InspirasiOpini

Antara Sayyidah Aisyah adalah Feminis, Islam adalah Sosialis, dan Generalisasi dalam Berpikir

Oleh : Hanif Farhan *

Sangat penting untuk tidak melakukan generalisasi dalam berpikir. Sebab tidak dapat dipungkiri, kebiasaan ini telah banyak kita jumpai pada tokoh-tokoh yang punya otoriter di muka masyarakat yang pada akhirnya merusak peradaban manusia itu sendiri.

biem.coBermula dari ruang-ruang diskusi di kampus, baik di dalam maupun luar kelas, saya banyak bertemu dengan kawan-kawan mahasiswa yang berdiskusi soal ideologi dan pergerakannya dalam sejarah kehidupan manusia. Tidak sekadar diskusi, ada yang sampai adu bacot sampai lupa terhadap argumentasi sebagai adab dan kaidah berdialog. Biasalah, beberapa tahun setelah usia akil baligh, jiwa suka menggebu-gebu, emosi tidak terkontrol. Itu juga yang kemudian kerap terjadi di dalam kelas, sampai pernah dalam satu waktu, teman saya berani mendebat keras dosen yang mengajarnya. Tetapi kesemuanya itu adalah yang lumrah dalam dunia kampus, sudah lazimnya, agar tiap-tiap mahasiswa dapat melatih mental dan cara bagaimana berdalil yang baik dan benar.

Saya tentu biasa saja melihat fenomena yang jarang ditemukan pada kehidupan masyarakat umum itu. Namun ada hal yang kemudian menjadi sebab saya menulis tulisan ini, yaitu dalam sebuah diskusi perihal ideologi itu, lebih dari sekali, saya menemukan teman berdialog yang menyatakan bahwa Sayyidah Aisyah adalah feminisme. Dalam pernyataan itu, agaknya saya tersinggung, tetapi saya tidak menyalahkan, karena bukan maqom saya untuk memberikan label salah atau benar, toh saya tidak sedikit pun punya otoritas atas apapun tentang kebenaran. Tetapi ini soal tepat atau tidak. Bagaimana mungkin, dua dunia yang berlawanan dapat dikatakan sama hanya karena tampak ada kesamaan dalam permukaan?

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Mengapa saya katakan permukaan? Coba silakan dikaji ulang tentang bagaimana motif terhadap sikap Sayyidah Aisyah dan gerakan feminisme, tentu samasekali berbeda. Ide pokok dari feminisme dan pergerakannya adalah untuk kesetaraan gender antar kaum laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial sementara ide pokok Sayyidah Aisyah adalah membantah dan memberi penjelasan terhadap hadits yang disampaikan oleh perawi yang keliru. Di sisi lain, dari sisi historis, ini sama sekali berbeda, Sayyidah Aisyah jauh lebih dahulu ada ketimbang feminisme itu sendiri yang pergerakannya dimulai di akhir abad 18 M.

Terlepas daripada itu, apa perlunya memberi label feminisme terhadap Sayyidah Aisyah? Toh, Sayyidah Aisyah pun melakukan apa yang dilakukannya sebagai hal yang wajar dan tidak memberi label apa-apa terhadap dirinya. Banyak yang saya ingin katakan sebetulnya bahwa keduanya tidaklah sama. Namun di sini yang saya perhitungkan adalah bahwa siapapun yang menyamakan keduanya itu, saya pastikan bahwa itu lahir dari kebiasaan melakukan generalisasi dalam berpikir.

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah
1 2 3Next page

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button