Pada titik terendah, Allah tidak akan memberi celah dan jalan pada kita, kecuali untuk naik dan bangkit.” – Irvan Hq
CSI#11, biem.co – LENGANG. Dari ruang bekas warung lama yang kami sulap menjadi kamar mandi darurat mengalun nyanyian air yang jatuh dari selang panjang di atas ember penampungan. Air itu mengalir saban waktu dari bukit-bukit karet di balakang rumah baru kami. Bila ember penampungan penuh, pagi buta Amak menyambung ujung selang ke saluran air rumah lama yang kini dihuni Mak Wak dan Etek Nel.
Saya baru selesai menuntaskan bait-bait doa di sela gigil yang masih tersisa di sekitar wajah dan kedua tangan. Saya heran, entah lantaran badan saya yang kata orang-orang di kampung sangat kurus (meski saya merasa sehat-sehat saja), atau memang suhu air bukit karet di belakang rumah yang setelah sembilan tahun saya tinggalkan berubah semakin dingin. Akibatnya, setiap pulang kampung, saya jadi takut air. Bukan apa-apa, saya lebih memilih risiko badan sedikit asem daripada menahan dingin yang lebih mendekati ngilu setiap kali memilih untuk mandi.
Benda bundar berwarna kontras dengan cat dinding putih menunjukkan pukul 23.32. Saya melipat sajadah dan beranjak duduk di sebelah Amak yang sedari tadi sibuk mempersiapkan oleh-oleh untuk keluarga di Banten
“Ini untuk Mak Adang dan ini untuk Mak Ongku,” katanya sembari menyusun dua bungkus kopi cap Rangkiang di dalam kardus bekas mi instan.
“Untuk Usman dan Pak Irvan besok jangan lupa bawakan karupuak sanjai balado,” sambungnya.
Saya mengulas senyum. Sementara Amak masih telaten menyusun titipan oleh-oleh untuk Ante Yen dan keluarga ke dalam kardus bekas mi instan.
“Jangan banyak-banyak, Mak. Nanti di bandara repot,” saya memintanya mengurangi keruwetan di bandara esok hari. Tapi begitulah Amak, niat awal saya pulang kampung untuk sekadar melepas kangen dan menjarak dari pekaknya kota dengan pulang cukup menyandang tas berisi tiga helai pakaian—selalu gagal total!
“Baik-baik di rantau. Jangan lupakan jasa orang,” Amak mengulang nasihat lama yang terus ia rapal setiap kali saya pulang kampung atau ngobrol di telepon. Kata Amak, dalam keadaan badan yang sehat dan rezeki yang dicukupkan Allah, ada doa orang lain yang diijabah-Nya. Makanya Amak tiada pernah alpa dengan petuah-petuahnya tentang mengingat dan mendokan orang-orang yang berbuat baik kepada saya. “Masih berkunjung ke kedai Etek Rustam? Jangan lupa, kalau bukan karena dia kamu belum tentu bisa jadi sarjana seperti sekarang! Bu Suzy apa kabarnya sekarang? Keluarga sehat-sehat, kan? Jangan lupa mampir ke sana, Nak!”
***
Satu di antara nama-nama yang sering ia sebut adalah seseorang yang fotonya kami pajang di ruang tengah rumah baru kami—Kak Irvan. Satu dari sekian orang yang sangat berpengaruh dalam hidup saya. Dengan Kak Irvan sendiri, Amak belum pernah bertemu, lain halnya dengan Bu Suzy, ibu angkat saya di Cilegon dan Kang Usman, atasan saya di Dompet Dhuafa. Namun rupanya cerita-cerita tentang kebaikan Kak Irvan begitu hidup dalam ingatan Amak, hingga meski saat ini saya sudah tidak bekerja dengan Kak Irvan, bagi Amak utang budi berlaku sepanjang hidup—tak akan pernah mampu dibayar lunas.
Bila ditengok ke belakang, apa yang saya peroleh saat ini tak bisa lepas dari peran Kak Irvan sebagai guru kehidupan saya. Saya pernah berada di posisi amat bergantung padanya. Saya masih ingat betul, kala itu kalender di dinding basecamp Banten Muda Community mencatat tahun 2013.
Saya sudah sepuluh semester kuliah di Fakultas Teknik Untirta Cilegon dengan kondisi ‘sekarat’. Tugas Akhir saya mandek dan saya butuh pekerjaan untuk melanjutkan hidup di Tanah Jawara, sementara Mak Adang (paman) hanya menjamin bantuan uang kuliah hingga semester delapan. Saya kalut luar biasa. Mestinya, sebagai orang Minang tulen yang masyur pandai berdagang, saya tidak boleh kehilangan akal. Tapi ternyata Allah menciptakan saya sedikit berbeda dengan orang Minang kebanyakan.
