“Kebenaran tak mencari pembenaran, dan keadilan tak mengenakan kedok manis. Kebijakan yang sejati adalah yang berpihak pada rakyat, bebas dari manipulasi kata-kata yang menyembunyikan kenyataan di baliknya.”
BANTEN, biem.co – Sogokan hasanah, jablay syariah, narkoba muamalah. Tiga istilah yang dulu mungkin terasa asing, tapi sekarang malah sering kita dengar, dan—anehnya—terasa makin dekat. Sogokan hasanah, jablay syariah, narkoba muamalah. Sebuah upaya yang semakin terlihat jelas untuk membungkus makna yang sesat, dengan pembungkus yang lebih mudah diterima. Semuanya terasa “lebih halal”, lebih “bersih”, lebih “sah”. Tapi, apa kita benar-benar percaya begitu saja? Atau kita sedang diajak untuk percaya pada kebohongan dengan bumbu-bumbu manis yang memikat?
Dalam dunia ini, seringkali kata-kata indah dan label yang menawan menutupi kenyataan yang jauh lebih pahit. Sogokan bukan lagi sekadar sogokan, jablay bukan lagi sekadar jablay, narkoba bukan lagi narkoba. Semua berubah menjadi sesuatu yang lebih “terhormat”, lebih “terbela”, lebih “bernilai”. Tetapi, di balik itu semua, ada pertanyaan besar: Apakah kita rela menerima semua ini begitu saja? Atau kita justru harus membuka mata lebar-lebar, dan mempertanyakan makna sejati di balik setiap kata yang disuguhkan?
Diksi yang Mengelabui
Pernah dengar pernyataan Fadli Zon yang menyebut korupsi sebagai “oli pembangunan”? Di dunia politik, kalimat semacam itu bisa jadi bikin kita terkejut, bahkan tertawa geli. Tapi, entah kenapa, ada saja yang percaya. Bahkan ada yang menganggap bahwa korupsi bisa jadi penggerak ekonomi, seakan-akan itu adalah cara pintas untuk mempercepat pembangunan. Di sisi lain, ekonom Rimawan dari UGM langsung angkat bicara, menegaskan bahwa ide itu bukan hanya salah, tapi berbahaya. Korupsi, katanya, malah justru merusak perekonomian negara dan menghambat kemajuan yang seharusnya (Hasanah, nd.).[1]
Lalu, kita bertanya-tanya: apakah ini hanya sebuah kesalahpahaman, atau justru kita sudah terlanjur menerima alasan-alasan yang salah? Seringkali, alasan yang manis bisa menutupi kenyataan yang pahit. Jadi, mari kita berhenti sejenak dan berpikir: apakah kita terlalu sering menerima alasan-alasan yang terdengar “logis”, meski sesungguhnya penuh dengan kepalsuan?
Politik itu seperti permainan kata-kata. Istilah baru sering muncul, seolah memberi pembenaran atas hal-hal yang sebenarnya tidak bisa dibenarkan. Tapi, justru di sinilah letak jebakannya: kita seringkali disodori kata-kata indah yang menutupi realitas pahit.
Seolah-olah, kebijakan atau tindakan yang salah, tiba-tiba jadi sah hanya karena diubah namanya. Makanya, kita harus terus berhati-hati dan kritis. Jangan sampai kita terlalu mudah menerima label-label tanpa benar-benar memahami makna sesungguhnya di baliknya.
Politik penuh dengan diksi yang mengelabui, dan kita—sebagai bagian dari masyarakat—harus mulai sadar. Jangan sampai kita terbawa arus dan menerima segala sesuatu begitu saja. Kita perlu bertanya, mengkritisi, dan memahami makna yang tersembunyi di balik setiap kata. Hanya dengan begitu, kita bisa mulai melihat apa yang sebenarnya terjadi, dan tidak terjebak dalam permainan kata-kata yang hanya membuat kita semakin bingung.
