, agar parpol dan elite politik lainnya juga mampu menciptakan kohesif yang baik di tengah kehidupan yang semakin kompleks.

Demokrasi Mutakhir

Demokrasi sampai saat ini masih menjadi rujukan utama pemerintah di Indonesia. Tapi, apakah pemerintah dan elite politik beserta komponen lainnya secara gradual menciptakan, membangun, dan mengembangkan konsolidasi demokrasi? Atau  justru terjerembab pada praktik yang mengancam stabilitas negara, seperti korupsi dan efek negatif lainnya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Karena, setelah sistem politik digelar secara terbuka dan bebas, termasuk juga menggunakan sistem presidensial amat sangat disayangkan, apabila tatanan demokrasi kita rapuh. Ketika dalam sistem politik yang menganut sistem presidensial mengalami kemandekan (stagnasi) atau bahkan rapuh, maka akan berimplikasi terhadap kohesivitas kebangsaan yang multikulturalisme. Meski di satu  pihak, menerapkan sistem multipartai dan di lain pihak juga menerapkan sistem presidensial, justru pada realitasnya tampak secara gamblang polarisasi muncul dan tentunya akan bermuara pada instabilitas negara seperti friksi. Hal tersebut yang pada dasarnya akan mengganggu aktivitas konsolidasi demokrasi.

Kemerosotan yang terjadi juga berdampak pada indeks demokrasi Indonesia, menurut laporan dan/atau catatan EIU, 5 tahun terakhir, indeks demokrasi Indonesia merosot. Pada awalnya, terutama ketika pertama kali Presiden Jokowi menjabat periode pertama, tepatnya, 2015, indek demokrasi berada pada skor 7,03. Kemudian pada 2016 (6,97), 2017-2018 (6,39). Namun, pada 2019 justru mengalami peningkatan sebesar 6,48. Akan tetapi, pada tahun berikutnya, kembali merosot ke skor 6,30.

Soko guru demokrasi sejatinya harus berlandaskan pada kesetaraan, partisipasi dan representasi. Tanpa itu, tentunya kita akan sukar sekali membangun tatanan yang lebih demokratis. Untuk menumbuhkan dan merekonstruksi demokrasi, sebagai pemerintah dan warga negara seharusnya dapat secara kolektif saling menghormati kebebasan berekspresi, menghargai pula hak-haknya, dan yang paling substansial adalah mempererat hubungan genealogis sebagai sebuah negara-bangsa.

Secara umum, kesetaraaan; baik secara ekonomi, sosial, dan politik belum berjalan optimal, bila enggan menyebutnya stagnan atau jalan di tempat. Dan kesenjangan masih menjadi problematika kebangsaan. Kemudian, warga negara juga terkadang jarang sekali dilibatkan dalam pembangunan, terutama saat pembahasan formulasi kebijakan. Dengan kata lain, untuk sementara ini berdasarkan pengamatan, hanya sebatas dijadikan objek pembangunan semata. Sebagai representasi warga negara, mestinya elite politik memafhumi segala persoalan yang dialami, terlebih pada saat ini, di tengah merambahnya Covid-19.

Terakhir, sebagai civil society, semangat dan sikap gotong royong juga harus tetap atau juga bisa membuncah ke sublimasi-sublimasi. Setelah kegelapan pasti akan ada cahaya, berjalan dan melangkah secara simultan, agar cita-cita nasional dapat segera terwujud. Sebab, resonansi (suara) Tuhan akan selalu ada di mana-mana dan akan berakhir secara konklusi dengan kemenangan (kebahagiaan). Praktik yang tidak sesuai dengan kehendak (baik) warga negara, justru akan tetap kalah.

Tentang Penulis

Imron Wasi, panggilan akrabnya. Ia lahir pada 13 April. Saat ini, ia sedang bergulat di berbagai organisasi, baik di Banten Institute for Governance Studies (BIGS), sebagai peneliti, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Karang Taruna, dan lain sebagainya. Ia juga tercatat sebagai lulusan dengan predikat cum laude di STISIP Setia Budhi dan sekarang sebagai mahasiswa pascasarjana FISIP UI. Selain itu, karya-karyanya bisa dilihat, seperti, “Politik, Partai Politik, dan Perempuan; Frontstage Politics and Backstage, Sebuah Catatan” dan “New Normal: Perspektif Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik Kontemporer”. Di samping itu, sejumlah artikelnya sering dimuat di berbagai media online dan cetak.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button