Saya tidak punya naluri dagang—saya mengakui, saya tidak menyukai aktivitas itu. Dengan modal pengalaman cerita pendek saya yang pernah dimuat di beberapa media di Banten dan nasional, saya datang ke Banten Muda yang waktu itu hadir dalam bentuk tabloid bulanan. Saya hadir di depan Kak Irvan (yang waktu itu masih saya panggil Bapak) dengan dada penuh pengharapan—semoga Allah menjawab doa-doa saya tentang pergantungan rezeki melalui beliau. Saya benar-benar sudah pasrah kala itu.
Allah Maha Pengasih. Ia izinkan saya bekerja dengan Kak Irvan sekaligus menjadi ‘murid’ bagi guru kehidupan saya itu. 24 Januari 2013 saya mengenakan identitas baru sebagai jurnalis tabloid Banten Muda dan bantenmuda.com (cikal bakal biem.co). Saya memasuki salah satu episode hidup yang penuh pelajaran, tak hanya belajar tentang dunia jurnalistik—tapi Kakak dengan tangan terbuka mengajari saya cara memandang hidup. Prinsip hidup yang ia pegang teguh pelan-pelan menular pada saya.
Jangan menyerah! Lakukan semampu dan sebaik yang kamu bisa!
Saya gemar sekali membaca buku-buku motivasi. Kalimat di atas pun sudah sering saya baca, namun kala berada pada posisi terpuruk, tetap saja, teori tinggallah teori. Namun Kakak menyampaikan teori ini lewat cerita hidup dan tindakan nyata dalam beberapa kasus yang sama-sama kami hadapi maupun kisah-kisah hidup Kak Irvan sendiri. Satu kalimat yang pernah disampaikan Kak Irvan pada saya yang begitu menggugah dan membakar semangat saya, “… ingat ya, Iwan, justru pada titik terendah itulah, Allah tidak akan memberi celah dan jalan pada kita, kecuali untuk naik dan bangkit.”
Beberapa kali saya terperosok ke dalam situasi paling tidak mengenakkan dalam hidup. Kuliah yang waktu itu tidak lulus-lulus, kehilangan pekerjaan, sakit dalam kondisi jauh dari Amak, prestasi tanpa apresiasi, dan masalah-masalah dalam pertemanan yang kadang membuat saya stres sehingga lupa pada janji Allah akan ada kemudahan di balik kesulitan.
Konsep pemikiran ini juga yang selalu saya pegang teguh saat ini. Saat saya bersusah-payah mengikuti ritme pekerjaan, terkadang saya mati asa dan berpikir untuk menyerah, kalimat-kalimat bermuatan semangat yang saya tulis ulang di buku harian saya ini mampu membuat saya kembali melangkah penuh senyum menuju tempat kerja.
Saya pernah gemar meminta maaf pada Kakak saat tidak produktif menulis untuk bantenmuda.com. Saya pikir itu adalah penyakit langganannya mahasiswa angkatan tua. Saat itu saya sukses menjadi brondong labil, ketika nganggur saya meratap meminta jalan rezeki pada Allah, dan setelah diberi jalan lewat Kak Irvan, saya keteteran antara fokus menyelesaikan Tugas Akhir dan meliput berita untuk bantenmuda.com.
Saran Kakak tidak banyak. Malah beliau tidak menyarankan apa-apa. Rumpun pucuk merah dan lembar-lembar lidah mertua di depan basecamp Banten Muda menjadi saksi proses menyelesaian masalah saya oleh Kakak waktu itu.
“Iwan… semua orang di dunia ini sibuk dan tentu ia punya prioritas. Seperti kakak, prioritas kakak adalah menafkahi keluarga dan menjalankan kewajiban sebagai ‘kuli pabrik’. Kadang saat orang-orang sudah asyik menghabiskan malam dengan bercengkrama bersama keluarga, kakak masih berjibaku dengan sederet pekerjaan di kantor. Seminggu sekali, kakak juga harus bertemu teman-teman di Banten Muda. Itu adalah konsekuensi dari pilihan yang kakak ambil. Dan kakak harus bertanggung jawab terhadap pilihan itu. Capek? Bukan lagi, tapi nikmati saja….”
Saya terdiam. Terdunduk. Saya merah padam dihajar malu. Saya yang hanya mahasiswa dan diberikan kesempatan untuk berkarya di Banten Muda berani-beraninya mengeluh kepada seseorang yang kesibukannya bisa jadi berlipat-lipat dibanding kesibukan semu saya. Kakak sukses menancapkan satu pelajaran hidup bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang bebas dari masalah, namun setiap orang diberikan kebebasan untuk memilih jalan keluar yang telah Allah siapkan. Pertanyaannya, sudah seberapa besar usaha kita untuk mencari jalan keluar itu?
