biem.co — Sudah berapa banyak kita membaca buku tentang bagaimana berpikir positif? Sudah berapa lama kita mempelajari buku-buku yang bertemakan tentang bagaimana berjiwa besar?
Sudah berapa tumpuk buku tentang motivasi hidup yang sudah kita bolak-balik halamannya? Sudah berapa series buku pengembangan diri yang sudah kita tuntaskan isinya? Dan sudah berapa bagian dari buku yang kita baca itu mempengaruhi sikap dan perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari?
Akhir Agustus yang lalu ramai diberitakan oleh berbagai media mengenai penangkapan seorang ustaz yang cukup terkenal bernama Gatot Brajamusti saat sedang menggelar pesta sabu di sebuah kamar hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ironisnya, ustaz yang biasa dipanggil Aa Gatot itu baru saja terpilih sebagai Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) untuk yang kedua kalinya.
Delapan tahun yang lalu saya sempat mengikuti leadership mentoring di the Ary Suta Center, Jakarta Selatan. Saya merasa beruntung karena bisa belajar langsung dari mentor pilihan seperti Mochtar Riady, Agung Laksono, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Prabowo Subianto, dan lain-lain. Selama saya mengikuti kegiatan tersebut sesekali saya juga melihat Aa Gatot hadir di sana.
Saya langsung ingat karena waktu itu Aa Gatot tiba-tiba saja namanya menjadi tersohor ketika media mengetahui bahwa Aa Gatot menampung biduanita Reza Artamevia untuk bersembunyi di padepokannya di Cisaat, Sukabumi, setelah Reza mengalami konflik rumah tangga dengan suaminya yang juga seorang aktor terkenal. Semenjak itu, padepokannya ramai dikunjungi para selebritas yang meyakini Aa Gatot mampu mengobati luka batin para pasiennya yang sedang tertekan oleh berbagai masalah.
Tetapi apa yang kemudian terjadi? Aa Gatot yang selama ini dipercaya sebagai guru spiritual dan seharusnya menjadi contoh bagi banyak orang, ternyata diduga kuat sudah lama menjadi pengguna setia narkoba. Tentu saja ini menjadi catatan buat saya bahwa tidak selamanya ilmu itu berbanding lurus dengan akhlak. Sosok ustaz menjadi anomali ketika dalam kehidupan sehari-harinya tidak sesuai dengan apa yang didakwahkan dan diajarkannya selama ini. Misalnya, seorang ustaz yang taat beribadah, tetapi di keluarganya ia menelantarkan anak istrinya. Apalagi ketika ilmu agama yang mereka punya hanya dijadikan alat pembenaran atas perilakunya yang kurang baik.
Sejak kecil kita memang terbiasa belajar hanya untuk mengejar nilai di atas kertas, sehingga nilai moral dan nilai kehidupan tidak lagi menjadi prioritas utama. Maka tidak heran apabila generasi penerus di negeri ini kehilangan orientasi dalam memetakan mimpi-mimpi mereka. Ada calon santri yang memiliki cita-cita menjadi seorang kiai hanya karena ingin dikunjungi oleh banyak pasien yang membawa amplop untuk didoakan atas sejumlah persoalan hidup. Tidak sedikit pula anak muda yang berkeinginan jadi ustaz karena ingin jadi selebritas seperti ustaz-ustaz kondang di televisi.
Maka tidak heran kalau di negeri ini, (mohon maaf) lebih banyak melahirkan komentator andal dibandingkan dengan pemain yang benar-benar andal di lapangan. Kita tidak pernah kekurangan pendakwah, baik itu dakwah lewat lisan maupun dakwah melalui tulisan. Soal menyampaikan pesan kebaikan dan berteori tentang bagaimana menjadi orang baik, kitalah jagonya. Saking jagonya, kadang kita terjebak menjadi orang yang merasa paling benar dan tergelincir menganggap orang lain sudah pasti salah.
Dewasa ini, berdakwah melalui lisan dan tulisan menjadi lebih efektif apabila dibarengi dengan dakwah melalui perbuatan. Artinya, apa yang didakwahkan dicontohkan langsung dalam perbuatan di kehidupannya sehari-hari. Masyarakat butuh role model untuk mendapatkan gambaran secara utuh sesuai dengan yang didakwahkan. Kalau mau jujur, tidak mudah menemukan pendakwah yang ilmunya sesuai dengan perbuatannya.
Dalam konteks yang lebih luas, di dunia perpolitikan, pendidikan, olahraga, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum, persoalan yang sama juga terjadi di berbagai profesi. Dalam persoalan korupsi misalnya, jumlah terbesar dari mereka yang melakukan korupsi justru berasal dari orang-orang yang berpendidikan tinggi, mulai dari sarjana sampai yang bergelar doktor.
Melihat fakta di atas, tidak kemudian menggugurkan kewajiban kita untuk berdakwah dan menuntut ilmu. Dakwah adalah aktivitas yang penting dilakukan oleh semua orang untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akibat dari perbuatan yang tidak baik. Sedangkan ilmu, selain mampu mempertegas perbedaan antara benar dan salah, juga bisa membuat kita menjadi mulia baik dihadapan manusia maupun di hadapan Allah SWT. Dengan demikian, ilmu dapat berbanding lurus dengan akhlak.
Dalam skala yang lebih kecil, saya mencatat bahwa berdakwah itu bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Apa lagi sekarang ada media sosial yang bisa kita maksimalkan manfaatnya, siapa saja bisa kalau hanya sekadar menghafal atau mengutip dari buku-buku yang pernah kita baca. Tetapi yang membuat dakwah itu menjadi amat sangat sulit ketika apa yang kita dakwahkan itu harus tercermin dalam sikap dan perilaku kita sehari-hari.
Berdakwah sesuai dengan kemampuan masing-masing menjadi lebih ideal ketika dakwah yang kita sampaikan tidak hanya melalui lisan atau pun tulisan saja, tetapi juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan dakwah perbuatan. Lebih baik tahu sedikit tetapi diamalkan ketimbang tahu banyak tetapi hanya teori saja. Percuma kita membaca banyak buku tentang motivasi hidup dan pengembangan diri kalau kita masih sering berkeluh kesah dan kehilangan semangat hidup. Untuk apa kita khatam bertumpuk-tumpuk buku mengenai bagaimana berpikir positif dan dan berjiwa besar kalau masih saja berburuk sangka pada orang lain dan belum mampu mengendalikan emosi dalam diri kita?
Lebih baik kita tahu satu ayat tetapi mengamalkannya dengan baik dan benar, walaupun hanya halaman demi halaman yang dibaca, tetapi kita paham betul isinya dan tahu bagaimana mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja pendakwah yang paling ideal adalah pendakwah yang memiliki kompetensi dalam penguasaan ilmu yang hendak disampaikannya dibarengi dengan akhlak yang mulia, dengan kata lain melaksanakan dakwah dengan memulai dari dirinya sendiri. [*]
Baca juga tulisan lain Irvan Hq:
3. Jadi Pemain atau Penonton, Pilihan di Tangan Kita
Irvan Hq adalah CEO biem.co dan Ketua Umum Banten Muda Community. Di sela waktu padatnya bekerja di sebuah perusahaan, Irvan menyempatkan diri untuk terus menulis. Kolom Catatan Irvan ini adalah kanal yang merangkum tulisannya yang memotret berbagai persoalan sosial kehidupan.