Judul: Titik Balik
Penulis: Rani Rachmani Moediarta
Penerbit: Exchange
Tahun terbit: Juni 2015
Genre: Novel
Tebal: 272 halaman
biem.co – Apa jadinya jika ‘kedatangan’ seseorang yang dianggap nyata dan mengembuskan makna kehidupan yang mengubah pola pikir dalam menjalani hidup? Ya, inilah yang diceritakan Rani Rachmani Moediarta pada novel 272 halamannya, melalui tokoh “aku” (Neng) dengan Avatar Wizard.
Buku bersampul gradasi biru, hijau, dan kuning dengan perempuan duduk di perahu di atas air berlatar matahari tenggelam ini memang sangat unik. Menelusuri halaman demi halaman buku ini seperti membaca perjalanan nyata seseorang dalam bingkai fiksi. Ini diperkuat dengan pernyataan penulis sebelum merangkai kisah bab per bab dalam novel. “Ini adalah fiksi berdasarkan kisah nyata. Sebagian nama dan tempat telah diubah untuk melindungi privasi. Mengapa fiksi ini didasarkan kisah nyata? Sebagai penulis cerita, aku ingin menulis sendiri cerita pribadi seorang yang paling dekat dan paling ingin kukenal lebih dekat lagi selama hidupku: diriku sendiri. Selebihnya, aku hanya ingin berbagi petualangan yang teramat jauh ke tempat yang paling dekat: ke dalam diri sendiri.”
Berlatar Pulau Kepa di Nusa Tenggara, novel ini diantar banyak endorse dari berbagai penulis dan praktisi media. Untuk mengosongkan diri dari pengaruh apapun, ada baiknya tak perlu membaca endorsment. Endorsment-endorsment berisi pujian tersebut ada baiknya dibaca saja di akhir, barulah pembaca akan mengerti mengapa beragam pujian itu hadir. Baiklah, sebelum menjelaskan makna di balik judul tulisan ini, simak rangkaian cerita yang diungkap Rani.
Kilas Balik
Tokoh “aku” diceritakan bekerja sebagai jurnalis. Ia mengambil cuti panjang setelah dua tahun bekerja tak mengambil cuti. Tujuannya adalah Nusa Tenggara yang digambarkan mirip kampung Aku dulu di tepi sungai Kapuas, Kalimantan Barata. Suasananya alami.
Pada halaman 73 digambarkan siapa tokoh “aku”. “….ayahku adalah seorang guru ikatan dinas yang ditugaskan mengajar di sekolah guru di Sambas dan ia jatuh cinta pada ibuku, salah seorang muridnya. Setelah ikatan dinasnya selesai, ibuku diboyong pulang ke Majalengka, Jawa Barat.”
Cerita mengalir saat “aku” bertemu dengan lelaki asing bertubuh raksasa; jangkung, berkulit putih tembaga, wajah tirus berkacamata tebal yang melindungi sepasang mata hijau Pantai Alor. Ini ada di halaman 28. Lelaki yang akhirnya dipanggil Avatar Wizard ini mengaku sebagai freelancer naturopath. Bersama Avatar-lah, tokoh “aku” menghabiskan masa liburan dengan berbagi kisah masa lalu.
Lalu titik baliknya di mana? Boleh jadi bagi pembaca yang kurang sabar, akan menebak ada di bab 5, saat tokoh “aku” mengenang tinggal di Pontianak yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia. “Aku” menjadi anak titipan dan akrab dengan Yayan, anak dari seorang ayah bersuku Bugis dan ibu bernama Bu Siti bersuku sunda yang digambarkan pelit.
Titik balik mengenang masa lalu yang dicetak miring ini pun diceritakan di bab 6, Andai Aku Terbang. Di sini, “aku” menjelaskan tentang perceraian ibu dan bapaknya. Mungkinkan titik balik yang dimaksud adalah mengenang masa lalu?