Kakak adalah satu-satunya ‘atasan’ saya yang paling tidak suka dipanggil dengan sebutan “bos”. Saat itu saya justru merasa aneh, orang yang seharus senang saya panggil “bos” dan memang kenyataannya beliau bos saya, yang menggaji saya, tapi meminta untuk dipanggil “kakak” saja. Kak Irvan bilang, pemimpin itu membesarkan, bukan mengecilkan, panggilan “kakak” lebih memberikan ruang yang luas untuk kesan persahabatan dan kekeluargaan.
Beri dulu, baru terima kemudian.
Saya paling tidak suka ketika ada yang bertanya, “Eh, lu orang Padang, ya? Bener nggak sih orang Padang itu pelit?”
Kalau sudah ditanya begini, respons saya paling banter hanya diam dan kalau kondisi emosi lagi tidak stabil, jawaban yang berlompatan dari mulut saya kadang uncontrol dan sedikit pedas, “Menurut lu gue pelit nggak?”
Saya tidak habis pikir dengan orang-orang yang begitu mudah mengonsumsi kabar-kabar hoax—termasuk kabar tak bertanggung jawab yang mem-viral-kan info bahwa orang Padang itu pasti pelit! Apakah ada riset yang menganalisis hubungan antara suku dan kedaerahan dengan tingkat kedermawanan manusia?
Kakak adalah guru yang sukses mendidik saya untuk memahami esensi berbagi kepada orang lain. Kalau ditanya apa saja yang telah saya berikan kepada Banten Muda selama saya mengabdi di sana, saya bagai pengarang yang kehilangan kata. Karena semuanya tidak sepadan dengan apa yang Kakak dan Banten Muda berikan pada saya. Timpang! Kakak mengajarkan saya teknik menerobos blokade pengamanan Fatin Shidqia, jebolan X Faktor Indonesia musim pertama yang saat itu manggung di Kota Serang dan saya harus mewawancaranya secara ekslusif untuk bantenmuda.com.
Kakak memercayai saya sebagai ‘asisten pribadinya’ setiap kali beliau menjadi pembicara di acara-acara penting. Kakak menerima dan mengakui saya sebagai adik sekaligus muridnya. Kakak yang mendapuk saya sebagai pemimpin redaksi pertama biem.co yang kami bidani kelahirannya pada 26 April 2015 lalu. Dan kakak yang mendukung keputusan saya untuk fokus berkarier di Dompet Dhuafa dengan konsekuensi meninggalkan Banten Muda Community dan ‘api kecil’ yang kami namai biem.co.
Kakak memberikan itu semua kepada saya, kepada pemuda ‘asing’ yang beliau terima dengan tangan terbuka—sementara tak ada yang berharga yang mampu saya berikan kepadanya. Bahkan sekadar oleh-oleh dari kampung pun harus dingatkan oleh Amak.
***
Lion Air menyisakan desau di ujung gonjong Bandara Internasional Minangkabau. Saya kembali ke Tanah Jawara membawa oleh-oleh paling berharga. Oleh-oleh spesial dari ibu saya untuk Anda yang membaca kisah ini: utang budi berlaku sepanjang hayat—tak akan pernah mampu dibayar lunas.
Dan kepada Kak Irvan—guru sejati saya—yang ilmunya terus hidup dalam diri saya, saya hanya mampu menjaga pesan-pesan itu sebagai azimat yang kelak ingin saya wariskan pula kepada orang-orang di sekeliling saya. Bukan… bukan sebagai balas budi, bukankah menghormati guru adalah wujud dari menghormati ilmu?
Apalagi guru sejati, ia tak hanya mengajar lewat kata-kata. Ilmu bagi seorang guru sejati, adalah hidupnya. Ilmu itulah dirinya. Maka mempelajari ilmu hanya dari apa yang diucapkan oleh guru, hanya mendatangkan sedikit manfaat. Sebab guru sejati, diamnya pun mengajari. Ya, meski kini saya tidak lagi berada dalam jajaran redaksi biem.co, namun Kak Irvan tetap mengajar dalam diamnya.
“… maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan doa anak yang saleh.” (HR Muslim)
***
Beruntung sekali saya pernah menjadi adik sekaligus murid Kak Irvan. Kini saya menyadari kalimat yang pernah diucapkan Kakak di satu acara pembinaan karakter relawan Istana Belajar Anak Banten (yang kelahiran komunitas ini pun tidak dapat dipisahkan dari peran Kakak dan Banten Muda Community). Kakak bilang, berbagi harus dilandasi keikhlasan. Sesuatu yang baik yang kita bagikan kepada orang lain, akan dibalas dengan kebaikan lewat tangan-tangan orang lain. Memberi dan menerima adalah satu siklus dalam kehidupan yang tidak bisa kita elakkan. Kita semua adalah makhluk yang selalu menerima. Udara yang kita hirup, atau ilmu yang kita pelajari, pendidikan, makanan, semuanya hasil pemberian yang kita terima.
