biem.co — Banten sudah berusia 17 tahun sebagai provinsi baru di Indonesia, selama dasawarsa itu Banten selalu melakukan upaya pembenahan baik dan segi pembangunan infrastruktur dan suprastruktur. Salah satu ibukotanya adalah Kota Serang yang berdiri sekitar 2007 silam.
Menurut saya, Kota Serang tidak layak sebagai ibukota Provinsi Banten, alasannya adalah penataan ruang tata kota yang semrawut dan acak- acakan.
Sebagimana pendapat pakar kota dan lingkungan, Ir. Ikaputra M Eng, Ph.D, ada empat tolak ukur kota yang baik. Pertama, tata kota itu harus berfungsi baik dan optimal. Kedua, kota harus memiliki sirkulasi, salah satu indikatornya adalah transportasi publik harus baik, karena kalau buruk maka kota tersebut tidak layak atau tidak baik sehingga masyarakat tidak bisa melakukan aktivitas berpindah tempat dengan baik. Ketiga, tata ruang kota harus dikembangkan berdasarkan penataan bangunan. Keempat, tata kota mengenai infrastruktur jalan, drainase, dan sanitasi harus baik dan terintegrasi.
Nah, atas dasar itu, menurut saya Kota Serang sebagai ibukota Provinsi Banten masih sangat jauh dari kelayakan. Contohnya saja, infrastruktur jalan yang masih buruk di Warung Pojok, Bhayangkara, Cipocok, Palima, dan Kebon Jahe. Kemudian sistem drainase pun demikian, sehingga menyebabkan langganan banjir, seperti di depan Hotel Ledian, belakang Pasar Rau serta di Komplek Wakil Walikota Serang di belakang Terminal Pakupatan. Serta masih ditemukannya transportasi publik yg buruk yang rute-rutenya tidak jelas dan kemacetan yang semakin parah di beberapa titik.
Karenanya, Kota Serang tidak layak menjadi Ibukota Provinsi Banten. Tentu, ini menjadi PR besar untuk kita bersama, baik masyarakat maupun pemerintah guna membangun ibukota Provinsi Banten lebih baik lagi. Karena uang pembangunan itu berasal dari pajak rakyat, semoga kita sadar untuk memperbaiki ibukota Provinsi Banten menjadi benar-benar Madani. Semoga. (*)
Penulis adalah Asep M. Rahmatullah, Ketua DPP IMM Banten.