Makna Sogokan yang Semakin Kabur
Dalam pembahasan revisi UU Minerba, muncul pertanyaan polos dari seorang anggota dewan: “Apakah pemberian konsesi tambang oleh pemerintah kepada ormas bisa dianggap sogokan untuk membungkam kritik?” Pertanyaan ini seakan membuka kotak Pandora yang berisi ketegangan antara kebijakan pemerintah dan kenyataan politik yang kerap dipenuhi permainan kata.
Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla, dengan gaya khasnya yang tenang namun tajam, menjawab santai bahwa itu adalah “sogokan hasanah”—hadiah kebaikan yang seharusnya tidak perlu dipertanggungjawabkan oleh KPK. Candaannya bisa mengundang tawa, tetapi di balik tawa itu, ada sebuah pertanyaan besar yang tidak bisa kita abaikan: Apa yang dimaksud dengan sogokan? (Hartati, 2023)[2]
Sogokan seharusnya tidak hanya sekadar pemberian uang atau materi untuk keuntungan pribadi. Lebih dari itu, sogokan adalah alat untuk mendapatkan sesuatu yang tidak sah, yang seringkali merugikan kepentingan umum. Dalam politik, istilah ini bisa mencakup lebih banyak hal—seperti pembungkaman kritik atau menciptakan kesetiaan palsu yang menutupi kebijakan yang seharusnya adil.
Ketika kebijakan pemerintah, yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, bisa disalahartikan sebagai sogokan, kita mulai melihat bagaimana kekuasaan bisa dimanipulasi. Dalam hal ini, kebijakan yang diberi label “sogokan hasanah” bukan lagi soal pemberian yang sah, tetapi sebuah imbalan untuk membuat orang diam, untuk menutup suara-suara kritis yang penting bagi masyarakat.
Politik sering kali berputar di sekitar permainan kata. Di satu sisi, kita harus melihat kebijakan dari sudut pandang yang lebih luas—bukan hanya dari diksi atau label yang diberikan. Jangan sampai kita tergoda dengan istilah yang indah tapi penuh kepalsuan. Kebijakan yang seharusnya berpihak pada rakyat, justru bisa berubah menjadi alat untuk memanipulasi dan memperpanjang ketidakadilan.
Ketika kebijakan hanya dinilai dari satu sudut pandang, kita bisa kehilangan esensi sesungguhnya. Kebijakan yang benar harus adil dan transparan, tidak dibungkus dengan istilah ambigu yang bisa menutupi kenyataan.
Dilema Moral dalam Kebijakan Pemerintah
Politisi Saleh Partaonan Daulay mengungkapkan keprihatinannya: kebijakan seperti pemberian izin tambang ini bisa membuat ormas atau masyarakat yang seharusnya kritis terhadap pemerintah menjadi diam. Hal ini membuka dilema moral yang tak mudah untuk dijawab. Apakah kita akan menerima kebijakan yang semu ini, atau berani mengkritisinya? Di sinilah pentingnya keberanian untuk berbicara, meskipun kebijakan tersebut dibungkus dengan label yang menggiurkan. (Banten Raya, nd.)[3]
Makna dari sogokan semakin kabur. Bukan hanya sekadar pemberian materi, tetapi juga bagaimana kebijakan bisa disalahartikan untuk menutupi ketidakadilan yang lebih besar. Kata-kata indah sering digunakan untuk menyembunyikan kebohongan. Sebuah kebijakan yang baik seharusnya jelas, tidak perlu dibungkus dalam istilah ambigu yang mengaburkan kenyataan.
Tentu saja, politik sering menawarkan kenyamanan semu dengan kebohongan yang dibungkus rapi. Namun, kenyamanan ini hanyalah kedok untuk menutupi ketidakadilan yang lebih besar. Kebijakan yang baik harus jelas dan berpihak pada rakyat, tanpa perlu disembunyikan di balik label-label manis yang menipu. Politik, pada akhirnya, harus kembali ke prinsip dasar: membawa manfaat untuk semua, bukan hanya segelintir orang.
Jika kita terus terjebak dalam permainan kata dan diksi sempit, kita akan kehilangan esensi dari kebijakan itu sendiri. Keberpihakan pada keadilan adalah kunci untuk menciptakan kebijakan yang benar-benar berfungsi untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk membungkam kebenaran di balik istilah-istilah yang terbungkus rapih.