Kakak mengibaratkan hidup manusia seperti teko tempat air minum yang ketika diisi air terus-menerus, airnya akan tumpah. Air dalam teko harus dituang ke dalam gelas, setelah itu baru bisa diisi kembali. Begitupun dengan manusia harus mau berbagi, hingga proses masuknya pengetahuan dan pengalamam baru ke dalam diri akan jauh lebih lancar.
***
Mengenang Kakak mengingatkan saya pada satu istilah yang dulu sering beliau katakan sembari tertawa, “Yang kakak lakuin ini adalah apa yang disebut dengan entreprenersleep, Wan. Hahaha,” kelakar Kakak yang punya kebiasaan tiba-tiba suka mengantuk di tengah rapat redaksi.
“Kakak narkolepsi?” tanya saya khawatir sekali waktu.
Sampai hari ini pertanyaan saya tidak pernah ia jawab. Sama seperti alasan-alasannya melahirkan wadah kreasi untuk pemuda-pemuda Banten: Banten Muda Community, tabloid Banten Muda, dan media dalam jaringan biem.co. Kakak yang sempat-sempatnya menyediakan waktunya untuk membina ratusan relawan di Istana Belajar Anak Banten (Isbanban) yang digawangi Panji Aziz Pratama.
Untuk mendapatkan buku Tentang Orang yang Memasangkan Sayap Kecil di Pundak Para Pemimpi silahkan klik disini.
Saya rasa, salah satu cara membuat Kakak bahagia adalah dengan membagi kebahagiaanya kepada orang lain. Entahlah, kelakarnya tentang entreprenersleep tiba-tiba menjadi serius di benak saya. Kakak memang layak disematkan gelar itu dengan kiprahnya membangun karakter anak muda di tanah kelahirannya—Banten. Kakak adalah sosok yang memiliki keyakinan kokoh untuk mengubah dunia di sekitarnya menjadi lebih baik. Beliau adalah pribadi yang terus berinovasi dan menemukan ide-ide baru yang kadang membuat kami di Banten Muda terkaget-kaget. Itulah nyawa entreprneur yang menyala terang di dada Kakak. Dan yang membuat saya begitu menghormatinya sebagai panutan, semua yang ia lakukan itu selalu berorientasi kepada benefit, bukan profit semata. Ialah sang entrepneursleep kebanggan saya. Ia yang memberdayakan dalam diamnya. (Red)
Setiawan Chogah – penulis adalah Personal Growth & Financial Storyteller kelahiran Nagari Atar, Sumatra Barat. Darah Minangkabau yang mengalir di tutbuhnya membuat Setiawan tak asing dengan tradisi merantau. Pada 2008, penulis kumpulan cerpen SMS Terakhir ini hijrah ke Banten dan berkarya di negeri yang ia sebut sebagai “Tanah Tempat Cinta Terserak dan Tumbuh”. Tulisan-tulisannya yang kental dengan nuansa lokalitas dapat ditemui dalam buku Berjalan Menembus Batas (Bentang Pustaka, 2012), Gilalova 2 (Gong Publishing, 2010), SMS Terakhir (Penerbit Andi, 2013), Wrangka (Banten Muda Kreasindo, 2018). Buah imajinasinya juga kerap menghiasi sejumlah majalah dan surat kabar seperti Majalah Story, Tabloid Gaul, Tablhjbkjhoid Top Idol Indonesia, Harian Tribun Jabar, Harian Radar Banten, Majalah Sabili, Majalah Annida, dan lain-lain. Setiawan juga pernah menjadi editor pribadi Agnes Davonar dalam karya Bidadari Terakhir (Intibook Publisher, 2013) dan kisah novel ini diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama pada 2015. Pada 2013, Ia juga terlibat dalam film pendek Ki Wasyid: Di Balik Jihad Sang Pejuang 1888 besutan sutradara Darwin Mahesa dengan peran sebagai Ki Ismail.
Cintanya terhadap Banten membuat lulusan Teknik Industri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini betah berkarya di Negeri Jawara. Bersama Irvan Hq dan Rizal Fauzi, ia turut membidani lahirnya media dalam jaringan biem.co dan didapuk sebagai Pemimpin Redaksi pada 2016. Setiawan juga pernah berkarier di bidang filantropi selama lima tahun di Dompet Dhuafa Banten. Kini, ia meneruskan berkarya sebagai konsultan dan kreator digital dengan mendirikan startup dezain.in serta sebagai co-founder di rintisanstartup.com. Untuk mengenal Setiawan lebih jauh, dapat dikontak melalui www.setiawanchogah.com atau Instagram @setiawanchogah.