Jangan terburu-buru. Nikmati saja cerita dengan lokalitas yang menjadi salah satu daya tarik novel ini. Pada bab Rahasia Kak Diah, lokalitasnya sangat terasa, mulai dari bahasa daerah yang dipakai juga mitos yang dijabarkan. Ini dijelaskan salah satu tokoh bernama Kak Long Hindun tentang mitos anak perawan hamil yang ditandai jika ada ayam berkokok sore hari.
“Oi ayam bekokok Magrib–magrib, ni! Nak dare mane pulak yang bunting ni ha?” begitulah sepenggal dialog berbahasa daerah yang menjadi penguat lokalitas.
Masih di bab yang sama, pembaca diajak tersenyum bahkan terbahak saat tokoh “aku” penasaran tentang mengapa wanita bisa hamil. Atas saran Kak Long Hindun, ia mengintip pengantin baru dengan berpura-pura mancing. Astaga!
Lokalitas ini masih terus berlanjut pada halaman 100 yang menjelaskan asal-usul nama Pontianak. Sementara pada halaman 115 dijelaskan tentang loya, sebutan dalam bahasa Cina untuk seseorang yang dianggap punya kekuatan supranatural.
Begitulah, tokoh “aku” menceritakan masa lalunya. Pun di bab berjudul Buntut. Tentu sangat mengherankan, mengapa Avatar betah sekali mendengarkan “aku” bercerita, padahal Avatar dijelaskan sebagai seorang berkebangsaan asing yang sesekali menggunakan bahasa Inggris? Apa perlunya? Inilah rahasia yang tetap dijaga sang penulis hingga akhir cerita.
Titik Balik
Penggalan-penggalan cerita “aku” ini, menjadi sebuah kesimpulan bagi Avatar. “Kamu hidup di sepotong surga. Kehidupan yang kamu alami dulu itu ibarat sepotong surga di bumi,” begitu kata Avatar pada halaman 119.
Banyak kalimat menohok yang patut dijadikan quote melalui komentar Avatar saat berdialog dengan tokoh “aku”. Pada bab 10 berjudul Jaring-jaring Kehidupan misalnya. Pada halaman 124 tertulis, “Manusia tidak merajut jaring-jaring kehidupan. Setiap kita hanyalah sehelai benang pada jaring-jaring itu. Apapun yang kita lakukan pada jaring-jaring itu akan mengena ke diri kita sendiri. Setiap hal terikat satu sama lain, semua saling terhubung.”
Sementara pada halaman 125 dijelaskan, mayoritas kita meyakini hidup ini sulit dan rumit; bahwa kita harus selalu bergulat, berjuang, dan bahkjan berperang dulu untuk mendapatkan yang kita inginkan. Kalimat yang butuh perenungan bukan?
Pada halaman 150 perenungan itu masih berlanjut. Bahkan tentang sesuatu yang lebih berat. Avatar menjelaskan apa yang dianggap nyata adalah segala sesuatu yang dapat didengar, lihat, sentuh, raba, dan cicipi, namun sesungguhnya tidak senyata seperti yang dianggap nyata orang kebanyakan selama ini. Semua yang nyata hanyalah laporan dari pencerapan indra kepada otak masing-masing, hanya ilusi. Maya.
Astaga. Ini sangat dalam bukan? Tak heran jika pada halaman 17 dijelaskan mengapa tokoh “aku” sangat suka segala sesuatu berkaitan dengan psikologi. “….Tetapi kemudian setelah aku bekerja, dalam tugasku menulis sebagai jurnalis, aku berkesempatan membaca banyak artikel, termasuk penelitian psikologi di luar negeri.” Itulah yang tertulis di halaman tersebut.
Jika pada bab-bab sebelumnya, mungkin pembaca dibuat bingung, apa pentingnya “aku” menceritakan pengalaman masa lalunya yang dituangkan dalam banyak bab? Nah, semua itu terjawab di bab 11 berjudul Pulang ke Dalam. “Tahukah kau mengapa kau begitu mudah mengingat berbagai kejadian yang kau alami di kampungmu dulu? Itu karena kamu mengalami semuanya dengan perhatianmu yang masih utuh.” Itu kalimat yang dilontarkan Avatar.