Di akhir cerita
Di akhir cerita ini, kita kembali dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang tak bisa diabaikan: apakah segala istilah yang sering digunakan untuk membungkus praktik curang—seperti sogokan, hadiah, atau bahkan yang lebih terselubung seperti “sogokan hasanah”—dapat benar-benar menyembunyikan kenyataan? Seperti halnya dunia politik yang sering kali menyembunyikan kebohongan di balik lapisan-lapisan indah, kebijakan apa pun yang diambil seharusnya berfokus pada satu tujuan: keadilan. Namun kenyataannya, sering kali kebijakan itu malah memperburuk ketidakadilan yang sudah ada.
Dunia politik memang penuh dengan paradoks. Setiap kebijakan yang muncul bisa saja diperdebatkan dengan pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”. Namun yang lebih penting untuk kita kritisi adalah apakah kebijakan tersebut benar-benar untuk kesejahteraan rakyat, atau justru hanya untuk membeli kesetiaan, menutup suara-suara kritis, atau menutupi ketidakadilan yang lebih besar? Dalam konteks ini, segala istilah—baik itu sogokan, korupsi, atau bahkan “sogokan hasanah”—tidak akan pernah bisa menghapuskan fakta yang sesungguhnya. (Biem.co, 2024)[4]
Seperti yang sering diingatkan Paulo Coelho dalam karya-karyanya, kita sangat mudah tergoda oleh kenyamanan semu yang datang dari kebohongan. Kita sering kali mencari alasan atau pembenaran atas kenyataan yang tak sesuai dengan hati nurani kita, hanya karena merasa lebih nyaman dengan versi dunia yang lebih mudah dipahami. Tapi kenyamanan itu, pada akhirnya, hanyalah kedok dari ketidakbenaran yang seharusnya kita hadapi dengan lebih jujur.
Di sinilah kita seharusnya memulai langkah kita ke depan—baik dalam kebijakan maupun dalam hidup. Langkah-langkah itu harus mengarah pada keadilan, bukan semakin tenggelam dalam kebohongan yang dibungkus pembenaran. Dunia yang kita impikan adalah dunia yang bebas dari kebohongan, yang tertutupi kata-kata manis dan janji palsu. Dunia yang sesungguhnya berlandaskan pada keadilan yang merata, bukan hanya untuk segelintir orang, tetapi untuk kita semua.
Pada akhirnya, sebuah kebijakan yang benar dan adil tidak perlu bersembunyi di balik istilah-istilah ambigu. Kebijakan yang sesungguhnya berpijak pada keadilan adalah yang mampu menciptakan kebaikan bagi semua, bukan hanya bagi mereka yang berada di puncak kekuasaan. Karena, keadilan sejati akan selalu berbicara dengan jelas, tanpa perlu disembunyikan di balik kata-kata indah yang hanya menutupi kenyataan. (Red)
Bung Eko Supriatno, Penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.
DAFTAR PUSTAKA
- Banten Raya. (nd). Arteria Dahlan: Noda Hitam Rasisme Bahasa. Diakses dari https://www.bantenraya.com
- co. (2024). Bahasa Rindu Tuhan. Diakses dari https://www.biem.co
- Hartati, S. (2023). Keadilan Hukum Bagi Orang Miskin. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Diakses dari https://www.badilag.net
- Hasanah, M. (nd). Keadaan Sosial Politik di Zaman Modern. Diakses dari https://www.kompasiana.com
[1] Hasanah, M. (nd). Keadaan Sosial Politik di Zaman Modern. Kompasiana. Diakses dari https://www.kompasiana.com
[2] Hartati, S. (2023). Keadilan Hukum Bagi Orang Miskin. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Diakses dari https://www.badilag.net
[3] Banten Raya. (nd). Arteria Dahlan: Noda Hitam Rasisme Bahasa. Diakses dari https://www.bantenraya.com
[4] Biem.co. (2024). Bahasa Rindu Tuhan. Diakses dari https://www.biem.co