biem.co — Suatu hari ketika media massa lokal memuat informasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang Daftar Calon Tetap untuk DPRD Kabupaten/Kota, mata saya terbelalak ketika membaca nama yang tidak asing bagi diriku.
Ya… itu memang nama saya. Saya ternyata lolos menjadi Calon Tetap untuk mengisi posisi legislatif di kota saya. Nama saya terpampang dengan gagah di bawah bendera partai politik baru yang dengan berani akan membiayai seluruh dana yang dibutuhkan untuk menjalani proses menjadi wakil rakyat. Artinya, saya tidak perlu berpikir keras untuk urusan ongkos politik yang akan ditimbulkan, sehingga saya hanya berpikir bagaimana caranya menjadi seorang wakil rakyat yang profesional. Wakil rakyat yang bekerja sebagai perwakilan rakyatnya dalam memperjuangkan kehidupan masyarakatnya menuju penghidupan yang sejahtera, adil dan makmur.
Sesaat setelah membaca koran tersebut, saya langsung menyimak kembali buku karya Jamil Azzaini yang mengatakan bahwa salah satu kunci sukses adalah harus memiliki 3-ON, yaitu Vission-Action-Passion.
Vision sudah saya miliki sejak awal era reformasi bergulir, bahwa saya memimpikan sosok seorang wakil rakyat yang benar benar berjuang untuk kepentingan rakyat sesungguhnya, bukan kepentingan rakyat yang dalam bahasa Jawa Serang berarti istri/keluarga/kerabat. Dan untuk menjadi wakil rakyat yang sesungguhnya, maka sudah seharusnya tidak dibebani biaya politik yang kelak akan di re-imburse (diminta penggantiannya) manakala sudah mulai bekerja sebagai wakil rakyat. Hal inilah yang menyebabkan banyak wakil rakyat nyambi sebagai pengusaha atau minimal menjadi broker proyek APBD.
Guna mendukung vision tersebut, maka sejak reformasi bergulir, saya berusaha memperhatikan partai-partai yang tidak mencari setoran dari anggotanya yang kebetulan bekerja sebagai wakil rakyat. Dan ternyata harapan saya terkabul manakala lahir sebuah partai yang tidak membebani calegnya dengan uang setoran yang sangat besar, meskipun di tingkat daerah tetap saja ada oknum oknum pengurus partai yang memperkaya diri dengan memeras setoran dari para anggotanya.
Baca Juga: 4 Janji Palsu dan Kemunafikan Politik
Di samping action di atas, aksi lain yang saya persiapkan guna pencalegan ini adalah dengan banyak mempelajari buku-buku terkait permasalahan pemerintah daerah di mana legislatif menjadi salah satu unsur kepemerintahannya (governance). Dan saya pun berkeliling kepada sejumlah mantan anggota DPRD dan yang masih aktif guna mengetahui jebakan-jebakan halus yang disiapkan oleh mitra kerja DPRD guna membungkan aspirasi anggota dewan dalam menjalankan aktivitasnya.
Di antara informasi yang saya dapat bahwa memang teramat sangat banyak sekali godaan-godaan yang bisa mengganggu saya dalam menanggung amanah sebagai wakil rakyat. Sebut saja menurut mereka, manakala pertama kali hendak dilantik-pun sudah mulai banyak pihak penguasa dan pengusaha yang mau membuatkan jas dan membelikan sepatu mahal yang akan dipakai untuk prosesi pelantikan, dan hari pertama masuk kerja sebagai anggota legislatif sudah mulai disodorkan berbagai brosur kendaraan roda empat, mulai harga Rp100 juta hingga Rp500 juta, dan hebatnya manakala kita berusaha menolak karena tidak ada uangnya, maka saat itu juga beberapa senior mengatakan bahwa ada fasilitas pinjaman lunak dari Bank milik daerah. Hmm… tawaran yang sulit untuk ditolak.
Dan sejak hari itu, kita sudah mulai memiliki utang yang akan mengurangi jatah honor dan pendapatan yang akan dibawa ke rumah. Dan hari-hari berikutnya mulai banyak proposal dari konstituen yang memohon bantuan berbagai kegiatan, belum lagi proposal dari anggota partai politik tempat kita bernaung, pokoknya hal hal tersebut akan menguras pendapatan yang kita terima setiap bulannya.