Tentang alasan pulang, dijelaskan dalam halaman 166. “Hanya dengan belajar sesekali ‘pulang’ begini, manusia mampu melanjutkan perjalanannya lagi dengan semangat baru dan tujuan yang baru.”
Sebagai bekal ‘pulang’, bisa dilakukan dengan berpetualang ke dalam diri sendiri, mengenali diri sendiri. Kelak, ini menjadi titik balik tokoh “aku” menjadi “aku” ‘yang baru’ setelah pulang dari Pulau Kepa.
Ini semua terangkum dalam bab 12, Jagat Besar Jagat Kecil. Jagat kecil adalah seluruh pengalaman manusia semasa kecil, mulai janin hingga masa kanak-kanak sedangkan jagat besar dunia yang dihadapi semasa dewasa. Ini terdapat di halaman 181-182.
Pada halaman 184 dijelaskan, setiap orang menjalani hidupnya dengan bekal jagat kecil masing-masing. Tidak jarang, di dalam jagat kecil kita menghimpun polutan pikiran-sampah-sampah. Mulai dari ucapan ibu kita sendiri tentang anak gadis yang tidak suka kerapihan hidupnya akan susah atau ayah yang mengatakan dasar kamu pemalas, tak berguna.
Hal-hal berkaitan penelusuran diri sendiri dengan hal-hal filosofis dari rentetan penjelasan panjang dari tokoh “aku” ini, memiliki alasan. Sang penulis menjelaskannya pad bab 14, Salah Kaprah. Ya, tokoh “aku” memang doyan dengan hal-hal berkaitan dengan filsafat atau filsuf.
Segala sesuatu yang diajarkan Avatar pada “aku” menjadi bekalnya untuk berubah menjadi orang baru. Meskipun “aku” menyadari, semua hal tersebut bukan hal baru baginya. “Aku” telah mendengarkanya banyak di acara konferensi dunia yang ia hadiri puluhan kali atau ia baca di banyak buku filosofi Zen dan Buddhisme yang digandrunginya akhir-akhir ini. Segela hal berharga dari Avatar ini “aku” catat dan dijadikan sebagai bahan novel, yang mungkin saja menjadi cikal bakal novel Titik Balik ini. Ingat, novel ini seperti diakui penulisnya adalah berdasatkan kisah nyata bukan? Lagipula, “aku” sudah mencatat panjang lebar dalam buku hariannya dan merasakan menemukan akar. Ini bukan hanya menjadi bekal untuk menulis novel tapi juga menjadi “aku” yang baru.
Dan pada bab 15 halaman 214, tokoh “aku” akhirnya menemukan makna pulang. Itulah ‘pulang’ bukan pulang ke suatu tempat nun jauh di sana, melainkan di sini, tempat “aku” tertegun melihat laut lepas ini.
Penjelasan makna sampul juga ada dijelaskan pada bab-bab terakhir. Yakni di saat tokoh “aku” dan Avatar naik perahu menuju matahari yang siap merunduk ke bawah cakrawala. Dijelaskan, makin sore pemandangan laut makin mempoesona, perahu seakan meluncur di riak emas pantulan kilau mentari senja.
Lalu siapakah Avatar yang berhasil mengantarkan “aku” menemukan titik baliknya? Ini dijelaskan di bab terakhir berjudul Titik Balik. Tuntaskan rasa penasaranmu di sana. Inilah daya tarik novel ini. Ending yang mencengangkan, menggugah, atau bahkan memotivasi bagi pembaca yang memiliki pengalaman sama atau mencari jawaban hidup dari permasalahan yang dihadapi. (*)
Review ditulis oleh Hilal Ahmad, predator buku, tinggal di Kota Serang, Banten.