KabarOpiniTerkini

Refleksi 97 Tahun Sumpah Pemuda: Saat Persatuan Hanya Hidup di Panggung Seremonial

Oleh: Akbar Mujadid Nusantara

BANTEN, biem.coSembilan puluh tujuh tahun telah berlalu sejak para pemuda Nusantara berikrar dalam satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Namun kini, gema sumpah itu terdengar semakin sayup, tertelan riuh perayaan yang lebih banyak menonjolkan simbol daripada substansi. Tiap 28 Oktober, kita menyaksikan bendera dikibarkan, lagu perjuangan dikumandangkan, dan orasi-orasi heroik diucapkan. Tetapi selepas itu, persatuan kembali kehilangan ruang dalam praktik keseharian bangsa. Sumpah Pemuda seakan hidup hanya di panggung seremonial, tanpa benar-benar menyalakan kesadaran kolektif tentang makna “menjadi Indonesia”.

Jika Sumpah Pemuda 1928 lahir dari kegelisahan terhadap penjajahan, maka refleksi hari ini semestinya lahir dari kegelisahan terhadap perpecahan. Persatuan yang dulu menjadi kekuatan melawan kolonialisme, kini terancam oleh kolonialisme gaya baru: fanatisme identitas, politik kepentingan, dan ketimpangan sosial. Di ruang publik dan media sosial, perbedaan pandangan kerap berubah menjadi permusuhan. Semangat “satu bahasa” yang dulu menjadi simbol komunikasi lintas batas, kini tereduksi oleh ujaran kebencian dan disinformasi yang memecah belah.

Pemuda hari ini hidup di era digital yang memberi peluang besar untuk bersuara, tetapi juga jebakan besar untuk kehilangan arah. Mereka mudah bersatu dalam tren, namun sulit bersatu dalam nilai. Banyak yang aktif dalam tagar dan kampanye daring, tapi sedikit yang mau turun tangan menyentuh realitas sosial. Padahal, jika semangat 1928 dimaknai ulang, pemuda bukan hanya pewaris sejarah, melainkan pencipta arah baru bangsa. Tugas mereka bukan sekadar mengingat, tetapi menerjemahkan makna persatuan ke dalam tindakan nyata di kampus, di jalan, di dunia kerja, dan di ruang digital.

Refleksi 97 tahun Sumpah Pemuda juga menuntut keberanian untuk bertanya: apakah kita sungguh merdeka dari sekat primordialisme? Apakah bangsa ini telah tumbuh dalam kesetaraan dan rasa saling percaya? Persatuan sejati bukan tentang keseragaman, melainkan kemampuan merayakan perbedaan dalam bingkai kemanusiaan. Sayangnya, narasi ini kerap tenggelam di tengah logika politik yang justru menunggangi perbedaan demi keuntungan elektoral. Akibatnya, sumpah yang dulu menyatukan kini justru terpecah di bawah bayang-bayang kekuasaan.

Kita memerlukan semangat baru Sumpah Pemuda yang hidup kembali dalam kesadaran sosial, bukan hanya dalam upacara. Pemuda masa kini harus berani menjadi jembatan, bukan tembok; pembaharu, bukan pengikut arus. Mereka harus mampu membawa nilai-nilai keindonesiaan ke ranah yang lebih konkret: menghapus intoleransi, melawan korupsi, memperjuangkan keadilan sosial, dan menegakkan kebenaran tanpa pamrih.

Refleksi ini bukan sekadar nostalgia atas masa lalu, tetapi pengingat bahwa bangsa ini dibangun dari tekad untuk bersatu melampaui sekat. Ketika perbedaan kian dipertajam dan empati kian langka, tugas pemuda adalah menghidupkan kembali sumpah itu bukan di bibir, bukan di baliho dan membuat kajian diskusi publik yang hanya sebagai seremonial tanpa solusi kongkrit, tapi di hati dan tindakan. Karena tanpa kesadaran itu, Sumpah Pemuda akan terus menjadi ritual tahunan yang kehilangan ruhnya: sebuah ikrar yang megah di panggung, tapi sunyi di kehidupan nyata. (Red)

Akbar Mujadid Nusantara, penulis adalah  kader Himpunan Mahasiswa Islam komisariat hukum Untirta.

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button