Dan seiring berjalannya waktu, konon manakala mulai terasa pendapatan resmi menipis dan tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, maka otak mulai berpikir keras mencari pendapatan di luar jalur resmi. Eeeeee… pucuk dicinta ulam pun tiba, ternyata melihat teman teman anggota DPRD yang lain banyak yang mulai ‘memainkan’ proyek-proyek APBD yang dikelola oleh mitra kerja sesuai masing-masing komisi. Malah kalau pas kepepet dan tidak ada proyek APBD, maka proyek politisi pun bisa dimaikan setiap saat. Kan yang namanya kepala daerah juga manusia, jadi pasti ada saja kesalahan yang bisa dibidik oleh DPRD melalui penggunakaan hak-hak yang dimilki, sebut saja interpelasi yang biasanya cukup ampuh untuk membuat kepala daerah merinding disko.
Dan bila sang kepala daerah merinding disko, maka dengan mudah para Anggota DPRD melakukan gertakan guna mendapatkan ‘biaya damai’ sebagaimana kebiasaan oknum polantas yang men-86-kan pelanggaran lalu lintas.
Mendengar cerita di atas, lalu saya berpikir kapan saya memenuhi passion saya untuk melayani masyarakat, kalau selalu disibukkan dengan aktivitas memenuhi kebutuhan perut saja? Ooooo… ternyata ada masanya, yang disebut masa reses, yaitu saat para anggota DPRD menemui konstituennya untuk mendengarkan aspirasi dan menjaring inspirasi atas permasalahan-permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hanya itukah? Ya betul, secara resmi hanya itulah waktu yang disediakan dan dibiayai oleh negara untuk menjaring aspirasi langsung ke bawah.
Baca Juga: Boyke Pribadi: Prediksi Masa Depan
Wah… padahal dalam benak saya, setiap hari dan bahkan setiap saat seharusnya seorang wakil rakyat siap mendengarkan curhatan rakyatnya yang sedang galau. Bahkan sebelum terpilih sebagai wakil rakyat pun saya akan memampangkan nomor telepon saya pada poster-spanduk- dan baliho yang akan saya buat agar siapapun masyarakat dapat ber-interaksi dua arah dengan calon wakilnya.
Tidak seperti poster narsis saat ini yang hanya menampilkan wajah saja tanpa ada keinginan untuk berkomunikasi dua arah. Dan kalaupun terpilih, maka setiap hari saya akan mengawal setiap aspirasi yang masuk dari konstituen saya, karena tokoh tugas wakil rakyat adalah mewakili kepentingan rakyatnya dalam setiap kebijakan dan program pembangunan daerah.
Dalam memenuhi passion sebagai wakil rakyat, maka bagi masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasinya (demonstrasi) tidak seharusnya bolak-balik melakukan demo sampai aspirasinya terkabulkan. Bagi saya setiap ada demo dari masyarakat yang berasal dari dapil di mana saya terpilih, saya akan mengawal dan mengantarkannya kepada komisi atau dinas terkait, dan setelah mereka menyampaikan aspirasinya, maka menjadi kewajiban saya untuk selalu memonitor proses perkembangan dari aspirasi yang disampaikan tersebut, dan akan dilaporkan secara berkala kepada perwakilan yang melakukan demo tersebut, sehingga masyarakat tidak perlu direpotkan berkali-kali melakukan unjuk rasa tanpa ada hasilnya.
Setelah terpenuhi 3-ON tersebut tiba saatnya saya mengkalkulasi kebutuhan dana yang akan saya sampaikan kepada partai di mana saya bernaung. Setelah saya jumlahkan berbagai item dari yang terkecil sampai yang terbesar maka mata saya terbelalak! Dibutuhkan dana Rp2,7 miliar guna melaksanakan berbagai rencana aksi yang strategis bagi memuluskan rencana saya menjadi wakil rakyat, dengan biaya terbesar adalah pengkondisian suara oleh panitia pelaksana yang siap mencoblos foto saya pada kartu suara yang tidak terpakai.
Okelah kalau begitu, lalu seketika saya meraih handphone guna menghubungi petinggi partai yang menjanjikan bantuan dana bagi para calon legislatifnya. Manakala saya sampaikan jumlah dana yang dibutuhkan, bak petir di siang bolong mendengar jawaban dari sang petinggi partai tesebut. “Emangnya itu duit nenek moyangmu! Mendirikan partai ini saja membutuhkan biaya ratusan miliar, masa kamu mencalonkan diri hanya bermodal kolor saja?”.
Sontak kepala saya pening, dan saya kaget ketika ada kucing yang meloncat di pangkuan saya, lalu saya terbangun. Ooo… ternyata itu hanya mimpi, lagian mana bisa saya sebagai PNS mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, he he he.***